Friday, November 27, 2015

Membongkar Mitos Gaya Belajar (2)


Baca juga: Membongkar mitos gaya belajar (1)

Andaikan anda seorang guru. Suatu ketika, atas saran seorang kawan, anda mensurvei gaya belajar siswa di kelas anda. Sebagian besar ternyata pembelajar visual: mereka mengaku lebih senang melihat gambar dan diagram daripada membaca teks atau mendengar ceramah suara. 

Apa yang sebaiknya anda lakukan? Menurut para pelopor teori gaya belajar, guru yang baik seharusnya menyesuaikan cara mengajar dengan gaya belajar siswanya. Tapi bagaimana caranya? Jangan kuatir, kalau anda belum bisa melakukannya, ada berbagai seminar dan pelatihan yang bisa anda ikuti! Tentu dengan sedikit biaya investasi :)

Seperti saya tulis sebelumnya, gagasan gaya belajar ini sangat populer. Produk yang dijual para pencetusnya laris manis. Ini industri bernilai jutaan dolar. Yang jadi masalah adalah gagasan ini tidak punya fondasi yang kokoh. Dengan kata lain, penyesuaian antara pengajaran dan gaya belajar masih berstatus mitos!

Thursday, November 26, 2015

Membongkar Mitos Gaya Belajar (1)


Baca juga: Membongkar mitos gaya belajar (2)

Apakah anda lebih suka belajar dengan melihat? Bagaimana kalau dibandingkan belajar dengan mendengarkan orang bicara? Atau sambil bergerak dan melakukan aktivitas secara fisik? 

Sebagian besar dari Anda mungkin sudah pernah mendengar pertanyaan-pertanyaan ini. Sebagian mungkin sudah pernah mencoba mengisi kuesioner atau kuis yang memuat pertanyaan-pertanyaan serupa. Di balik pertanyaan-pertanyaan semacam ini adalah gagasan bahwa tiap individu memiliki "gaya belajar" yang unik. 

Monday, September 28, 2015

SATU KELAS, BERPULUH LINTASAN BELAJAR

Melbourne skyline dari gedung psikologi, Melbourne University.

Setelah dimanjakan cuaca cerah hari Minggu di Melbourne, agenda pertama rombongan Balitbang pada Senin pagi adalah mengunjungi Australian Council for Educational Research (ACER). Karena datang sedikit lebih awal dari jadwal, kami dipersilakan menunggu di toko buku yang berada di bagian depan kantor ACER. Bagi kutu buku dan orang pendidikan macam kami, koleksi toko buku tersebut sungguh menggoda iman. Tak butuh waktu lama sebelum pak Fasli dan pak Nizam terlihat menenteng beberapa buku. (Karena uang saku terbatas, saya sendiri hanya bisa menelan ludah, hahaha.)

Tepat jam 9, kami diterima oleh CEO ACER, Geoff Masters, direktur bidang internasionalnya, Peter McGukian, dan beberapa peneliti senior. Status ACER sebagai lembaga riset pendidikan yang murni swasta sudah saya bahas di tulisan lain. Di sini saya akan membahas sebuah makalah karya Geoff Masters (2013) yang beberapa kali dirujuk dalam diskusi tersebut. Makalah berjudul "Reforming Educational Assessment" tersebut memuat banyak gagasan segar tentang asesmen, dan  bisa diunduh gratis! Saya akan fokuskan pada gagasan tentang kaitan antara variasi antar-siswa dan peran asesmen dalam pengajaran. 

Semua guru, dan mungkin semua orang yang pernah harus mengajar lebih dari satu murid dalam kelas yang sama, tahu bahwa tiap siswa berbeda. Pun demikian dalam hal penguasaan materi ajar: ada yang sudah menguasai cukup banyak materi sejak awal, tapi ada juga yang pada akhir pelajaran masih belum mencerna materi yang dibahas. Tapi seberapa besar sebenarnya variasi tersebut? Seberapa jauh jarak antara siswa yang tertinggal dengan yang terdepan? Jawaban atas pertanyaan ini, menurut saya, cukup mencengangkan. Simaklah grafik berikut:

Friday, September 25, 2015

Kemampuan Generik dan Irisannya dengan Mata Pelajaran

Oleh: Anindito Aditomo



Dalam struktur kurikulum nasional Australia, terlihat adanya tujuh “general capabilities” yang memotong sebelas disiplin atau “learning areas”. “Learning areas” bisa diterjemahkan sebagai mata pelajaran. “General capabilities” tidak punya padanan istilah yang sudah lazim kita gunakan, namun dalam tulisan ini akan saya terjemahkan sebagai kemampuan generik. Istilah lain yang dekat dan mungkin lebih populer di sini adalah “soft skills.”
 
Saya sendiri lebih suka menggunakan kata “kemampuan” daripada “skill” atau keterampilan. Istilah keterampilan mudah disalahtafsirkan sebagai konstruk yang semata-mata bersifat “motorik” atau perilaku fisik. Keterampilan seringkali dianggap tidak mencakup ranah kognitif dan afektif. Padahal sebenarnya keterampilan apa pun melibatkan pengetahuan dan emosi.
 
Sebagai contoh, keterampilan membuat sketsa pasti dilandasi pengetahuan tentang jenis-jenis pensil, kertas, cara menggores, dan bentuk-betuk dasar. Membuat sketsa juga memerlukan kepercayaan diri dan kemauan untuk mencoba-coba. Pun demikian dengan keterampilan olah raga, bermusik, merakit komputer, bersosialisasi, dan seterusnya.
 
Karena pemahaman umum terhadap istilah keterampilan yang seperti itulah, istilah kapabilitas atau kemampuan menjadi lebih pas. Definisi resminya pun menyebutkan adanya empat elemen (pengetahuan, keterampilan, perilaku, dan disposisi) sebagai pembentuk kemampuan generik. Ini menegaskan bahwa kemampuan generik bukanlah “keterampilan” dalam arti sempit.
 
Konsekuensinya adalah bahwa pengembangan kemampuan generik ini tidak bisa hanya fokus pada prosedur (knowing how), tapi juga pemahaman (knowing why) dan disposisi (kemauan bertindak).
 
Dalam diskusi dengan Balitbang Kemendikbud minggu lalu, ACARA (pengembang kurikulum ini) menegaskan bahwa tiap kemampuan umum memiliki “pijakan alami” pada pelajaran tertentu. Misalnya, literasi menemukan pijakan paling natural di pelajaran bahasa, numerasi di pelajaran matematika, dan pemahaman lintas-budaya di pelajaran-pelajaran ilmu sosial dan bahasa asing. Dengan demikian, tidak semua pelajaran diharuskan mengembangkan tujuh kemampuan umum. Guru juga tidak dituntut menilai siswa dalam tujuh kemampuan tersebut.
 
Sampai di sini sebenarnya tidak ada yang terlalu baru dalam konsep kemampuan generik yang ditampilkan dalam kurikulum nasional Australia. Menurut saya yang perlu dicatat adalah bahwa kemampuan generik ini sebenarnya sepadan dengan empat kompetensi inti (KI) dalam Kurikulum 2013 kita. Perbedaan mendasarnya adalah tiap kemampuan generik punya deskripsi achievement standard-nya sendiri, yang lepas dari deskripsi untuk mata pelajaran. Demikian juga sebaliknya, tiap mata pelajaran memiliki achievement standard-nya sendiri, yang lepas dari kemampuan generik.
 
Sebagai contoh, berikut achievement standards untuk kemampuan “bernalar dalam bertindak dan membuat keputusan”, yang merupakan salah satu dimensi dari “pemahaman etis”:
 
Tingkat 1 (taman kanak-kanak): identify examples from stories and experiences that show ways people make decisions about their actions; identify links between emotions and behaviours; identify and describe the influence of factors such as wants and needs on people’s actions.
 
Tingkat 2 (akhir kelas 2): discuss how people make decisions about their actions and offer reasons why people’s decisions differ; describe the effects that personal feelings and dispositions have on how people behave; give examples of how understanding situations can influence the way people act.
 
Tingkat 3 (akhir kelas 4): explain reasons for acting in certain ways, including the conflict between self-respect and self-interest in reaching decisions; examine the links between emotions, dispositions and intended and unintended consequences of their actions on others; consider whether having a conscience leads to ways of acting ethically in different scenarios.
 
Dalam Kurikulum 2013, keempat kompetensi inti tidak memiliki deskripsi tingkat pencapaian. Alih-alih demikian, tiap kompetensi inti dikawin-paksakan dengan kompetensi dasar untuk semua mata pelajaran. Inilah yang menghasilkan kalimat-kalimat ajaib semacam “Memiliki sikap disiplin dan rasa cinta tanah air terhadap sistem pemerintahan serta layanan masyarakat daerah melalui pemanfaatan bahasa Indonesia” sebagai kompetensi yang harus dicapai melalui pelajaran Bahasa Indonesia.
 
Menurut saya, perbandingan ini menunjukkan salah satu kesalahan paling mendasar dalam desain Kurikulum 2013 kita. Perwakinan paksa antara kemampuan generik dan kompetensi disiplin ilmu justru merusak kedua-duanya.

Wednesday, September 23, 2015

Kurikulum dan Asesmen Pendidikan: Pengalaman Australia #2

Oleh: Anindito Aditomo

 
Ini adalah struktur kurikulum nasional yang baru dikembangkan di Australia. Kurikulum tersebut meramu tiga ranah pembelajaran: mata pelajaran (learning areas), kemampuan umum (general capabilities), dan tema lintas pelajaran (cross-curriculum priorities). Sepintas terlihat penuh sesak, dan memang salah satu kritik yang muncul terhadap kurikulum ini adalah terlalu banyaknya materi yang dicakup.
 
Minggu lalu tim Balitbang Kemendikbud berdiskusi dengan ACARA, badan yang bertugas mengembangkan kurikulum tersebut. Salah satu informasi yang bagi saya paling menarik adalah bahwa ACARA memandang kurikulum nasional tersebut sebagai kurikulum “aspirasional”.
 
Berbeda dari kurikulum inti atau minimal, apa yang termuat dalam kurikulum aspirasional merupakan target yang menjadi aspirasi pemerintah. Namun demikian, karena tiap sekolah dan siswa memiliki kondisi, potensi, dan titik awal yang berbeda, sekolah boleh saja menetapkan target yang lebih rendah daripada kurikulum nasional.
 
Hal ini penting karena di Australia ada kesenjangan kualitas pendidikan yang cukup besar antar kelompok masyarakat. Siswa yang bersekolah di daerah terpencil (yang seringkali merupakan penduduk asli Australia) bisa tertinggal 3 sampai 4 tahun dibanding siswa di sekolah yang baik di Sydney, misalnya. Tidak masuk akal bila siswa yang bersekolah dalam kondisi yang demikian berbeda diberi target yang sama. Hanya saja, dengan adanya kurikulum nasional, ACARA berharap bahwa sekolah yang saat ini jauh tertinggal akan tergerak untuk perlahan-lahan mencapai target yang sama dengan sekolah yang lebih maju.
 
Dalam diskusi tersebut ACARA juga menyatakan bahwa strategi terbaik untuk menerapkan kurikulum nasional adalah dengan fokus pada beberapa target. Perdalam pemahaman dan perkuat penguasaan siswa terhadap dua atau tiga area dalam kurikulum (pelajaran atau kapabilitas) yang menjadi kekuatan siswa di tiap sekolah. Untuk area lain, cukup tetapkan target minimal dahulu. Ini lebih baik daripada mengejar semua target, namun tidak mendapatkan satu pun secara mendalam. Ini bisa disebut sebagai prinsip spesialisasi.
 
Konsep kurikulum aspirasional dan spesialisasi menarik namun sulit dikomunikasikan. Tampaknya website kurikulum nasional yang dibuat ACARA juga tidak menjelaskannya secara eksplisit. Ketika saya sampaikan hal ini, pihak ACARA mengakui bahwa itu memang salah satu kelemahan dokumen kurikulum mereka.
 
Namun ada satu hal penting yang perlu dicatat, yaitu peran ujian. Dalam 10 tahun pertama pendidikan dasar-menengah Australia, tidak ada ujian terstandar yang bersifat high stakes atau berisiko. Satu-satunya ujian terstandar eksternal (berasal dari luar guru/sekolah) adalah NAPLAN. Perlu tulisan tersendiri untuk membahas NAPLAN, tapi yang relevan di sini adalah bahwa ia tidak punya konsekuensi apa pun terhadap siswa, dan ia dirancang untuk mengukur pencapaian minimal. Dengan karakteristik tersebut, NAPLAP tidak terlalu “menyetir” pembelajaran yang terjadi di ruang kelas. Guru dan sekolah masih bisa memilih target pembelajarannya, sejalan dengan konsep kurikulum aspirasional dan prinsip spesialisasi yang dibahas di atas.

Saturday, September 19, 2015

Reformasi Kurikulum dan Asesmen Pendidikan: Pengalaman Australia (#1)

Oleh: Anindito Aditomo

 

Australia memiliki 6 negara bagian (NSW, WA, QLD, VIC, SA, dan TAS) dan 2 teritori otonom (NT dan ACT). Negara-negara bagian tersebut lahir sebelum Australia terbentuk sebagai federasi. Karena itu tiap negara bagian punya kebanggaan atas identitas uniknya sendiri. Tidak terlalu mengherankan jika baru sekarang ini Australia mulai mengembangkan kurikulum nasional.

Secara historis, pendidikan di Australia memang berada dalam lingkup wewenang dan tanggung jawab negara bagian. Karena itu tidak heran jika tiap negara bagian memiliki sistem pendidikan yang berbeda-beda. Adanya kurikulum nasional yang baru digagas belakangan tentu akan mengurangi perbedaan antar negara bagian. Namun kurikulum nasional tidak mencakup kelas 11 dan 12, dan karena itu tidak akan mengubah sistem pemberian ijazah SMA. Kurikulum nasional juga tidak akan mengubah perbedaan dalam model kepegawaian masing-masing departemen pendidikan. Bahkan untuk kurikulum sampai kelas 10 pun, tiap negara bagian memiliki tafsirnya sendiri-sendiri (more in this in another article).

Meski banyak perbedaan, saya juga menangkap adanya beberapa persamaan mendasar antar negara bagian. Atau setidaknya, antara dua negara bagian yang saya kunjungi (Victoria dan NSW). Salah satu persamaan tersebut adalah kebijakan terkait transisi kurikulum. Dalam hal ini, baik NSW maupun Victoria memberi waktu setidaknya 1 tahun bagi semua guru untuk melihat dan memahami kurikulum baru sebelum benar-benar diberlakukan.

Sebagai contoh, katakanlah pemerintah NSW selesai mengadaptasi kurikulum nasional untuk pelajaran Sejarah pada awal 2015. Pada titik tersebut, guru sudah bisa mengakses bukan saja deskripsi capaian pembelajaran dan apa yang perlu dipelajari (konten) untuk pelajaran sejarah, tapi juga resources lain seperti contoh materi bacaan, video, contoh tugas, dan contoh rubrik penilaian. Kurikulum tersebut baru akan diumumkan dan diberlakukan paling cepat pada awal 2016.

Masa percobaan tersebut memberi kesempatan bagi guru dan sekolah untuk “mencicipi” kurikulum baru, sekaligus memberi masukan bagi perbaikannya. Dengan demikian, guru punya waktu untuk mencoba membuat lesson plan, mencari atau memadu-padankan bacaan atau resources lain, membuat tugas asesmen dan rubrik penilaian yang cocok untuk kelasnya. Mereka juga boleh mencoba menerapkannya di kelas, meski kurikulum tersebut belum berlaku resmi.

Mengapa perlu waktu satu tahun penuh untuk mencicipi kurikulum baru? Pendekatan ini, menurut saya, mencerminkan beberapa keyakinan mendasar tentang pendidikan dan profesi guru.

Pertama, pendekatan ini mencerminkan keyakinan bahwa mengajar adalah pekerjaan yang sangat kompleks. Mengajar bukan sekedar penerapan langkah-langkah yang dituliskan oleh pemerintah dalam sebuah dokumen. Dengan kata lain, mengajar tidak bisa dilakukan secara prosedural semata. Penerjemahan kurikulum tertulis menjadi proses pembelajaran membutuhkan basis pengetahuan yang kompleks. Pengajaran yang baik mensyaratkan integrasi antara pengetahuan tentang karakteristik siswa, karakteristik kelas, batasan-batasan (constraint) fisik dan administratif, metode pengajaran, penggunaan teknologi dan media digital, selain tentu saja konten pelajaran dan tuntutan kurikulum.

Berbagai pengetahuan ini tidak cukup sekedar “diketahui”, tapi musti dikuasai secara mendalam. Penguasaan yang mendalam inilah yang memungkinkan pelajaran berlangsung lancar, tapi sekaligus adaptif terhadap respon siswa. Konsekuensinya, persiapan penerapan kurikulum tidak mungkin didasarkan pada pelatihan top-down yang berlangsung dalam 3 atau 4 hari, apalagi “pelatihan” berbasis presentasi Powerpoint. Yang diperlukan guru dan sekolah adalah dukungan resources (bahan ajar, contoh asesmen, rubrik, dll) yang beragam dan dalam jumlah besar, serta kesempatan untuk mencoba menerapkannya tanpa ancaman penalti.

Kedua, pendekatan tersebut juga mencerminkan kepercayaan terhadap guru dan sekolah. Bahwa guru dan sekolah akan bertindak in the students’ best interest, untuk kepentingan pembelajaran siswa. Dan karena tiap siswa, kelas, dan sekolah memiliki karakteristik dan kebutuhan yang berbeda-beda, pemerintah NSW dan Victoria memberi otonomi yang luas pada guru/sekolah untuk menafsirkan dan menerapkan kurikulum baru.

Apakah berarti bahwa kualitas guru dan sekolah di Australia sudah seragam (dan seragam pada tingkat yang baik)? Tidak sepenuhnya juga, dan karena itu pemberian otonomi juga mengandung risiko. Namun demikian, mereka tampaknya merasa bahwa otonomi, dengan segala risikonya, adalah alternatif yang lebih baik daripada kendali terpusat.

NOTE: tulisan di atas didasarkan pada catatan kunjungan saya ke beberapa institusi pendidikan di NSW dan Victoria, sebagai bagian dari delegasi Balitbang Kemendikbud RI, 12-18 September 2015. Bila ada ketidakakuratan faktual dalam tulisan ini, mohon koreksinya.

Monday, September 14, 2015

ACER dan Penghargaan pada Riset

Oleh: Anindito Aditomo

Minggu ini saya menemani tim dari Pusat Penilaian Pendidikan, Balitbang Kemendikbud, mengunjungi beberapa institusi di Australia. Salah satu tugas saya adalah ikut menyerap dan membagikan sebanyak mungkin insight tentang asesmen dan kurikulum yang bisa berguna untuk kita di Indonesia.
 
Kemendikbud mengundang saya dan pak Doni Koesoema sebagai wakil masyarakat untuk mencerna informasi yang didapat dari perspektif yang mungkin berbeda dari pemerintah. Amanat yang berat sekaligus mengasyikkan.
 
Oya, bila ada bertanya-tanya tentang pendanaan, kunjungan ini didanai oleh Department of Foreign Affairs and Trade, Australia. Mereka tidak mau rugi, jadi acara dirancang sepadat mungkin. Tiga kota, lima institusi, dan tiga acara untuk berjejaring, hanya dalam empat hari kerja. Ditambah dua hari perjalanan pulang-pergi, total jendral acara ini hanya butuh enam hari. Karena malas meninggalkan keluarga terlalu lama, dan repotnya meninggalkan kerja rutin di Ubaya, saya justru senang dengan pengaturan yang efisien ini.
 
Institusi pertama yang kami kunjungi adalah ACER. Bukan perusahaan pembuat laptop itu lho ya, melainkan Australian Council for Educational Research. Sesi pertama dipandu langsung oleh CEO (Geoff Masters) dan direktur pengembangan internasionalnya (Peter McGuckian). Sesi kedua dan ketiga dipandu oleh beberapa peneliti senior, yang berbicara tentang pengetesan berbasis komputer dan asesmen terstandar yang bisa digunakan oleh guru untuk proses pembelajaran. Banyak informasi yang menurut saya menarik dan penting; semoga nanti bisa saya tulis lebih rinci setelah sempat membaca referensi pelengkap. 
 
Menutup catatan awal ini, saya hanya ingin berkomentar mengenai ACER sebagai sebuah lembaga penelitian. Berdiri tahun 1930, sekarang ACER memiliki lebih dari 300 staf dengan setidaknya empat kantor cabang internasional (di London, Delhi, Dubai, dan Jakarta). Mereka punya puluhan pegawai tetap yang bertugas membuat butir tes, yang sebagian besar adalah guru yang kemudian menjadi pengembang tes profesional. Selain tentu memiliki sayap riset, ACER punya divisi yang khusus menangani kualitas psikometrik dari tiap tes; divisi yang bertugas merancang tampilan tes agar mudah digunakan dan dipahami; divisi yang mengelola keandalan dan keamanan jaringan komputernya; dan beberapa divisi spesifik lain.
 
Yang mengejutkan adalah bahwa ACER merupakan organisasi nirlaba (not-for-profit). Dengan kata lain, murni swasta yang tidak mendapat bagian dari kue tahunan anggaran pemerintah. Seperti perusahaan swasta lain, ACER bisa saja bangkrut jika “produknya” tidak laku. Fakta bahwa ACER bisa hidup dan berkembang menunjukkan bahwa penelitian pendidikan dihargai tinggi oleh pemerintah dan berbagai institusi lain yang memerlukan layanan berbasis pengetahuan ilmiah tentang pendidikan. Penghargaan atas riset ini hal yang masih perlu ditumbuhkan di Indonesia.
 
Apa artinya menghargai riset? Salah satunya adalah menyadari pentingnya pengembangan pengetahuan mendasar (dalam hal ini, tentang pendidikan) yang tak dibebani kewajiban memberi solusi praktis. Menghargai riset juga berarti memberi ruang untuk perdebatan yang berbasis data dan nalar, untuk kritik yang tidak (selalu) harus konstruktif. Menghargai riset berarti menyadari bahwa pengetahuan ilmiah merupakan fondasi yang lebih kokoh untuk menghadapi realitas dan problem praktis yang senantiasa berubah. Dan tentu menghargai riset berarti memaklumi bahwa kegiatan tersebut perlu waktu dan duit yang tidak sedikit.
 
Riset memang mahal, tapi dalam jangka panjang, sebenarnya harga yang harus kita bayar karena TIDAK melakukan riset jauh lebih mahal. Betul begitu kan, kawan-kawan?

Thursday, September 10, 2015

MOOC Membuka Pendidikan untuk Semua?

Bus Damri yang saya tumpangi dari bandara perlu hampir 2 jam untuk mencapai gedung Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Seperti biasa, ada beberapa titik macet yang membuat waktu tempuh lebih panjang dibanding seharusnya. Untunglah saya sampai di tujuan sebelum rapat dimulai.

Apapun, 2 jam adalah waktu yang berharga bila hanya digunakan untuk melamunkan nasib. Untunglah sinyal mobile sepanjang perjalanan cukup kuat dan kuota data internet di ponsel saya juga masih tersisa. Saya pun memanfaatkan waktu untuk melanjutkan kuliah Think Again: How to Reason and Argue, sebuah MOOC berdurasi 12 minggu yang dipandu oleh dua profesor filsafat dari Duke University. Ini adalah mingu ke-3 dalam kursus tersebut. 


Friday, August 21, 2015

Guru yang Patah Arang


Dalam sebuah esai, Rosa Nam, seorang guru bahasa Inggris SMA di Houston, Amerika, berkisah tentang mengapa ia memilih berhenti mengajar. Esai sungguh jujur dan "nendang". Mengajar, menurut Rosa, bisa membuat orang sakit jiwa. 

Pertanyaannya tentu, mengapa ada guru yang frustrasi, patah arang, dan memilih mencari profesi lain? Dan apa solusinya? Sebagian akan mencari jawabannya pada guru sebagai individu. Guru harus diperkuat mentalnya. Dibekali dengan teknik manajemen kelas yang lebih ampuh. Dilatih supaya menguasai metode belajar yang lebih menarik. Dan seterusnya.

Thursday, August 20, 2015

Be Careful of What You Read!




Secara umum, frekuensi membaca memprediksi perkembangan berbahasa dan kemampuan mencerna bacaan di kemudian hari. Tapi apakah membaca komik punya dampak yang sama dengan membaca novel? Bagaimana dengan membaca berita online, media sosial, dan blog?

Menurut sebuah penelitian longitudinal di Jerman, tiap jenis bacaan punya dampak yang berbeda (Pfost, Dorfler, & Artelt, 2013). Bacaan yang berdampak positif dan cukup besar adalah fiksi seperti novel dan cerpen. Komik, majalah, dan buku non-fiksi juga berdampak positif namun lebih lemah. 


Wednesday, August 19, 2015

Memutus Lingkaran Setan Nir-literasi


Beberapa waktu yang lalu kementerian pendidikan dan kebudayaan meluncurkan gerakan literasi nasional. Sekolah diminta memberi waktu 15 menit bagi siswa untuk membaca bebas, sebelum jam pelajaran berlangsung. Tapi cukupkah 15 menit? Bagi yang skeptis, hal ini bisa dipandang sebagai gimmick saja. Kebijakan yang manis tapi minim dampak. 

Saya sendiri menaruh harapan pada program ini. Dalam literatur tentang literasi, ada yang disebut sebagai Matthew effect. Intinya, perbedaan kecil dalam kebiasaan dan kemampuan membaca seseorang ketika masih kecil bisa berdampak besar di kemudian hari. 

Sunday, August 16, 2015

Perlukah Guru Meneliti?

Benarkah guru harus meneliti dan mempublikasikan hasilnya di jurnal ilmiah?
Sumber gambar: http://ierf.org/images/uploads/research_grants_ind1.jpg

Seorang ketua organisasi guru baru-baru ini mencetuskan bahwa guru seharusnya tidak dibebani kewajiban untuk meneliti. Pendapat ini adalah protes terhadap peraturan menteri pendidikan yang menetapkan publikasi karya ilmiah sebagai syarat untuk kenaikan pangkat guru. Persyaratan ini seharusnya gugur, menurut argumen pak ketua, karena undang-undang yang melandasi peraturan menteri tersebut tidak menyebutkan penelitian sebagai bagian dari tugas guru. 

Argumen pak ketua sepintas tampak seperti sasaran empuk untuk dikritik balik. Tentu saja guru harus meneliti. Guru adalah tenaga profesional, bukan buruh atau pekerja manual. Guru harus inovatif dan tidak sekedar menjalankan pengajaran sebagai tugas rutin semata. Keberatan atas persyaratan meneliti dan membuat publikasi ilmiah itu hanya menunjukkan kemalasan dan inkompetensi. Itu alasan yang hanya pantas diajukan guru yang belum bertransformasi menjadi tenaga profesional. 

Saturday, August 15, 2015

Menyongsong Gelombang MOOC


Teknologi telah memungkinkan pengalaman belajar yang kaya tanpa harus bertatap muka.
Sumber: http://www.torrington.info/uploads/1/9/0/5/19057235/__757786166.jpg

Pendidikan tinggi seperti apa yang bisa anda dapatkan dengan uang 5 juta rupiah? Untuk sebagian besar orang, uang sebesar itu hanya cukup untuk membayar biaya kuliah satu atau dua semester di universitas yang kualitasnya belum tentu terjamin. Tapi itu di masa lalu. Sekarang, melalui MOOCs, 5 juta rupiah bisa memberi anda tiket mengikuti serangkaian mata kuliah dan mendapat sertifikat kompetensi spesifik dari universitas-universitas terbaik di dunia.

Secara harafiah, MOOC berarti kuliah daring (online) yang terbuka dan masif. Terbuka karena siapapun yang punya akses internet bisa mengikutinya. Tidak ada prasyarat formal apa pun. Tidak perlu bukti ijazah, bukti nasionalitas, usia, visa, dll. Masif dalam arti bisa menampung ratusan ribu siswa secara simultan. Sebagai gambaran, 154.763 orang dari 194 negara mendaftarkan diri ketika MIT menawarkan MOOC pertamanya (“Circuits and Electronics”) pada tahun 2011. Jumlah yang fantastis, terutama bila kita bandingkan dengan daya tampung yang ditawarkan kelas-kelas tradisional.


Sunday, July 5, 2015

Perlukah Guru Meneliti?

Oleh: Anindito Aditomo


Seorang ketua organisasi guru baru-baru ini mencetuskan bahwa guru seharusnya tidak dibebani kewajiban untuk meneliti. Pendapat ini adalah protes terhadap peraturan menteri pendidikan yang menetapkan publikasi karya ilmiah sebagai syarat untuk kenaikan pangkat guru. Persyaratan ini seharusnya gugur, menurut argumen pak ketua, karena undang-undang yang melandasi peraturan menteri tersebut tidak menyebutkan penelitian sebagai bagian dari tugas guru.
 
Argumen pak ketua sepintas tampak seperti sasaran empuk untuk dikritik balik. Tentu saja guru harus meneliti. Guru adalah tenaga profesional, bukan buruh atau pekerja manual. Guru harus inovatif dan tidak sekedar menjalankan pengajaran sebagai tugas rutin semata. Keberatan atas persyaratan meneliti dan membuat publikasi ilmiah itu hanya menunjukkan kemalasan dan inkompetensi. Itu alasan yang hanya pantas diajukan guru yang belum bertransformasi menjadi tenaga profesional.
 
Semua itu betul. Tapi di sisi lain, pendapat pak ketua di atas tak sepenuhnya keliru. Guru memang profesional. Namun apakah itu berarti guru harus meneliti dan melakukan publikasi ilmiah? Mari kita bandingkan dengan dokter dan insinyur, untuk menyebut dua profesi yang memiliki landasan keilmuan kokoh. Apakah seorang dokter harus meneliti dan menulis artikel ilmiah untuk bisa menangani pasien? Apakah seorang insinyur musti meneliti dan publikasi agar bisa membangun jembatan atau membuat perangkat teknologi? Tidak juga, kan? 
 
Sebagai profesional, dokter dan insinyur yang baik harus terus memutakhirkan pengetahuannya dengan membaca literatur ilmiah di bidangnya. Tapi ini berbeda dari melakukan penelitian sendiri. Jika demikian, mengapa guru harus meneliti dan menulis artikel ilmiah? Apa yang membuat profesi guru berbeda dari profesi-profesi lain seperti dokter dan insinyur? Bagaimana menurut anda?

Tuesday, June 9, 2015

Berpikir adalah Melupakan

Melupakan adalah bagian esensial dari proses berpikir dan belajar.
Sumber: http://thisisinfamous.com/wp-content/uploads/2014/08/mad-max-fury-road.jpg

Pikirkan film terakhir yang anda tonton. Apakah itu film yang layak ditonton ulang, atau direkomendasikan pada orang lain? Film terakhir saya adalah Mad Max. Plot ceritanya biasa saja. Endingnya klise, sebagaimana film Hollywood lainnya. Para aktor dan aktrisnya berperan bagus tapi tidak istimewa. Namun demikian, Mad Max adalah film laga (action) yang sungguh ciamik. Saya katakan demikian karena sejak detik pertama, film itu menyuguhkan sajian visual yang luar biasa dan adegan intens yang tak putus-putus. Saya tidak akan ragu merekomendasikannya pada orang yang mencari film laga.

Sebagian pembaca akan setuju dengan simpulan saya tentang Mad Max, dan sebagian lagi tidak. Namun dalam tulisan ini, simpulan tentang Mad Max sekadar contoh dari sebuah mekanisme terkait proses berpikir manusia. Yang ingin saya soroti adalah bahwa seorang pemirsa bisa memikirkan sebuah film yang baru ia tonton, kemudian mengambil simpulan dan meyakini bahwa simpulan itu kuat, meski pun ia tidak mengingat keseluruhan informasi yang disajikan oleh film tersebut.

Saturday, June 6, 2015

Pelajaran Sains, Apa Gunanya?



Pendidikan sains seharusnya menumbuhkan kemampuan berpikir ilmiah, bukan menanamkan pengetahuan.
Sumber foto: http://www.htxt.co.za/wp-content/uploads/2014/07/ScienceEducation.png

Apa kegunaan dari berbagai materi yang dipelajari di sekolah? Untuk literasi tingkat dasar, jawabannya gampang. Pelajaran-pelajaran tersebut berguna secara luas. Semua siswa akan memerlukan keterampilan membaca, menulis dan berhitung dalam kehidupan sehari-harinya. “Keluasan aplikasi” dan “kegunaan praktis” memang bisa menjadi justifikasi untuk pelajaran-pelajaran di tingkat SD, paling tidak sampai kelas 3 atau 4. Namun apakah justifikasi yang sama berlaku untuk pelajaran-pelajaran pada tingkat yang lebih tinggi?


Sebagai contoh, ambillah pelajaran sains atau ilmu pengetahuan alam (IPA). Sains dianggap sebagai mata pelajaran penting dalam kurikulum banyak (atau semua?) negara modern. Tapi sebenarnya, apa tujuan pendidikan sains? Mengapa setiap siswa harus memelajari, misalnya saja, pengukuran suhu dalam skala Celcius, Fahrenheit, Reamur dan Kelvin? Atau mengenai mekanisme fotosintesis pada tumbuhan, atau tentang proses replikasi DNA? 

Saturday, April 18, 2015

Ujian dan Kemampuan Bernalar

Sabtu pagi mencari bahan untuk mahasiswa bimbingan, malah nemu artikel tentang dampak ujian terstandar pada hasil belajar dan motivasi siswa. Riset tentang hal itu sudah banyak, tapi yang ini istimewa dari segi kualitas metode. Para penelitinya menganalisis data longitudinal pada sampel yang mewakili seluruh siswa di Jerman. Para siswa dites literasi/penalaran matematika dan penguasaan materi kurikulum di kelas 9, dan diulang lagi di kelas 10. Mereka juga diminta melaporkan motivasi dan pengalaman emosionalnya terkait sekolah. 

Pada saat data dikumpulkan, sebagian negara bagian di Jerman menetapkan ujian akhir yang terstandar ("central exit exam"), sebagian lagi tidak. Dengan demikian, para peneliti dapat membandingkan pengaruh ujian akhir pada hasil belajar, baik yang kognitif maupun motivasional. 


Thursday, April 2, 2015

Metode "Experience Sampling" untuk Riset Pendidikan

Oleh: Anindito Aditomo

Kemarin sore salah satu jurnal bidang pendidikan favorit saya datang. Terlambat dua bulan, memang. Namun tak mengapa. Jurnal tersebut selalu berisi pemikiran dari orang yang mumpuni di bidangnya, dan yang biasanya juga pandai menulis. Hasilnya adalah sajian yang menginspirasi. 

Tulisan ini akan merangkumkan artikel pertama yang dimuat dalam edisi ini dari jurnal tersebut (Zikel, Garcia, & Murphy, 2015). Topiknya adalah experience sampling method (ESM). Saya belum menemukan padanan istilah yang pas. Terjemah harafiahnya, “Metode Penyuplikan Pengalaman”, malah membuat telinga risih. Jadi untuk sementara saya akan gunakan singkatan dari istilah aslinya saja.

Apa itu ESM? Pada intinya, ESM adalah cara untuk mendapatkan gambaran tentang pengalaman seseorang pada saat ia mengalaminya. “Pengalaman” di sini diartikan secara luas, meliputi pikiran, perasaan, perilaku, serta situasinya. Aspek spesifik mana dari pengalaman yang hendak diukur tentu tergantung tujuan penelitian. Yang penting, ESM hendak melihat pengalaman in situ, dalam konteks nyata, dalam kehidupan sehari-hari responden. 

Ini yang membedakannya dari metode-metode lain. Metode survei, misalnya, meminta responden untuk merefleksikan dan melaporkan pengalaman mereka yang telah lampau. Survei dan juga eksperimen menempatkan responden dalam situasi riset (wawancara, mengisi kuesioner, menjawab telpon, melakukan aktivitas di lab) yang berbeda dari kehidupan sehari-hari responden .

Sebagai contoh, bayangkan seorang peneliti yang tertarik mengetahui pengalaman emosional siswa SMP/SMA saat mengikuti mata pelajaran yang berbeda-beda, dan apakah pengalaman emosional tersebut berdampak pada pilihan kuliah dan karir mereka selanjutnya. Bila menggunakan ESM, peneliti akan meminta siswa melaporkan emosi-emosi yang dirasakan setelah mengikuti sebuah pelajaran. 

Sepintas ini mirip dengan survei tradisional, karena menggunakan kuesioner tertulis. Namun kunci ESM ada pada pengukuran yang kontekstual. Dengan ESM, peneliti akan mengukur pengalaman emosional siswa saat pengukuran itu berlangsung. Peneliti tidak meminta responden untuk mengingat-ingat, misalnya saja, seberapa sering ia merasakan sebuah emosi dalam beberapa minggu terakhir. Konsekuensinya, untuk melihat pengalaman emosional siswa terkait mata pelajaran yang berbeda, peneliti harus mengikuti siswa dari satu kelas ke kelas yang lain. Dengan kata lain, ESM melibatkan pengukuran berulang pada responden yang sama. Karena itu ESM disebut juga sebagai penelitian longitudinal intensif.

Dengan kemajuan teknologi - terutama tablet dan ponsel pintar yang terkoneksi internet - peneliti ESM bisa mengukur berbagai aspek pengalaman, tidak hanya laporan diri (self report) verbal menggunakan kuesioner. Berikut beberapa yang dicontohkan dalam artikel Zikel dkk. (2015). Ahli kesehatan bisa meminta responden memotret makanan yang mereka konsumsi. Ini memungkinkan mereka mengukur berbagai hal yang terkait mungkin memengaruhi keberhasilan diet, seperti kandungan dan jumlah nutrisi, waktu dan frekuensi makan, dll. Peneliti juga bisa meminta responden mengenakan sensor gerak, sehingga bisa memonitor kapan, di mana, dan seberapa lama seseorang beraktivitas fisik.

Banyak potensi kegunaan ESM. Sayangnya metode ini masih sangat jarang digunakan dalam penelitian pendidikan, dan relatif jarang digunakan di ilmu sosial dan perilaku lain. Peneliti psikologi, misalnya, masih lebih senang menggunakan kuesioner dan laporan verbal untuk mengukur berbagai hal, termasuk yang sebenarnya lebih cocok diukur melalui jejak perilaku atau instrumen lain.

Referensi: Zirkel, S., Garcia, J.A., & Murphy, M.C. (2015). Experience-sampling research methods and their potential for education research. Educational Researcher, 44(1), 7-16.

Sunday, February 22, 2015

Kematian yang Menerangi



Oliver Sacks, profesor ilmu syaraf New York University, adalah sedikit diantara ilmuwan hebat yang juga piawai menulis. Salah satu buku klasiknya adalah The Man Who Mistook His Wife for a Hat. Bagaimana mungkin seseorang bisa mengira bahwa istrinya adalah sebuah topi? Rasanya sulit menemukan buku dengan judul yang lebih menerbitkan rasa ingin tahu. Dan memang, buku-buku profesor Sacks adalah penawar bagi rasa takut dan sebal terhadap topik-topik neurosains yg kerap menjangkiti mahasiswa psikologi, termasuk saya. 

Pagi ini saya teringat akan profesor Sacks setelah membaca esainya di harian New York Times. Ternyata profesor yg berusia lebih dari delapan dekade ini baru saja didiagnosis menderita kanker yang tidak bisa disembuhkan. Dalam esainya, profesor Sacks menuturkan bagaimana ia menyikapi kematian yang hendak menjemput. 

Thursday, February 5, 2015

Kenangan yang Bias

Ingatan kita tentang pengalaman di masa lalu tidaklah objektif.
Sumber foto: http://brainpages.org/wp-content/uploads/2013/02/memory-loss.jpg

Daniel Kahneman, ahli psikologi kognitif penerima Nobel ekonomi, pernah melakukan survei yang unik. Ia mendampingi pasien-pasien yang sedang menjalani kolonoskopi, prosedur medis untuk melihat bagian dalam dari usus dengan cara memasukkan kamera melalui dubur. Setiap beberapa detik ia meminta mereka melaporkan tingkat rasa sakit yang dialami dalam skala rasa sakit nol sampai sepuluh. Tidak seperti sekarang, pada zaman itu kolonoskopi masih dilakukan tanpa anastesi penuh. Bisa dibayangkan betapa tidak menyenangkan prosedur tersebut!

Segera setelah menjalani kolonoskopi, Kahneman meminta tiap pasien menilai seberapa menyakitkan prosedur tersebut secara keseluruhan. Dengan kata lain, Kahneman ingin mengetahui ingatan subjektif tentang totalitas dari pengalaman tidak menyenangkan yang baru saja dialami seseorang. Pertanyaan yang ingin dijawab Kahneman adalah apa yang memprediksi ingatan tentang seberapa menyakitkan sebuah pengalaman.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...