Showing posts with label psikologi kognitif. Show all posts
Showing posts with label psikologi kognitif. Show all posts

Saturday, April 30, 2016

Insting Bahasa dan Kesenjangan Akademik

The Language Instinct (Steven Pinker, 1994) adalah salah satu dari sekian banyak buku yang saya beli semata karena tidak tahan melihat buku (yang sepertinya) bagus dan dijual dengan harga obral. Pagi tadi secara kebetulan saya menemukannya lagi ketika membongkar almari untuk mencari buku lain. Membaca beberapa bab awal membuktikan bahwa insting saya waktu membelinya tidak keliru. Ini memang buku bagus. Kok nggak dari dulu saya baca ya, hahaha.

Karya ahli psikolog dari Harvard University ini bercerita tentang tentang kemampuan berbahasa. Bagi Steven Pinker bahasa, pertama dan terutama, merupakan produk dari biological make-up kita sebagai spesies. Pinker tidak bermaksud menyangkal adanya pengaruh budaya pada bahasa. Yang ia maksud adalah bahwa bahasa tumbuh dari "predisposisi" alias kesiapan biologis setiap manusia normal. Bayi manusia memiliki bakat alami untuk dengan cepat menyerap dan kemudian menggunakan struktur dari bahasa lisan yang digunakan oleh orang lain di sekitarnya.

Pandangan ini sebenarnya tidak baru atau mengejutkan. Noam Chomsky, sang begawan dari MIT, telah mengungkapkan hal tersebut dengan sangat meyakinkan pada 1960an. Dan memang, gagasan-gagasan Chomsky setengah abad yang lalu itu turut melahirkan bidang interdisipliner bernama ilmu-ilmu kognitif (cognitive sciences). Yang tadinya merupakan gagasan revolusioner dan ditentang oleh status quo keilmuan, sekarang ditekuni oleh ribuan ilmuwan. Buku Steven Pinker ini merupakan rajutan temuan ilmiah tentang bahasa yang dihasilkan oleh ilmuwan dari berbagai disiplin.

Di sini saya hanya mengulas salah satu poin menarik Pinker berdasarkan temuan-temuan dari bidang antropologi. Para antropolog, menurut Pinker, belum pernah menemukan komunitas atau kelompok manusia yang TIDAK memiliki bahasa. Setiap suku terpencil yang pernah dijumpai manusia modern memiliki bahasa. Bukan itu saja. Yang penting dicatat adalah bahwa bahasa yang dimiliki suku-suku terpencil itu ternyata sama kompleksnya dengan bahasa yang digunakan masyarakat modern. Ini menunjukkan bahwa bahasa bukan semata produk peradaban modern.

Berangkat dari kenyataan itu, Pinker menyatakan bahwa tidak ada bahasa yang inferior atau superior. Pandangan ini punya implikasi penting untuk pendidikan. Di Amerika dan negara berbahasa Inggris, siswa dari keluarga miskin kerap dianggap punya kemampuan berbahasa yang inferior. Tata bahasa (grammar) yang mereka gunakan kacau balau. Kosakata mereka lebih terbatas dan kurang canggih. Dan karena itulah banyak siswa miskin yang perkembangan literasinya terhambat. Mereka lebih sering menemui kesulitan dalam membaca dan menulis dibanding siswa dari keluarga berada.

Bila bahasa merupakan produk insting yang universal, sebagaimana dikatakan Pinker, maka ketertinggalan akademik siswa miskin tadi bukan karena karena mereka lebih rendah kecerdasan berbahasanya. Pinker menceritakan penelitian William Labov tentang bahasa (lisan) anak muda kulit hitam di Harlem. Labov menemukan bahwa bahasa anak muda kulit hitam - yang secara umum miskin dan jarang berhasil secara akademik - memiliki grammar tersendiri yang tidak kalah sistematis atau rasionalnya dibanding bahasa Inggris "standar".

Dengan demikian, kesulitan akademik siswa miskin, seperti anak-anak muda kulit hitam dari Harlem tersebut, adalah karena mereka harus menggunakan bahasa yang berbeda di sekolah. Bayangkan kalau anda harus menggunakan bahasa asing di sekolah. Atau jika semua buku pelajaran anda ditulis dalam bahasa asing.

Dus, bisa dikatakan bahwa salah satu sumber kesenjangan akademik adalah penggunaan bahasa yang kebetulan dikuasai oleh kelompok masyarakat tertentu. Jadi bagaimana seharusnya? Entahlah. Saya menduga bahwa kesenjangan akademik di Indonesia tidak terlalu dipengaruhi oleh perbedaan bahasa, seperti halnya di Amerika dan dunia berbahasa Inggris. Meski begitu, ada baiknya orang tua dan pendidik merenungkan ajakan bijak Nelson Mandela agar berusaha untuk berbicara dalam bahasa anak-anak dan siswa kita, atau setidak-tidaknya, berbicara dalam bahasa yang mereka mengerti.


Friday, November 27, 2015

Membongkar Mitos Gaya Belajar (2)


Baca juga: Membongkar mitos gaya belajar (1)

Andaikan anda seorang guru. Suatu ketika, atas saran seorang kawan, anda mensurvei gaya belajar siswa di kelas anda. Sebagian besar ternyata pembelajar visual: mereka mengaku lebih senang melihat gambar dan diagram daripada membaca teks atau mendengar ceramah suara. 

Apa yang sebaiknya anda lakukan? Menurut para pelopor teori gaya belajar, guru yang baik seharusnya menyesuaikan cara mengajar dengan gaya belajar siswanya. Tapi bagaimana caranya? Jangan kuatir, kalau anda belum bisa melakukannya, ada berbagai seminar dan pelatihan yang bisa anda ikuti! Tentu dengan sedikit biaya investasi :)

Seperti saya tulis sebelumnya, gagasan gaya belajar ini sangat populer. Produk yang dijual para pencetusnya laris manis. Ini industri bernilai jutaan dolar. Yang jadi masalah adalah gagasan ini tidak punya fondasi yang kokoh. Dengan kata lain, penyesuaian antara pengajaran dan gaya belajar masih berstatus mitos!

Thursday, November 26, 2015

Membongkar Mitos Gaya Belajar (1)


Baca juga: Membongkar mitos gaya belajar (2)

Apakah anda lebih suka belajar dengan melihat? Bagaimana kalau dibandingkan belajar dengan mendengarkan orang bicara? Atau sambil bergerak dan melakukan aktivitas secara fisik? 

Sebagian besar dari Anda mungkin sudah pernah mendengar pertanyaan-pertanyaan ini. Sebagian mungkin sudah pernah mencoba mengisi kuesioner atau kuis yang memuat pertanyaan-pertanyaan serupa. Di balik pertanyaan-pertanyaan semacam ini adalah gagasan bahwa tiap individu memiliki "gaya belajar" yang unik. 

Tuesday, June 9, 2015

Berpikir adalah Melupakan

Melupakan adalah bagian esensial dari proses berpikir dan belajar.
Sumber: http://thisisinfamous.com/wp-content/uploads/2014/08/mad-max-fury-road.jpg

Pikirkan film terakhir yang anda tonton. Apakah itu film yang layak ditonton ulang, atau direkomendasikan pada orang lain? Film terakhir saya adalah Mad Max. Plot ceritanya biasa saja. Endingnya klise, sebagaimana film Hollywood lainnya. Para aktor dan aktrisnya berperan bagus tapi tidak istimewa. Namun demikian, Mad Max adalah film laga (action) yang sungguh ciamik. Saya katakan demikian karena sejak detik pertama, film itu menyuguhkan sajian visual yang luar biasa dan adegan intens yang tak putus-putus. Saya tidak akan ragu merekomendasikannya pada orang yang mencari film laga.

Sebagian pembaca akan setuju dengan simpulan saya tentang Mad Max, dan sebagian lagi tidak. Namun dalam tulisan ini, simpulan tentang Mad Max sekadar contoh dari sebuah mekanisme terkait proses berpikir manusia. Yang ingin saya soroti adalah bahwa seorang pemirsa bisa memikirkan sebuah film yang baru ia tonton, kemudian mengambil simpulan dan meyakini bahwa simpulan itu kuat, meski pun ia tidak mengingat keseluruhan informasi yang disajikan oleh film tersebut.

Sunday, February 22, 2015

Kematian yang Menerangi



Oliver Sacks, profesor ilmu syaraf New York University, adalah sedikit diantara ilmuwan hebat yang juga piawai menulis. Salah satu buku klasiknya adalah The Man Who Mistook His Wife for a Hat. Bagaimana mungkin seseorang bisa mengira bahwa istrinya adalah sebuah topi? Rasanya sulit menemukan buku dengan judul yang lebih menerbitkan rasa ingin tahu. Dan memang, buku-buku profesor Sacks adalah penawar bagi rasa takut dan sebal terhadap topik-topik neurosains yg kerap menjangkiti mahasiswa psikologi, termasuk saya. 

Pagi ini saya teringat akan profesor Sacks setelah membaca esainya di harian New York Times. Ternyata profesor yg berusia lebih dari delapan dekade ini baru saja didiagnosis menderita kanker yang tidak bisa disembuhkan. Dalam esainya, profesor Sacks menuturkan bagaimana ia menyikapi kematian yang hendak menjemput. 

Thursday, February 5, 2015

Kenangan yang Bias

Ingatan kita tentang pengalaman di masa lalu tidaklah objektif.
Sumber foto: http://brainpages.org/wp-content/uploads/2013/02/memory-loss.jpg

Daniel Kahneman, ahli psikologi kognitif penerima Nobel ekonomi, pernah melakukan survei yang unik. Ia mendampingi pasien-pasien yang sedang menjalani kolonoskopi, prosedur medis untuk melihat bagian dalam dari usus dengan cara memasukkan kamera melalui dubur. Setiap beberapa detik ia meminta mereka melaporkan tingkat rasa sakit yang dialami dalam skala rasa sakit nol sampai sepuluh. Tidak seperti sekarang, pada zaman itu kolonoskopi masih dilakukan tanpa anastesi penuh. Bisa dibayangkan betapa tidak menyenangkan prosedur tersebut!

Segera setelah menjalani kolonoskopi, Kahneman meminta tiap pasien menilai seberapa menyakitkan prosedur tersebut secara keseluruhan. Dengan kata lain, Kahneman ingin mengetahui ingatan subjektif tentang totalitas dari pengalaman tidak menyenangkan yang baru saja dialami seseorang. Pertanyaan yang ingin dijawab Kahneman adalah apa yang memprediksi ingatan tentang seberapa menyakitkan sebuah pengalaman.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...