Sunday, January 31, 2021

Menempatkan Asesmen Sesuai Fungsinya


Oleh: Anindito Aditomo

Dalam konteks pendidikan formal, asesmen dikatakan berpihak pada anak ketika ia mendukung tumbuhnya potensi-potensi terbaik siswa. Dengan ukuran ini, seberapa berpihak pada anakkah asesmen yang dipraktikkan dalam sistem pendidikan Indonesia?

Fungsi-fungsi asesmen

Agar bisa lebih sistematis mendiskusikan hal ini, mari kita petakan dahulu jenis-jenis asesmen secara konseptual. Berdasarkan fungsinya, setidaknya ada empat jenis asesmen: formatif, akuntabilitas, sertifikasi, dan seleksi

Pertama, asesmen formatif berfungsi memahami posisi siswa dalam trajektori belajar: apa yang dipahami dan belum dipahami, apa yang bisa dan belum bisa dilakukan. Hasilnya dipakai sebagai umpan balik bagi siswa dan guru. Untuk memenuhi fungsi ini, asesmen harus bersifat personal dan hasilnya segera diketahui. Secara praktis, asesmen formatif sebenarnya merupakan bagian integral dari pengajaran (instruksi). Segala sesuatu yang dilakukan guru untuk memahami kebutuhan belajar siswa dalam proses pengajaran dapat disebut sebagai asesmen formatif.

Kedua, asesmen bisa digunakan sebagai mekanisme pertanggungjawaban atau akuntabilitas. Dalam hal ini, hasil asesmen dipakai untuk menilai apakah guru, sekolah, dan dinas pendidikan telah menjalankan tugasnya dengan baik. Agar bisa memenuhi fungsi akuntabilitas, asesmen perlu menggunakan instrumen dan prosedur yang terstandard. Pelaksana asesmen ini adalah pihak dari luar sekolah yang seharusnya impersonal atau tidak punya konflik kepentingan dengan pihak yang dinilai. Akreditasi sekolah dann universitas adalah contoh asesmen untuk akuntabilitas. Ujian Nasional juga berfungsi sebagai akuntabilitas sekolah ketika pemerintah menggunakan hasilnya untuk memberi label „berprestasi“ dan, secara implisit, „tidak berhasil“ pada sekolah-sekolah tertentu.

Ketiga, asesmen bisa dipakai untuk sertifikasi. Artinya, hasil asesmen digunakan untuk menyatakan bahwa seseorang memiliki pengetahuan, keterampilan, atau kompetensi tertentu. Asesmen ini juga formal dan terstandard. Hasilnya dimaknai berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh badan atau pihak yang memiliki kewenangan legal di bidang tertentu. Uji kompetensi untuk calon dokter, akuntan, psikolog, advokat, dll adalah contoh ujian untuk sertifikasi. Kriteria kelulusannya ditentukan oleh masing-masing organisasi profesi. Ketika digunakan untuk syarat kelulusan, Ujian Nasional juga dipakai melayani fungsi sertifikasi, dengan kriteria kelulusan yang (seharusnya) mengacu pada standar capaian lulusan.

Keempat, asesmen juga digunakan untuk menyortir dan menyeleksi individu. Asesmen untuk seleksi juga formal dan terstandard, namun hasilnya dimaknai berdasarkan patokan normatif. Dengan kata lain, skor seseorang dimaknai berdasarkan perbandingannya dengan skor peserta asesmen yang lain, bukan berdasarkan kriteria kualitatif yang apriori. Ujian masuk perguruan tinggi dan tes CPNS, misalnya, adalah asesmen untuk seleksi. Ketika digunakan untuk seleksi masuk sekolah jenjang berikutnya, Ujian Nasional juga melayani fungsi seleksi. Hanya saja, skornya dimaknai bukan berdasarkan standard yang ada di kurikulum, tetapi berdasarkan distribusi skor peserta ujian lain.

Dampak pada proses belajar siswa

Membandingkan keempat jenis asesmen ini, yang paling berpihak pada anak yang asesmen formatif. Bila dipraktikkan dengan baik, asesmen formatif secara otomatis meningkatkan mutu belajar mengajar. Atau dengan kata lain, asesmen formatif adalah bagian dari proses belajar mengajar itu sendiri. Asesmen formatif punya dampak langsung pada tumbuh kembang siswa.

Bagaimana dengan ketiga jenis asesmen yang lain? Sebenarnya masing-masing bisa berdampak positif pada proes belajar siswa, namun hanya secara tidak langsung. Asesmen untuk akuntabilitas guru bisa berdampak positif untuk siswa jika ia membuat guru mengubah dan memperbaiki caranya mengajar. Asesmen untuk akuntabilias sekolah akan berdampak positif pada siswa jika ia mendorong sekolah menerapkan program dan tata kelola yang mendorong guru memperbaiki mutu pengajarannya. Pada level berikutnya, asesmen akuntabilitas dinas bisa berdampak positif pada siswa jika ia mendorong sekolah membuat program yang mendorong guru memperbaiki mutu pengajarannya.

Jika dibuat skema, rantai pengaruhnya akan tampak seperti ini:

Asesmen untuk akuntabilitas => kebijakan pendidikan => tata kelola sekolah => mutu pengajaran guru => proses dan hasil belajar siswa.

Jika satu saja mata rantai di atas terputus, maka asesmen tidak akan berdampak positif pada siswa. Sebaliknya, asesmen semacam itu seringkali memiliki efek samping yang buruk untuk proses belajar, mulai dari stres, penyempitan kurikulum, sampai mendorong manipulasi atau kecurangan. Masalahnya adalah rantai tersebut lebih sering putus daripada nyambungnya. Jika hasil asesmen hanya berupa skor, apakah guru bisa menggunakannya untuk melakukan refleksi dan mengubah caranya belajar? Jika hasil asesmennya diberikan ke sekolah empat atau lima bulan setelah pelaksanaan asesmen, apakah sekolah bisa menggunakannya untuk memperbaiki tata kelolanya? 

Asesmen untuk sertifikasi dan seleksi juga demikian. Dampak positifnya pada anak bersifat tidak langsung, misalnya melalui dorongan pada motivasi siswa untuk belajar. Ini yang sering digunakan oleh guru dan pengambil kebijakan sebagai alasan untuk mempertahankan penggunaan berbagai ujian terstandar di sekolah. Kalau tidak ada ujian, siswa tidak akan termotivasi untuk belajar! Tapi sebenarnya rantai pengaruhnya tidak sesederhana itu. Sebelum berdampak pada hasil belajar, motivasi perlu mewujud sebagai strategi dan perilaku belajar yang efektif.

Asesmen untuk seleksi/sertifikasi => motivasi siswa untuk belajar => perilaku belajar yang efektif => hasil belajar yang lebih baik

Sekali lagi, jika satu saja dari mata rantai ini putus, maka asesmen menjadi tak berguna bagi siswa. Dalam hal ini, problemnya terkait dengan ketimpangan. Agar motivasi bisa mewujud sebagai perilaku belajar yang efektif, siswa tentu harus memiliki pengetahuan dan keterampilan belajar yang baik. Dan hal ini cenderung lebih dimiliki oleh siswa dari keluarga menengah atas yang orangtuanya berpendidikan tinggi. Dengan kata lain, asesmen semacam ini seringkali lebih berdampak positif bagi siswa kaya dibanding yang miskin. Selain itu, kalau pun bisa membuat siswa belajar secara lebih efektif, yang dipelajari belum tentu bermanfaat bagi siswa di luar konteks sertifikasi dan seleksi tersebut.

Dengan kerangka berpikir ini, kita bisa menakar seberapa berpihak pada anak berbagai asesmen yang selama ini diterapkan di sekolah-sekolah di Indonesia.

Saturday, December 12, 2020

Ujian Nasional dan Hakikat Pendidikan

Oleh: Anindito Aditomo

Misalkan ada momok di sekolah yang membuat anak Anda cemas berkepanjangan, malas berpikir mendalam tentang banyak mata pelajaran, enggan membaca buku-buku yang meluaskan wawasannya, dan tak punya waktu untuk mempelajari apa yang ia minati, apa yang akan Anda lakukan? Yang paling mudah tentu berharap hal ini hanyalah sebuah perumpamaan. Sayang seribu sayang, momok tersebut sungguh nyata. Ia hadir dalam bentuk hajat tahunan bangsa ini: Ujian Nasional.

Anda yang membaca koran dan melihat TV pasti sudah mahfum bahwa runyamnya pelaksanaan Ujian Nasional (UN) tahun ini telah menggegerkan seantero negeri. Distribusi soal yang amburadul membuat belasan provinsi menunda ujian. Jumlah lembar soal yang kurang membuat sebagian siswa terpaksa menggunakan lembar soal hasil fotokopi. Di beberapa daerah, rumitnya sistem paket ujian mengakibatkan tertukarnya lembar soal. Muncul pula isu jual beli kunci ujian, meski hal ini lebih banyak dibicarakan di bawah radar, melalui bisik-bisik antar guru dan keluh kesah di media sosial. Inkompetensi pemerintah dalam pelaksaan UN ini membuat banyak orang marah. Sebagian mendesak menteri pendidikan untuk mundur, sebagian lagi menduga ada korupsi dalam tender pencetakan soal dan kebocoran ujian.

UN Sebagai Asesmen Pendidikan

Di tengah kehebohan ini, ada baiknya kita berpikir lebih mendasar tentang UN. Andaikan UN dilaksanakan dengan profesional, dan andaikan semua yang terlibat bisa dibuat jujur sehingga tidak ada kebocoran soal, apakah UN sebaiknya diselenggarakan secara rutin di kelas 6, 9 dan 12 seperti saat ini? Jawabannya: tidak. Sistem UN yang sekarang diterapkan, sesempurna apapun teknis pelaksanaannya, telah dan akan terus merusak pendidikan.

Untuk memahami mengapa UN justru merusak, kita perlu menengok kedudukannya sebagai sistem asesmen. Berdasar fungsinya, asesmen bisa dibagi menjadi dua: asesmen formatif yang membantu proses belajar, dan asesmen sumatif untuk mengevaluasi hasil belajar. Mudah diduga, UN tergolong asesmen sumatif. Hasilnya (seharusnya) digunakan oleh pemerintah guna memetakan kualitas sekolah, dan oleh stakeholder lain yang akan menggunakan lulusan sekolah seperti perusahaan yang mencari tenaga kerja atau panitia seleksi perguruan tinggi.

Poin pentingnya, UN memang tidak dirancang untuk memperbaiki proses belajar-mengajar di kelas. Luaran UN hanya berupa angka, tanpa deskripsi pemahaman dan kesalahpahaman siswa. Ujian juga diselenggarakan di akhir tahun ajaran, sehingga tak memungkinkan guru memperbaiki cara pengajarannya. UN bisa dianggap sebagai ukuran kasar dari tingkat pemahaman siswa tentang beberapa mata pelajaran di sekolah. Dan karena ada standarisasi, hasilnya bisa digunakan untuk pemetaan, untuk membandingkan kualitas sekolah secara kasar. Tapi ia tidak bisa digunakan secara langsung untuk memperbaiki kualitas proses pembelajaran.

Dengan kata lain, pemetaan dan peningkatan kualitas pendidikan adalah dua hal yang harus dipisahkan. Pemetaan dengan data UN bisa digunakan sebagai informasi untuk perbaikan kualitas. Namun perbaikan kualitas itu sendiri harus dicapai melalui faktor lain seperti kompetensi guru dan iklim akademik sekolah.

Efek Samping High-Stakes Test

Para pendukung UN mungkin akan menyangkal: bukankah UN membuat guru mengajar lebih serius dan memotivasi siswa untuk belajar? Sepintas argumen ini masuk akal, tapi mari kita dicermati. Benarkah UN membuat siswa bergairah belajar, memuaskan rasa ingin tahu, dan meluaskan wawasan? Apakah UN mendorong guru menjadi inovatif dalam mengajar, untuk mengembangkan kemampuan siswa berpikir analitik dan kreatif?

Atau sebaliknya, jangan-jangan yang dilecut oleh UN adalah ketakutan akan ketidaklulusan? Jangan-jangan guru justru melihat UN sebagai momok yang memaksa mereka hanya mengajarkan materi yang akan diujikan? Sayangnya, kemungkinan kedua inilah yang terjadi. Tak perlu menjadi ahli pendidikan untuk melihat gejala-gejalanya. Lihat saja betapa maraknya lembaga bimbingan belajar, dramatisnya doa-doa bersama, beragamnya upaya klenik untuk meningkatkan nilai, banyaknya siswa yang stres menghadapi UN, dan berbagai cerita kebocoran kunci jawaban.

Semua ini terkait dengan sifat UN sebagai asesmen dengan pertaruhan besar (high-stakes). Nilai UN menentukan persepsi atas kompetensi guru, yang pada gilirannya menentukan jumlah dan kualitas siswa yang memilih sekolah tersebut. Bagi siswa, nilai UN menentukan tidak saja kelulusan, tapi juga kemungkinan masuk sekolah dan universitas favorit. Bagi banyak siswa, terutama dari keluarga miskin, kegagalan UN akan menutup kesempatan untuk memperbaiki keadaan ekonomi keluarga. Singkat kata, yang dipertaruhkan dalam UN adalah masa depan itu sendiri!

Dengan demikian, respon-respon negatif terhadap high-stakes test tidaklah mengejutkan. Penjelasannya sederhana: bila pertaruhannya begitu besar, siswa dan guru yang merasa tidak mampu untuk memenuhi standar yang ditetapkan akan menempuh segala cara untuk lulus. Dan banyak hal berkonspirasi untuk membuat banyak siswa merasa tak mampu lulus: mulai dari infrastruktur fisik yang tak layak, latar belakang sosial ekonomi, dan rendahnya kompetensi banyak guru. Sekali lagi, sesungguhnya tidak mengherankan bila banyak yang berpaling pada cara-cara praktis, mistik, dan bahkan ilegal untuk meningkatkan nilai UN.

Hakikat Pendidikan

Tapi bagaimana jika pemerintah bisa membuat semua orang jujur sehingga tidak ada kecurangan sedikit pun dalam UN? Paling tidak, bukankah ini akan memaksa siswa untuk mempelajari materi yang diujikan? Memang betul. Tapi bukan ini hakikat pendidikan. Tujuan utama sekolah bukanlah membuat siswa tahu tentang sekumpulan topik yang ditetapkan oleh pemerintah. Ada hal-hal yang lebih penting daripada itu.

Yang pertama dan sudah kerap disebut adalah kemampuan untuk belajar sepanjang hayat. Ini mencakup kecakapan untuk mendeteksi keterbatasan pengetahuan diri sendiri, untuk mencari dan mensintesis informasi baru, dan untuk memotivasi diri untuk melakukannya. Yang kedua, dan yang masih jarang disinggung, terkait dengan nilai-nilai intelektual seperti apresiasi akan ilmu, penghargaan akan proses merumuskan pertanyaan dan mencari jawaban secara sistematis, kekaguman terhadap buah pemikiran cerdik cendekia kontemporer ataupun yang hidup di masa lalu, kepuasan yang spontan terasa ketika mata batin terbuka untuk memahami hal baru.

Bagi saya, kedua hal ini lebih dekat pada hakikat pendidikan: pendewasaan personal serta pencerahan pikiran dan hati melalui ilmu pengetahuan. Dan pengembangan nilai-nilai intelektual ini adalah tugas unik yang diemban sekolah: tak ada institusi sosial lain yang bisa atau bertugas melakukannya. Bila ini yang kita kehendaki bersama, maka momok bernama UN harus dihapus.

Keterangan: pertama kali terbit di Jakartabeat.net, 25 April 2013.

Saturday, December 5, 2020

Literasi dan Pengajaran Matematika di Madrasah dan Sekolah Umum: Temuan Berdasarkan PISA 2012

Oleh: Anindito Aditomo

Ketika memulai analisis ini, saya menyangka bahwa prestasi sains dan matematika siswa madrasah cenderung lebih rendah dibanding siswa sekolah umum. Namun ketika saya mencoba menelusuri Google Scholar tentang topik ini, tampaknya belum ada yang mengkaji kesenjangan antara madrasah dan sekolah umum. Atau setidaknya, saya gagal menemukan publikasi ilmiah mengenai hal itu. Begitu juga mengenai pemetaan mutu antar sektor lain seperti sekolah negeri vs. swasta di Indonesia. Lantas dari mana prasangka saya ini ya? Yang jelas, bukan dari hasil penelitian 🙂

Sedikitnya publikasi ilmiah mengenai mutu sekolah ini mengherankan. Sebagai bangsa yang gemar tes dan ujian, Indonesia sebenarnya punya banyak data yang relevan. Setiap tahun ada ujian berstandar nasional di tiga tingkat: SD, SMP, dan SMA. Belum lagi asesmen-asesmen yang dilakukan khusus untuk pemetaan seperti AKSI. Plus berbagai asesmen internasional yang setia kita ikuti, termasuk PISA, TIMSS, dan PIRLS. Sulit percaya bahwa data sedemikian banyak tidak dikaji. Apakah kajiannya tidak terbit di jurnal, tapi ditulis sebagai laporan? Itu pun sulit ditemukan. Sebagai perbandingan, PISA national report berbagai negara bisa ditemukan dengan mudah.

Apa pun, kemarin saya mencoba menggunakan data PISA 2012 untuk membandingkan mutu madrasah dan sekolah umum. Analisis difokuskan pada mutu pengajaran dan literasi matematika, yang menjadi domain utama PISA 2012. Hasil lengkapnya akan digunakan sebagai bahan menulis artikel jurnal oleh seorang kawan di Surabaya. Temuan-temuan utamanya saya tampilkan di sini dalam bahasa yang lebih mudah dipahami.

Literasi Matematika dalam PISA 2012

Berbeda dari kebanyakan asesmen, PISA tidak mengacu pada konten kurikulum tertentu. Sebaliknya, PISA berangkat dari analisis mengenai apa yang dibutuhkan oleh seseorang untuk bisa berpartisipasi secara efektif dalam kehidupan modern dan demokratis. Karena itu, PISA mendefinisikan literasi sebagai kompetensi dalam menggunakan pengetahuan bahasa, matematika, dan sains pada berbagai problem yang kerap dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.

Untuk matematika, literasi digambarkan sebagai proses pemodelan yang mencakup empat aktivitas kognitif: (1) memformulasikan problem matematis berdasarkan problem konkret, (2) menerapkan pengetahuan matematika pada problem matematis, (3) menafsirkan makna hasil operasi matematis dalam konteks konkret, dan (4) mengevaluasi makna tersebut dalam kaitannya dengan problem awal. Bagi yang tertarik mempelajari lebih lanjut, sila baca dokumentasi PISA dan buku Assessing Mathematical Literacy: The PISA Experience karya Kaye Stacey dan Ross Turner (2015).

.

Literasi matematika menurut PISA 2012 Assessment and Analytical Framework (OECD, 2013)

.

Konsep literasi matematika ini diimplementasikan dalam soal-soal yang menekankan pada proses berpikir, biasanya tanpa melibatkan perhitungan yang rumit. Di bawah ini adalah contoh salah satu soal PISA 2012. Dalam soal tersebut, siswa diberi sekumpulan informasi mengenai stasiun pembangkit tenaga angin, mulai dari nama model, tinggi menara, sampai efisiensi operasionalnya. Siswa kemudian diminta mengevaluasi benar tidaknya beberapa pernyataan terkait, seperti “Pembangunan tiga pembangkit akan memerlukan biaya XXX” dan “Pembangkit ini tidak beroperasi selama 97 hari dalam setahun.”

.

Versi bahasa Inggris sebuah soal literasi matematika PISA 2012 (Sumber: PISA Released Items https://www.oecd.org/pisa/pisaproducts/pisa-test-questions.htm)

.

Soal-soal semacam ini diterapkan pada sampel siswa berusia 15 tahun (kelas 9-10) di tiap negara yang berpartisipasi dalam PISA. Sudah jamak diketahui bahwa secara umum, kemampuan siswa Indonesia tergolong paling rendah dibanding negara-negara lain. Yang belum banyak dilakukan adalah menggunakan data semacam ini untuk memetakan dan menjelaskan mutu sekolah di Indonesia.

Mengukur Pengajaran Matematika

Ada banyak pendekatan untuk mendefinisikan dan mengukur mutu pengajaran. Dalam PISA 2012, mutu pengajaran matematika diukur berdasarkan konsep opportunity to learn (OTL), yakni kesempatan yang disediakan sekolah bagi siswa untuk mempelajari materi sebuah pelajaran. Pada awalnya, istilah OTL digunakan oleh J.B. Caroll pada 1963 untuk merujuk pada waktu yang tersedia untuk mempelajari materi pelajaran. Dalam konsepsi ini, jumlah jam pelajaran yang dialokasikan dapat digunakan sebagai indikator mutu pengajaran di sebuah sekolah atau sistem pendidikan. Pelajaran yang dianggap penting akan diberi porsi waktu yang lebih besar dibanding pelajaran lain.

OTL juga dapat diukur berdasarkan penekanan yang diberikan oleh guru pada konten kurikulum yang dianggap penting dalam sebuah pelajaran. PISA 2012 menyediakan dua indikator penekanan konten. Yang pertama adalah indikator penekanan pada aplikasi matematika terhadap problem atau situasi konkret (semacam soal literasi matematika PISA itu sendiri). Indikator ini disebut sebagai penekanan pada “matematika terapan” dan diperoleh berdasarkan respon siswa pada butir-butir kuesioner seperti berikut:

.

.

Indikator kedua terkait konten adalah penekanan guru matematika pada soal-soal aljabar, geometri, dan teori angka secara lebih abstrak. Dalam PISA 2012, ini disebut sebagai penekanan pada “matematika formal” dan juga diperoleh dari laporan siswa. Berikut contoh butir kuesioner yang mengukur indikator matematika formal:

.

.

Tentu, alokasi waktu dan penekanan konten kurikulum hanya dua indikator kasar dari mutu pengajaran. Bahkan keduanya mungkin sulit dianggap mencerminkan kualitas pengajaran dalam pengertian yang lebih dalam. Di sisi lain, keduanya dapat dilihat sebagai prasyarat dasar yang harus ada agar siswa memiliki kesempatan untuk memahami sebuah pelajaran. Bagi yang tertarik, artikel Elliott dan Bartlett (2019) memberi penjelasan ringkas namun cukup komprehensif mengenai konsep opportunity to learn dalam riset pendidikan.

Pengajaran dan Literasi Matematika di Madrasah vs. Sekolah Umum

Bagaimana gambaran literasi dan pengajaran matematika di madrasah? Bagaimana perbandingannya dengan sekolah umum di Indonesia? Dan jika ada kesenjangan antara literasi siswa madrasah dan sekolah umum, apakah hal itu terjadi karena perbedaan alokasi waktu dan penekanan konten pelajaran matematika?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, saya menerapkan analisis regresi linear multijenjang (multilevel modelling) pada sampel Indonesia di PISA 2012. Sampel terdiri atas 3658 siswa dari 172 sekolah yang dipilih secara acak untuk mewakili populasi siswa berusia 15 tahun di Indonesia. Analisis yang melibatkan skor literasi dilakukan 10 kali masing-masing pada plausible value yang berbeda. Tingkat pendidikan orang tua digunakan sebagai variabel kontrol pada level siswa maupun sekolah. Jenjang sekolah (SMP/MTS vs. SMA/MA) digunakan sebagai variabel kontrol pada level sekolah.

Hasil analisis mengkonfirmasi dugaan bahwa ada kesenjangan literasi matematika antara madrasah dan sekolah umum. Namun kesenjangannya tidak sebesar yang saya sangka. Secara rata-rata, skor literasi siswa madrasah hanya lebih rendah sekitar 16 poin dibanding sekolah umum. Sebagai perbandingan, analisis OECD menunjukkan bahwa (secara internasional), selisih 30 poin setara dengan ketertinggalan 1 tahun pelajaran. Dengan demikian, secara rata-rata siswa madrasah tertinggal sekitar 1/2 tahun pelajaran dibanding siswa sekolah umum.

Selanjutnya, apakah madrasah dan sekolah umum berbeda dalam hal pelajaran matematika? Dan jika ya, apakah perbedaan tersebut dapat menjelaskan kesenjangan dalam literasi matematika siswanya? Kedua pertanyaan ini terjawab sekaligus melalui analisis mediasi berikut. Analisis saya lakukan secara terpisah untuk ketiga indikator OTL, sebelum digabung dalam satu model utuh.

Pertama, analisis menunjukkan bahwa sekolah umum mengalokasikan waktu lebih banyak untuk pelajaran matematika dibanding madrasah. Selisihnya sekitar 24 menit/minggu. Alokasi waktu ini kemudian juga berhubungan positif dengan skor literasi matematika siswa (yang dirata-rata untuk tiap sekolah, karena ini adalah hasil analisis pada level sekolah). Tambahan satu menit/minggu memprediksi peningkatan 0.45 poin pada skor literasi sekolah.

Dengan memasukkan variabel alokasi waktu dalam model, hubungan langsung antara jenis sekolah (madrasah vs. sekolah umum) dengan skor literasi matematika menjadi tidak signifikan. Dengan demikian, alokasi waktu untuk pelajaran matematika tampaknya menjadi salah satu faktor yang menjelaskan kesenjangan literasi matematika antara madrasah dan sekolah umum di Indonesia.

.

Kedua, analisis menunjukkan bahwa penekanan pada matematika terapan berkaitan positif dengan skor literasi matematika siswa. Sekolah-sekolah yang gurunya sering memberi kesempatan pada siswa untuk mencoba mengerjakan soal-soal matematika terapan juga merupakan sekolah yang memiliki skor rata-rata literasi lebih tinggi. Selisih antara sekolah yang “kadang-kadang” dan yang “sering” menggunakan soal matematika terapan cukup besar: 77 poin. Ini setara dengan hasil belajar selama 2 tahun pelajaran.

Meski demikian, guru-guru madrasah dan sekolah umum tidak berbeda dalam penekanan mereka pada matematika terapan. Jadi indikator OLT ini tidak berperan dalam kesenjangan literasi matematika antara madrasah dan sekolah umum.

.

Ketiga, dibanding guru madrasah, guru sekolah umum cenderung memberi penekanan lebih besar pada matematika formal. Penekanan pada matematika formal selanjutnya memprediksi literasi matematika yang lebih tinggi. Sekolah-sekolah yang gurunya “sering” menekankan pada matematika formal secara rata-rata memiliki skor literasi yang 116 poin lebih tinggi dibanding sekolah di mana gurunya hanya “kadang-kadang” melakukannya. Ini tergolong selisih yang sangat besar. Bila kita percaya pada estimasi OECD, selisih ini hampir setara dengan 4 tahun pelajaran!

Selain itu, analisis juga menunjukkan bahwa penekanan pada matematika formal dapat menjelaskan kesenjangan literasi antara madrasah dan sekolah umum.

.

Analisis terakhir saya lakukan untuk melihat peran ketiga indikator opportunity to learn secara bersamaan. Hasilnya menunjukkan bahwa hanya penekanan pada matematika formal saja yang tetap terkait dengan jenis sekolah, sekaligus menjadi prediktor signifikan terhadap skor literasi matematika.

Hasil terakhir ini mengindikasikan bahwa peningkatan alokasi waktu dan penekanan lebih besar pada matematika terapan tidak banyak bermanfaat, jika tidak dibarengi dengan penekanan pada matematika formal. Penafsiran saya, ini menegaskan pentingnya memberi kesempatan pada siswa untuk bergelut dengan konsep-konsep matematika itu sendiri. Waktu yang lebih banyak untuk mengerjakan soal-soal cerita yang menarik (“terapan”) tidak berguna jika hal itu tidak melibatkan penggunaan ide-ide matematika.

Jika temuan-temuan ini benar, tampaknya pengajaran berperan penting dalam menjelaskan kesenjangan literasi matematika antara madrasah dan sekolah umum. Dengan demikian, kebijakan yang dirancang untuk menutup kesenjangan ini dapat menyasar pada perbaikan opportunity to learn berupa alokasi waktu, penekanan pada matematika terapan, dan (terutama) penekanan pada matematika formal.

Keterbatasan penelitian

Analisis di atas tentu terbatas karena didasarkan pada data cross-sectional. Meski saya sudah berusaha mengendalikan beberapa variabel yang diketahui berpengaruh pada literasi siswa (terutama latar belakang orang tua), analisis ini tidak bisa menyimpulkan secara definitif bahwa hubungan sebab-akibat antar variabelnya. Perlu penelitian lain untuk melihat apakah temuan-temuan di atas dapat direplikasi menggunakan data dan pendekatan analisis yang berbeda.

Tuesday, December 1, 2020

Seberapa besar kesenjangan hasil belajar matematika siswa SD di Indonesia?

Oleh: Anindito Aditomo

Salah satu ukuran utama kualitas sekolah dan sistem pendidikan adalah hasil belajar siswanya. Pengetahuan dan keterampilan apa yang diperoleh siswa dari proses belajar mengajar di sekolah? Jika siswa tidak bertambah pintar setelah sekian tahun menjalani proses belajar-mengajar, mutu sekolah tentu patut dipertanyakan.

Dalam hal ini, yang kerap mendapat perhatian adalah hasil belajar siswa secara keseluruhan (rata-rata). Contohnya adalah ranking mutu sistem pendidikan yang dibuat studi internasional seperti PISA atau TIMSS, atau ranking sekolah yang diumumkan Kemendikbud berdasarkan rata-rata skor Ujian Nasional. Yang juga sering diperhatikan adalah hasil belajar terbaik. Misalnya, siswa yang mendapat skor ujian tertinggi di sebuah sekolah atau daerah kerap masuk berita. Atau, banyak sekolah yang membanggakan jumlah siswanya yang berhasil meraih medali olimpiade atau lulus ujian masuk perguruan tinggi negeri.

Problem kesenjangan

Yang lebih jarang dan sebenarnya juga amat penting diperhatikan adalah variasi dalam hasil belajar tersebut. Variasi hasil belajar ini bisa antar sekolah atau antar sektor pendidikan (misalnya, sekolah negeri vs. swasta, SMA vs. SMK, atau SMA vs. MAN). Variasi hasil belajar antar sekolah dan sektor pendidikan yang (terlalu) tinggi merupakan sebuah masalah.

Hal ini problematis karena mencerminkan kesenjangan dalam hal layanan yang diberikan oleh sekolah dan pemerintah. Idealnya, kualitas layanan publik bersifat merata. Mau sekolah di mana pun, siswa seharusnya mendapat guru, fasilitas, dan proses belajar yang baik.

Variasi juga bisa terjadi antar kelompok siswa (misalnya, etnis atau gender) dan antar kelompok masyarakat (misalnya, siswa dari keluarga kaya dan miskin). Variasi antar kelompok yang besar juga merupakan masalah. Kesenjangan antar kelompok ini disebut sebagai problem equity atau keadilan pendidikan, karena menunjukkan bahwa prestasi siswa dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berada di luar kendalinya.

Misalkan prestasi sekolah siswa ditentukan oleh seberapa tinggi pendidikan ayah-ibunya atau seberapa baik fasilitas belajar yang ada di rumah. Ini problematis, karena siswa tidak bisa memilih dilahirkan di keluarga kaya atau miskin. Karena itu, semakin besar kecilnya pengaruh latar belakang sosial-ekonomi terhadap prestasi akademik siswa dianggap sebagai indikator keadilan pendidikan.

Seberapa besarkah variasi atau kesenjangan antar sekolah dan kelompok masyarakat ini di Indonesia? Tulisan ini menyajikan perkiraan besarnya kesenjangan dalam hasil belajar pada siswa kelas 4 SD di Indonesia. Data yang saya gunakan berasal dari studi TIMSS 2015 yang mengukur penguasaan matematika dan sains (IPA). Agar lebih fokus, saya hanya membahas hasil belajar matematika saja.

Kesenjangan antar sekolah

Dalam TIMSS 2015, rata-rata skor siswa SD kelas 4 di Indonesia adalah sekitar 397, sedangkan rata-rata internasional adalah 500. Skor ini mencerminkan penguasaan matematika yang tergolong paling rendah secara internasional (setidaknya dibanding negara-negara peserta studi TIMSS 2015).

Sampel TIMSS 2015 di Indonesia mencarkup 230 sekolah dasar. Grafik (histogram) berikut memberi gambaran tentang variasi skor antar 230 SD tersebut.

Tampak bahwa terdapat rentang skor yang cukup besar. Di satu sisi (sebelah kanan histogram) ada sekolah yang siswanya secara rata-rata memiliki skor mendekati 600. Itu setara dengan skor rata-rata siswa di Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan. Di sisi lain (sebelah kiri histogram), ada sekolah yang skornya mendekati angka 200.

Kalau dihitung secara lebih cermat, skor matematika sekolah pada posisi 10% teratas adalah sekitar 466, sedangkan skor sekolah pada posisisi 10% terbawah adalah sekitar 300. Dengan kata lain, kesenjangan antara sekolah-sekolah paling top dan paling bawah di Indonesia adalah sekitar 166 poin. Ini mencerminkan kesenjangan mutu yang cukup besar. Sayangnya, informasi tentang lokasi sekolah tidak menjadi bagian dari data publik TIMSS, sehingga tidak mungkin mengetahui di mana kesenjangan tersebut terjadi.

Kesenjangan sosial-ekonomi

Kesenjangan sosial-ekonomi dalam pendidikan diukur dari seberapa erat kaitan antara status sosial-ekonomi (SES) dengan prestasi akademik siswa. Seperti disebutkan sebelumnya, kuatnya kaitan status sosial-ekonomi dengan prestasi akademik adalah indikator dari ketidakadilan sistem pendidikan.

Status sosial-ekonomi siswa dapat dilihat dari tingkat pendidikan dan prestise pekerjaan orangtua. Status sosial-ekonomi juga bisa dilihat dari pendapatan dan sumberdaya finansial/material yang dimiliki keluarga. Dalam analisis berikut, saya hanya akan melihat data TIMSS tentang tingkat pendidikan orangtua dan sumberdaya keluarga yang dapat mendukung kegiatan belajar di rumah (buku dan akses internet).

Secara metodologis, kaitan SES dan prestasi belajar diukur menggunakan teknik statistik bernama regresi multijenjang atau multilevel. Teknik ini memungkinkan kita untuk memisahkan kaitan antar variabel pada level individu (siswa) dan kelompok (kelas atau sekolah). Tabel berikut menyajikan hasil regresi multijenjang data TIMSS 2015 untuk sampel Indonesia.

Pendidikan ortuFasilitas belajar
Antar siswa11,046,48
Antar sekolah41,3133,11

Angka yang ada di tabel adalah perbedaan skor antar kategori pendidikan ortu dan fasilitas belajar. TIMMS membagi pendidikan orangtua ke dalam lima kategori, mulai dari SD, SMP, SMA, diploma, dan sarjana (atau lebih tinggi). Pada level individu, skor matematika siswa yang orangtuanya berpendidikan sarjana secara rata-rata lebih tinggi 11 poin dibanding siswa (di sekolah yang sama) yang ortunya berpendidikan diploma. Jika yng dibandingkan adalah siswa yang ortunya berpendidikan sarjana vs. SD, maka selisihnya menjadi 11 x 4, alias sekitar 44 poin.

Pada level sekolah, kesenjangannya lebih besar lagi. Sekolah yang rata-rata siswanya memiliki ortu sarjana memiliki skor matematika yang 41 poin lebih tinggi dibanding sekolah yang rata-rata siswanya memiliki ortu lulusan diploma. Jika yang dibandingkan adalah sekolah dengan kategori tertinggi (ortu siswa kebanyakan sarjana) dan terendah (ortu siswa kebanyakan lulusan SD), selisih skornya adalah sekitar 160 poin. Ini hampir sama dengan kesenjangan antara sekolah terbaik dan terburuk di Indonesia (lihat bagian sebelumnya).

Meski tidak sekuat pendidikan orangtua, fasilitas belajar di rumah juga memiliki kaitan serupa dengan hasil belajar matematika siswa. Dalam hal ini, TIMSS membagi fasilitas belajar ke dalam tiga kategori: buruk, sedang, dan baik. Siswa yang memiliki buku dan koneksi internet pada kategori tertinggi, secara rata-rata juga memiliki skor matematika lebih tinggi 13 poin (6,5 x 2) dibanding mereka pada kategori terendah. Di level sekolah, selisihnya adalah sekitar 66 poin.

Penutup

Temuan di atas menunjukkan besarnya peran latar belakang keluarga pada prestasi di sekolah. Hal ini sebenarnya sudah cukup lama disadari, setidaknya sejak tahun 1960-an dengan terbitnya hasil penelitian di Amerika yang kemudian terkenal sebagai Coleman Report. Berita buruknya lagi, kesenjangan pendidikan antar kelas sosial-ekonomi tidak banyak berkurang setelah sekian dekade.

Apakah ini berarti sekolah gagal dalam mengatasi problem kesenjangan? Jawabannya tergantung dari perspektif mana kita melihat. Di satu sisi, kebanyakan sekolah memang terlihat tidak berhasil menutup kesenjangan. Tapi di sisi lain, riset menunjukkan bahwa sebenarnya ada hal-hal yang bisa dilakukan guru dan sekolah untuk mengatasinya. Barangkali ini akan saya bahas di tulisan berikutnya.

Monday, November 30, 2020

Fasilitas di rumah dan ketimpangan pendidikan

 Oleh: Anindito Aditomo

Salah satu topik yang sedang menjadi fokus riset saya adalah ketimpangan pendidikan (educational inequality). Riset di bidang ini berusaha memahami mengapa siswa yang dari keluarga miskin cenderung meraih prestasi dan jenjang pendidikan lebih rendah daripada rekannya dari keluarga lebih mapan. Ketimpangan pendidikan sudah terdokumentasi dan menjadi perhatian peneliti di Barat sejak sekitar pertengahan abad ke-20. Di Amerika, Coleman report menjadi pemantik kesadaran tentang besarnya ketimpangan antar kelompok ras/etnis (yang tumpang tindih dengan kelompok sosial-ekonomi). Di Eropa, ketimpangan pendidikan menjadi perhatian ilmuwan sosial terkemuka seperti Basil Bernstein di Inggris dan Pierre Bourdieu di Perancis. Survei-survei internasional seperti PISA dan TIMSS menunjukkan bahwa ketimpangan pendidikan terjadi di banyak negara, termasuk Indonesia.

Apa penyebab terjadinya ketimpangan pendidikan? Di antara banyak faktor lainnya, salah satu penyebabnya adalah ketimpangan dalam hal fasilitas yang ada di rumah (home resources). Orangtua yang lebih berpendidikan dan lebih mapan secara ekonomi otomatis juga lebih mampu menyediakan berbagai fasilitas di rumah. Akses pada fasilitas ini kemudian sedikit banyak membantu anak untuk menjadi lebih berprestasi di sekolah. Namun fasilitas rumah seperti apa saja yang berpengaruh positif pada prestasi anak di sekolah? Bersama Dr. Jia He (peneliti di DIPF dan Tilburg University), saya berusaha menjawab pertanyaan ini untuk konteks Indonesia. Sampel yang kami gunakan adalah sekitar 6500 siswa dari 236 sekolah dari seluruh Indonesia yang merupakan bagian dari studi PISA 2015.

Jenis fasilitas di rumah

Studi PISA mengukur pencapaian akademik diukur melalui tes penalaran matematika, sains, dan bahasa. PISA juga mengumpulkan informasi mengenai latar belakang siswa, termasuk tingkat pendidikan dan pekerjaan orangtua serta berbagai fasilitas yang dimiliki di rumah. Jenis fasilitas rumah ini bisa dikelompokkan dalam empat kategori. Yang pertama adalah fasilitas yang menjadi penanda kekayaan secara umum, seperti jumlah kamar, TV, motor, dan mobil.

Yang kedua adalah karya seni dan sastra seperti buku puisi, novel klasik, dan lukisan. Kategori ini dianggap penting dalam teori modal budaya Bourdieu. Meski tidak secara langsung terkait pelajaran sekolah, karya sastra dan seni dianggap Bourdieu sebagai cermin nilai-nilai dan cara berpikir “kelas atas”. Dengan mencerna karya-karya sastra dan seni, siswa berkesempatan menginternalisasi nilai-nilai dan cara berpikir yang dipandang “tinggi” dan dihargai di sekolah. Secara teoretis, ketimpangan akses fasilitas budaya di rumah berkontribusi pada ketimpangan pendidikan.

Yang ketiga adalah hal-hal yang secara tradisional dianggap sebagai fasilitas belajar seperti meja belajar, tempat yang nyaman untuk belajar, serta kamus dan buku-buku pelajaran sekolah. Secara teoretis, kategori fasilitas ini seharusnya mendukung proses belajar siswa. Dengan demikian, ketimpangan akses fasilitas pendidikan di rumah ikut melanggengkan ketimpangan dalam hal prestasi dan pencapaian akademik lainnya di sekolah.

Yang terakhir adalah fasilitas ICT. Dalam rancangan awal PISA, kategori ini sebenarnya merujuk pada barang-barang digital secara umum seperti koneksi internet, tablet digital, komputer, dan ponsel pintar. Namun analisis kami menunjukkan bahwa “software pendidikan” dan “laptop untuk keperluan sekolah” justru menjadi dua indikator paling penting kategori ini untuk konteks Indonesia. (Evaluasi model pengukuran ini akan saya ceritakan dalam tulisan lain.) Dengan demikian, kategori ICT ini lebih tepat disebut sebagai fasilitas belajar berbasis ICT. Sama dengan kategori ketiga, fasilitas ICT seharusnya turut berkontribusi pada ketimpangan pendidikan.

Analisis dan temuan

Data kami analisis menggunakan pemodelan persamaan struktural (structural equation modeling, SEM) dengan bantuan Mplus. Analisis juga memperhatikan sifat data PISA yang clustered (kelompok siswa dalam sekolah). Secara konseptual, tingkat pendidikan dan profesi orangtua ditempatkan sebagai variabel independen (manifes), sedangkan empat kategori fasilitas rumah sebagai variabel perantara (mediator laten). Kedua kelompok variabel tersebut digunakan untuk memprediksi skor tes penalaran matematika, sains, dan bahasa (dalam tiga model terpisah).

Hasil analisis menunjukkan bahwa fasilitas belajar – terutama yang berbasis ICT – memiliki daya prediksi paling kuat terhadap skor penalaran di ketiga bidang yang diteliti. Kenaikan satu jenjang fasilitas pendidikan konvensional (buku, meja belajar, dll.) diikuti oleh kenaikan sekitar 30 poin penalaran. Untuk fasilitas pendidikan berbasis ICT (software pendidikan, koneksi internet, dll.), kenaikan satu jenjang diikuti oleh kenaikan sekitar 50 poin penalaran. Dalam estimasi OECD, 30 poin dalam tes PISA secara rata-rata mencerminkan efek dari satu tahun pelajaran. Dengan demikian, asosiasi antara fasilitas pendidikan di rumah dengan skor penalaran bisa dianggap cukup kuat.

Yang tidak diduga adalah temuan terkait fasilitas budaya. Hasil analisis menunjukkan bahwa fasilitas budaya tidak terkait secara signifikan dengan skor penalaran bahasa dan sains (dan justru sedikit negatif untuk penalaran matematika). Ini bertentangan dengan teori modal budaya Bourdieu dan juga hasil penelitian empiris sebelumnya. Analisis data PISA di banyak negara anggota OECD menunjukkan bahwa fasilitas budaya memiliki kaitan erat dengan prestasi akademik. Di negara-negara tersebut, fasilitas belajar di rumah justru tidak berdampak pada prestasi siswa di sekolah. Perbedaan antara temuan dari negara OECD vs. temuan dari Indonesia ini mungkin mencerminkan perbedaan konteks sosial-ekonomi. Di negara-negara yang ekonominya sudah lebih maju, fasilitas belajar di sekolah dan komunitas (misalnya, perpustakaan umum) lebih banyak tersedia. Karena itu, fasilitas belajar di rumah menjadi tak terlalu penting.

Selain itu, fasilitas penanda kekayaan justru terkait secara negatif dengan skor penalaran di ketiga bidang. Besaran asosiasinya juga sekitar 50 poin, namun dengan arah negatif (kenaikan satu jenjang kekayaan diikuti oleh penurunan 50 poin penalaran). Artinya, ketika kita membandingkan siswa dari keluarga dengan level sosial-ekonomi setara (dalam hal pendidikan/profesi ortu, fasilitas budaya, dan fasilitas belajar), maka mereka yang memiliki lebih banyak benda-benda penanda kekayaan (mobil, motor, kamera digital) cenderung lebih buruk prestasinya.

Terakhir, hasil uji mediasi menunjukkan bahwa fasilitas belajar menjelaskan sekitar 60 sampai 75% dari asosiasi antara tingkat pendidikan dan profesi orangtua dengan skor penalaran bahasa, matematika, dan sains siswa. Ini mendukung hipotesis bahwa fasilitas belajar (konvensional dan ICT) berperan penting dalam ketimpangan pendidikan. Dengan kata lain, akses fasilitas belajar di rumah adalah salah satu alasan mengapa siswa yang orangtuanya berpendidikan tinggi dan memiliki profesi bergengsi (kelas menengah-atas) juga cenderung berprestasi lebih baik di sekolah.

Simpulan

Analisis data PISA yang kami lakukan menggarisbawahi pentingnya keputusan investasi orangtua. Dengan sumberdaya yang sama, orangtua bisa memilih untuk berinvestasi pada hal-hal seperti kamera/motor/mobil vs. untuk fasilitas belajar, dengan dampak yang berbeda pada prestasi akademik anak. Dari perspektif kebijakan, hasil analisis ini menunjukkan bahwa fasilitas belajar yang bisa diakses oleh publik (seperti perpustakaan umum) mungkin merupakan komponen penting dalam upaya menutup ketimpangan pendidikan. Temuan-temuan ini juga menunjukkan manfaat dari analisis sekunder yang kontekstual terhadap data PISA.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...