Friday, August 22, 2014

Langkanya Kenikmatan Belajar di Bangku Kuliah

Motivasi berupa ancaman memang bisa menggerakkan orang, namun apa dampaknya pada proses belajar?

Kira-kira berapa persen mahasiswa di kuliah Anda yang tetap mau belajar, seandainya mereka tidak dinilai atau diancam hukuman apapun? Dengan kata lain, berapa banyak mahasiswa yang belajar karena motivasi intrinsik, yang belajar sampai lupa waktu karena begitu menikmati prosesnya, meski harus mengerahkan banyak pikiran dan tenaga?

Pertanyaan di atas saya ajukan pada para dosen yang mengikuti workshop tentang motivasi belajar mahasiswa siang tadi. Jawaban mereka, sayangnya, tidak mengejutkan. Sebagian besar memperkirakan bahwa hanya 10-20% dari peserta kuliahnya yang mau belajar karena motivasi intrinsik. Sedihnya, saya harus mengakui bahwa perkiraan tersebut juga berlaku untuk mahasiswa di kuliah saya.

Wednesday, August 6, 2014

Membawa Tantangan Membaca ke Surabaya

Tantangan membaca menumbuhkan keinginan dan kemauan, bukan sekedar kemampuan. 
https://www.flickr.com/photos/plymouthlibraries/
Sejak mengenal Reading Challenge (Tantangan Membaca) di Sydney, Australia, saya dan istri (Ade Kumalasari) sangat ingin menggagas program serupa di Indonesia. Secara prinsip, program tersebut sebenarnya sederhana. Pemerintah menyediakan daftar bacaan yang direkomendasikan untuk tiap jenjang sekolah. Sekolah membantu menyediakan buku-buku tersebut di perpustakaan. Guru membantu dengan memotivasi siswa dan memandu aktivitas yang mendukung, seperti membaca mandiri, diskusi kelompok, dan membacakan buku di kelas. Siswa yang membaca sejumlah buku dalam setahun akan diberi sertifikat yang ditandatangani oleh gubernur. 

Program Tantangan Membaca kami rasakan sangat membantu untuk membangun kebiasaan membaca pada anak. Anak menjadi tahu bahwa membaca adalah aktivitas yang dihargai oleh orang dewasa di sekitarnya. Mereka menjadi punya kesempatan untuk saling berbagi dengan bacaannya, untuk merasakan nikmatnya berimajinasi tentang dunia fiksi yang mereka baca. Kesempatan semacam ini sangat penting, terutama untuk anak dari keluarga yang tidak punya tradisi membaca yang baik. Kalau ada satu anak saja di tiap kelas yang sebelumnya ogah menyentuh buku, kemudian menjadi suka dan bisa membaca, program semacam ini sudah sangat berguna.


Tuesday, August 5, 2014

Disiplined Pursuit of Less (1)


Biasanya saya malas membaca buku psikologi populer atau self-help. Bukan karena buku-buku genre itu tidak berguna, atau sekedar pengalaman personal yang kemudian dianggap akan berlaku pada semua orang. Saya tahu ada buku-buku psikologi populer yang bagus, ditulis oleh orang yang ahli, dan tidak melulu berdasarkan pengalaman personal yang sempit. Mungkin keengganan saya membaca buku psikologi populer memang irasional. Entahlah, lain kali saya akan menulis tentang sentimen ini.

Tapi apapun alasannya, beberapa waktu yang lalu saya terpikat pada sebuah buku berjudul “Essentialism: The Disciplined Pursuit of Less”. Dan mungkin karena persekongkolan beberapa faktor – seperti terbatasnya kesempatan membuka laptop dan tidak ramahnya koneksi internet selama mudik lebaran – saya berhasil membaca buku tersebut dengan tuntas. Sesuatu yang semakin jarang bisa saya lakukan, gara-gara padatnya jadwal mengajar dan aktivitas kerja rutin lainnya. 

Monday, May 19, 2014

Otonomi Profesional Guru dan Kualitas Pendidikan

Oleh: Anindito Aditomo | Pertama terbit 19 Mei 2014 di MEDIA INDONESIA

PEKAN lalu seorang pelajar SMA dari Surabaya menulis sebuah surat terbuka untuk M Nuh, menteri pendidikan dan kebudayaan. Surat itu berisi kritik yang tajam, dengan logika yang baik, tetapi dalam bahasa yang santun. Substansi kritik surat tersebut sudah cukup banyak dibahas dan tidak akan saya ulang di sini. Yang saya soroti dalam tulisan ini ialah jawaban M Nuh ketika ditanya wartawan tentang surat tersebut. Alih-alih memberi apresiasi, ia justru tidak percaya bahwa seorang pelajar SMA bisa menulis surat seperti itu.

Respons M Nuh tentu mengecewakan, tetapi tidak mengejutkan. Ketidakpercayaan Pak Menteri sudah bisa diduga karena konsisten dengan arah kebijakan mendasar yang dipilih kementeriannya. Yang pertama ialah penguatan fungsi ujian nasional sebagai penentu kelulusan siswa SMP dan SMA. Yang kedua ialah penggantian kurikulum tingkat satuan pendidikan dengan kurikulum 2013. Kedua kebijakan itu pada dasarnya mencerminkan ketidakpercayaan akut terhadap kapasitas profesional guru sebagai ujung tombak pendidikan. Bila terhadap guru saja M Nuh sangsi, apalagi pada siswa-siswanya?

Profesionalitas tanpa otonomi

Secara resmi, pemerintah telah mengakui guru sebagai profesional. Hal itu berarti kerja guru diakui sebagai aktivitas yang padat pengetahuan (knowledge-intensive), yang memerlukan keahlian khusus yang diperoleh melalui rangkaian pengalaman belajar sistematis dan ekstensif. Salah satu implikasinya ialah bahwa guru, sebagaimana dokter dan akuntan, seyogianya dipercaya untuk bekerja secara otonom/ mandiri berdasarkan professional judgment mereka.
Kewenangan untuk bekerja secara otonom itu sesuai dengan kerangka kualifikasi nasional yang ditetapkan pemerintah (PP No 8 Tahun 2012). Dalam kerangka itu, kompetensi seorang profesional mencakup kemampuan merencanakan dan mengelola sumber daya dalam lingkup tanggung jawabnya, serta mengevaluasi secara komprehensif hasil kerjanya. Secara finansial, pengakuan profesionalitas guru juga tecermin pada pemberian tunjangan profesional bagi yang telah lulus sertifikasi.

Yang menjadi masalah ialah pengakuan formal dan penghargaan finansial tersebut tidak diikuti dengan pemberian kepercayaan (trust). Justru sebaliknya, pemerintah mengebiri kewenangan guru dalam melaksanakan aktivitas profesionalnya. Salah satu aspek kunci aktivitas mengajar ialah melakukan assessment hasil belajar siswa. Namun, melalui kebijakan ujian nasional pada SMP dan SMA (serta ujian daerah untuk tingkat SD), pemerintah pada dasarnya mengatakan guru tidak bisa dipercaya melakukan evaluasi hasil belajar siswanya sendiri.

Sebaliknya, evaluasi pembelajaran hanya bisa dilakukan tim pakar dari pusat, melalui ujian yang isinya dijadikan rahasia negara. Paket soal pun dibuat sampai 20 jenis, untuk memastikan siswa (dan para gurunya) tidak bisa saling menyontek. Bahkan ada daerah yang sampai menyadap telepon seluler para guru agar mereka tidak membocorkan soal ujian.

Pesan yang disampaikan implisit, tapi gamblang: pemerintah tidak percaya bahwa guru bisa mampu merancang soal ujian yang baik, atau dapat menilai muridnya sendiri dengan objektif. Ini ibarat pemerintah, melalui Departemen (Kementerian) Kesehatan, ngotot menguji hasil diagnosis dan pengobatan setiap orang yang mendapat pelayanan dari dokter di Indonesia. Tentu itu pemikiran yang absurd. Namun, itulah yang terjadi pada di dunia pendidikan.

Namun, bukan hanya itu. Pemerintah juga mencabut kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang belum genap 10 tahun diterapkan. Salah satu landasan filosofis KTSP ialah yang mengetahui konteks dan kebutuhan bela jar siswa ialah guru dan sekolah. Dengan demikian, sekolah diberi kewe nangan untuk menyusun kuri kulumnya sendiri, dengan mengacu ke beberapa capaian belajar nasional. Guru juga harus membuat rencana ajar (lesson plan) mereka sendiri. Tentu itu menuntut keahlian profesional tersendiri.

Otonomi itu dicabut dengan berlakunya kurikulum 2013. Sekolah tidak lagi boleh menyusun kurikulumnya sendiri. Guru pun diminta untuk sekadar melaksanakan lesson plan yang telah disiapkan tim dari pusat. Bahkan buku ajar dan materi lain juga dipasok. Materi dan proses pengajaran dari Aceh sampai Papua, untuk kota megapolitan Jakarta sampai desa pelosok terpencil, diharapkan sama. Guru pun berhenti menjadi profesional dan beralih menjadi tukang penyampai informasi.

Mencari presiden yang pro-guru

Apakah keadaan ini menunjang proses pembelajaran? Apakah dalam keadaan seperti ini, guru dapat mengajar dengan inovatif? Apakah siswa menjadi bersemangat untuk belajar dan haus pengetahuan? Tak dimungkiri, ada sebagian guru yang lebih senang dengan pengebirian otonomi profesionalnya. Apalagi disertai dengan reward finansial berupa tunjangan profesi yang relatif besar bagi mereka.

Namun, untuk sebagian besar yang lain, uang saja tidak akan menumbuhkan keinginan intrinsik untuk menjadi kreatif dan inovatif. Sebuah teori psikologi klasik mengatakan uang hanyalah faktor yang mencegah seseorang untuk berhenti kerja. Uang tidak dapat membuat seseorang menyenangi dan mau mencurahkan segenap jiwa untuk pekerjaannya. Untuk itu, ada kebutuhan-kebutuhan psikologis yang mesti dipenuhi, seperti otonomi dan kompetensi. Kebutuhan akan otonomi terpenuhi ketika seseorang diberi kepercayaan dan kesempatan untuk berpikir dan kemudian bertindak mandiri. Kebutuhan kompetensi terpenuhi ketika pekerjaan seseorang memungkinkannya untuk terus tumbuh, menguasai pengetahuan dan keterampilan baru.

Momentum pemilu tahun ini membuka harapan bahwa presiden baru akan terbuka untuk melakukan reformasi mendasar di bidang pendidikan. Apa yang harus dilakukan? Solusi jangka pendeknya sebenarnya amat jelas. Pertama, hentikan penggunaan ujian nasional sebagai komponen penentu kelulusan siswa dan kembalikan wewenang evaluasi kepada guru dan sekolah. Itu sejalan dengan Pasal 58 UU No 20/2003 yang menyatakan evaluasi hasil belajar siswa dilakukan pendidik, serta Pasal 61 yang menegaskan ujian diselenggarakan satuan pendidikan.

Kedua, cabut kurikulum 2013, dan kembali berlakukan KTSP. Ini juga sejalan dengan UU No 20/2003 Pasal 36 sampai 38, yang menjelaskan bahwa pengembangan kurikulum dilakukan satuan pendidikan berdasarkan prinsip `diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik’. Kurikulum yang seluruh perangkat pendukungnya dibuat secara terpusat jelas melanggar prinsip itu. Kedua kebijakan korektif itu ialah langkah awal yang memungkinkan guru untuk mengajar secara lebih bermakna, bukan sekadar untuk menuntaskan materi dan mengejar nilai ujian.

Untuk jangka menengah dan panjang, pemerintah harus serius meningkatkan kualitas guru serta menutup kesenjangan antardaerah. Hal itu dimulai dengan reformasi lembaga pendidikan guru dan sistem pengembangan kompetensi berkelanjutan untuk guru yang sudah mengajar. Sediakan bank soal untuk topik-topik penting, latih para guru untuk merakit tes yang diperlukan, kemudian percayakan pada mereka untuk mengevaluasi muridnya. Tanpa kepercayaan kepada guru, sampai kapan pun pendidikan kita akan jalan di tempat, atau bahkan mundur teratur.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...