Saturday, August 29, 2020

MEMBEDAH KURIKULUM 2013 (2)

Oleh: Anindito Aditomo


Melanjutkan tulisan sebelumnya, saya akan membahas bagaimana Kurikulum 2013 memaknai kompetensi. Tulisan tersebut saya akhiri dengan pertanyaan berikut. Adakah yang bermasalah dengan cara Kurikulum 2013 mendeskripsikan kompetensi murid?
 
Jawaban singkatnya: yang problematis adalah pemisahan antara pengetahuan dan keterampilan sebagai kategori kompetensi yang berbeda. Ini bermasalah karena kompetensi sesungguhnya merupakan kesatuan antara keterampilan, pengetahuan, dan juga sikap/keyakinan/disposisi (seperti dalam ilustrasi OECD di bawah).
 
Murid yang kompeten atau cakap memecahkan problem matematika pasti punya pengetahuan tentang konsep dan prinsip-prinsip matematika. Ia juga tentu terampil mengabstraksikan situasi nyata menjadi problem matematika, kemudian memanipulasi problem tersebut, sebelum menerjemahkan hasilnya kembali dalam situasi awal. Murid seperti ini juga biasanya senang atau menikmati menyelesaikan problem matematika.
 
Dengan kata lain, kompetensi bermatematika merupakan perpaduan antara pengetahuan, keterampilan, dan juga disposisi afektif. Ini berlaku untuk semua mata pelajaran, termasuk yang bersifat lebih praktis seperti olahraga dan seni. Semua kompetensi sejatinya memiliki unsur pengetahuan, keterampilan, dan disposisi afektif - meski komposisi dan kadarnya bisa berbeda-beda.
 
Karena itu kurikulum seharusnya menampilkan pengetahuan dan keterampilan sebagai bagian dari kesatuan kompetensi. Bukan memisahkannya menjadi dua jenis kompetensi seperti yang dilakukan pada Kurikulum 2013. Ini keputusan yang bukan hanya keliru secara epistemologis, tetapi juga berpotensi menimbulkan masalah implementasi.
 
Dengan memisahkan pengetahuan dari keterampilan, Kurikulum 2013 seolah-olah mengatakan bahwa guru diminta mengajarkan dan mengukur pengetahuan abstrak. Pengetahuan yang terpisah dari laku dan konteks tertentu. Bahasa awamnya, sekadar hafalan yang mudah menguap, tidak bisa diterapkan, dan karena itu tidak bermakna.
 
Di sisi lain, guru juga seolah diminta mengajarkan keterampilan yang tidak melibatkan pengetahuan. Dalam banyak pelajaran, hal ini sulit diterapkan karena keterampilan yang diajarkan bersifat kognitif (dan karena itu tidak akan lepas dari pengetahuan).
 
Pada pelajaran tertentu, guru mungkin bisa membayangkan keterampilan konkret yang seolah bisa dipisahkan dari pengetahuan. Keterampilan melakukan percobaan yang mengilustrasikan proses kimiawi tertentu, misalnya. Atau keterampilan membacakan puisi di depan kelas. Atau keterampilan menggiring bola dalam pertandingan sepakbola.
 
Tapi melihat keterampilan sebagai terpisah dari pengetahuan justru membuatnya menjadi tak bermakna. Murid hanya akan menghafal prosedur. Mereka mungkin akan bisa menjalankan prosedur tersebut, tapi secara mekanis saja. Tanpa pengetahuan tentang makna dan fungsi dari prosedur yang dijalankan, murid akan kesulitan menerapkannya di situasi yang berbeda.
 
Dengan kata lain, pemisahan antara pengetahuan dan keterampilan dalam Kurikulum 2013 justru berpotensi memicu praktik buruk di lapangan. Di satu sisi, pengetahuan diajarkan secara kering - lepas dari konteks penerapan yang bermakna. Di sisi lain, keterampilan juga diajarkan secara mekanis - tanpa pemahaman tentang tujuan dan fungsinya.
 
Dari perspektif guru, pemisahan pengetahuan dari keterampilan ini paling merepotkan ketika harus melaporkan nilai di rapor! Sungguh merepotkan ketika sebenarnya hanya ada satu nilai yang mencerminkan sebuah kompetensi, namun aplikasi rapor memaksa guru mengarang dua nilai yang terpisah. Tentu para guru sudah punya solusi kreatif untuk menghadapi masalah ini 😃
 
Balik ke topik yang saya angkat di tulisan pertama: masalah pengajaran bukan melulu soal mutu guru atau kompetensi dalam menerapkan kurikulum. Sebagian akar masalahnya ada pada desain kurikulumnya itu sendiri. Dalam kasus Kurikulum 2013, asumsi paling dasar tentang kompetensi pun sudah bermasalah. Dan sayangnya ini bukan satu-satunya problem konseptual dari kurikulum yang digadang-gadang bervisi jauh ke depan ini.

Friday, August 28, 2020

MEMBEDAH KURIKULUM 2013 (1)

Oleh: Anindito Aditomo


Sudah beberapa waktu yang lalu Presiden Jokowi memerintahkan perubahan kurikulum. Kalau tidak salah, perubahan kurikulum ini adalah salah satu instruksi pertama presiden pada Mendikbud Nadiem. Sila cek berita-berita sekitar bulan Desember 2019. (Ya, belum setahun yang lalu, meski terasa seperti era yang berbeda!)
 
Perubahan kurikulum tentu dimaksudkan untuk mengubah yang saat ini berlaku (Kurikulum 2013) menjadi lebih baik. Ini mensyaratkan evaluasi yang cermat terhadap kebijakan Kurikulum 2013.
Sayangnya, evaluasi kebijakan kurikulum tampaknya belum menjadi tradisi para sarjana maupun pengambil kebijakan pendidikan kita.
 
Evaluasi kurikulum cenderung terfokus pada masalah implementasi. Kalau kurang yakin, cobalah cari di Google Scholar dengan kata kunci evaluasi Kurikulum 2013. Beberapa halaman pertama akan didominasi oleh studi-studi implementasi kurikulum. Masalah implementasi pun kerap disempitkan pada satu faktor, yaitu kemampuan guru dalam menerjemahkan kurikulum.
 
Jadi kalau target belajar yang tertera di kurikulum jarang tercapai, yang paling sering disalahkan adalah guru. Kalau materi kurikulum bahasa Indonesia diajarkan dengan buruk, perhatian segera tertuju pada kompetensi guru. Demikian juga ketika penilaian dipraktikkan sebagai pengukuran hafalan. Gurulah yang salah atau dianggap kurang kompeten.
 
Demikianlah yang saya amati dalam beberapa perbincangan tentang Kurikulum 2013. Pemerintah dan banyak pengamat mengatakan bahwa Kurikulum 2013 sebenarnya bagus. Kurikulum tersebut disebut-sebut sebagai kurikulum yang bervisi jauh ke depan. Kurikulum itu berorientasi pada 21st Century Learning sekaligus menegaskan pentingnya pendidikan karakter yang utuh. Dst dst. Dan karena bervisi jauh ke depan itulah kebanyakan guru dan sekolah tidak mampu menerapkannya dengan baik.
 
Ohya, sedikit latar belakang untuk anda yang bukan orang pendidikan: yang disebut sebagai Kurikulum 2013 sebenarnya bukanlah kurikulum yang siap dipakai oleh guru untuk mengajar. Kurikulum 2013 adalah kerangka yang berlaku secara nasional. Secara legal, Kurikulum 2013 berwujud peraturan tentang serangkaian standar pendidikan, mulai dari kompetensi lulusan, isi atau konten kurikulum, proses belajar-mengajar, sampai penilaian hasil belajar.
 
Kembali ke topik awal. Secara implisit, kualitas belajar-mengajar di sekolah-sekolah kita seolah hanya masalah kompetensi guru. 
 
Tentu ini ada benarnya. Kompetensi guru memang bagian dari persoalan yang perlu ditangani oleh pemerintah. Tapi ingat bahwa perilaku selalu merupakan hasil interaksi antara individu dan lingkungan. Kinerja selalu merupakan fungsi dari kompetensi dan konteks. Perilaku dan kinerja mengajar bukan pengecualian. Buruknya kualitas pendidikan kita bukan sekadar persoalan kompetensi guru.
 
Dalam konteks evaluasi kurikulum, berfokus pada persoalan implementasi adalah sebuah kesalahan. Apalagi kalau secara sempit menganggap masalahnya hanya pada kompetensi guru. Evaluasi kurikulum juga harus mencermati kebijakannya itu sendiri.
 
Apanya dari kebijakan tersebut yang perlu diperbaiki? Apakah ada fitur-fitur Kurikulum 2013 yang - secara tak sengaja - mendorong praktik pengajaran yang kurang baik? Mengapa demikian? Fitur seperti apa yang seharusnya lebih mendorong praktik belajar-mengajar yang lebih baik?
 
Pertanyaan-pertanyaan semacam ini tidak bisa dijawab kalau pengambil kebijakan hanya menyalahkan guru dan sekolah sebagai pelaksana. Pertanyaan-pertanyaan tersebut harus dijawab melalui telaah kritis terhadap kebijakannya itu sendiri. Tentu telaah yang disertai pemahaman tentang praktik implementasi di lapangan. Tapi objek utama evaluasi kurikulum seharusnya tentu kebijakan kurikulum itu sendiri.
 
Untuk kasus Kurikulum 2013, evaluasi ini musti dimulai dari telaah atas asumsi-asumsi epistemologisnya. Atau dalam bahasa yang lebih sederhana, telaah terhadap bagaimana Kurikulum 2013 merumuskan apa itu pengetahuan. 
 
Dengan mengenakan kacamata epistemologis, terlihat bahwa salah satu problem mendasar Kurikulum 2013 adalah permisahan antara "kompetensi pengetahuan" dan "kompetensi keterampilan". Mengapa pemisahan ini bermasalah? Coba amati contoh dalam gambar ini, yang merupakan cuplikan tujuan belajar mata pelajaran Bahasa Indonesia kelas 2 SD dalam Kurikulum 2013. Dapatkah anda menerka mengapa pemisahan ini problematik?
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...