Sunday, December 1, 2019

Antara Moral dan Nalar

Oleh: Anindito Aditomo

Dalam sebuah forum, Menteri Nadiem ditanya tentang pendidikan karakter. Jawabannya ringkas dan bagus. Intinya, pendidikan karakter dan pengembangan nalar itu sebenarnya bisa menjadi satu paket.
 
Jawaban tersebut mengingatkan saya pada komentar pendek yang pernah saya tulis saat Jokowi pertama mencetuskan revolusi mental-nya. Saya elaborasi sedikit di sini karena masih sangat relevan. Apalagi presidennya masih sama dan masih ingin mengembangkan pendidikan karakter 😛
 
Bagi banyak orang, pendidikan karakter adalah hal terpisah dari pendidikan akademik. Lebih dari itu, sekolah juga sering dituduh terlalu mengembangkan sisi kognitif siswa. Karena itu sekolah seharusnya mengurangi fokus pada kognisi, dan lebih banyak mengembangkan karakter siswa.
 
Pandangan semacam ini dilandasi salah kaprah tentang karakter dan moralitas. Juga salah kaprah tentang pendidikan akademik. Seolah-olah karakter dan kognisi itu bisa dipisahkan. Seolah-olah pelajaran akademik itu tidak bermoral, atau setidaknya devoid of moral values. Keliru! Moral vs nalar adalah dikotomi palsu.
 
Di satu sisi, pelajaran akademik mustinya tidak semata-mata mengembangkan pengetahuan, tapi juga tata nilai, sikap, dan keyakinan yang relevan dengan disiplin ilmunya. Ambil contoh sains. Ya, belajar sains adalah belajar memahami alam melalui konsep-konsep kimia, fisika, dan biologi. Tapi belajar sains seharusnya juga mengembangkan karakter ilmiah: nilai, sikap, kebiasaan, dan keyakinan yang menjadi ciri ilmuwan yang baik.
 
Misalnya, di antara watak ilmuwan adalah kerendahan hati intelektual. Ilmuwan yang baik akan mau - bahkan secara otomatis - menguji keyakinannya secara empiris. Ia juga akan mau merevisi keyakinan tersebut bila memang tidak terbukti. Asyik sekali kan kalau lebih banyak siswa, dan orang dewasa, yang punya kerendahan hati intelektual? Dunia medsos akan jauh lebih damai 😃
 
Di sisi lain, pelajaran moral seharusnya tidak sekadar menanamkan nilai, sikap, keyakinan, dan kebiasaan. Pelajaran moral mustinya juga mengembangkan daya nalar siswa tentang isu-isu moral. Siswa yang memahami dampak plastik pada lingkungan akan punya alasan untuk memilah sampah dan mungkin mengubah gaya hidupnya. Siswa yang mengerti kaitan antara perilaku korup, sekecil apa pun, dengan tatanan masyarakat akan lebih mungkin berpikir sekian kali sebelum ikut-ikutan mentoleransi korupsi.
 
Dalam pelajaran agama pun demikian. Siswa yang memahami apa itu riba dalam konteks sosial masyarakat Arab zaman Nabi akan lebih bijak dalam menyikapi sistem perbankan modern. Siswi muslim yang memahami keragaman pendapat ulama tentang batas aurat perempuan, serta fungsi jilbab dalam konteks sosial yang berbeda-beda, akan lebih mantap dengan pilihan personalnya dalam berbusana - apa pun pilihan tersebut dan di mana pun ia hidup.
 
Bukankah asyik jika lebih banyak siswa dan orang dewasa yang bisa bernalar tentang agama? Orang akan lebih mudah mengenali penipuan berkedok agama seperti paket umrah murah, investasi kebun kurma, sampai iming-iming utopia negara Islam di Irak-Suriah. [Maaf hanya mengambil contoh dari agama Islam, sekadar karena ini yang saya tahu. Saya yakin di agama lain pun ada isu-isu serupa.]
 
Kembali pada jawaban mas Menteri Nadiem. Menurutnya, pendidikan karakter adalah soal prinsip-prinsip dasar kehidupan. Semacam golden rules tentang bagaimana menjalani hidup. Dalam konteks Indonesia, Pancasila merupakan prinsip-prinsip dasar untuk bisa hidup bersama sebagai bangsa. Pancasila seharusnya tidak diajarkan sebagai doktrin semata. Siswa seharusnya diberi contoh dan pengalaman menghidupkan Pancasila di ruang-ruang kelas.
 
Mas menteri memberi contoh sederhana: rancang aktivitas belajar yang membuat siswa berkolaborasi dengan rekannya yang berbeda pendapat. Atau yang berbeda semangat dan gaya kerja. Aktivitas tersebut bisa menjadi kesempatan untuk belajar tentang cara menyikapi perbedaan pendapat dan mengelola konflik.
 
Semoga ini sudah cukup meyakinkan anda bahwa moral vs. nalar, atau karakter vs. kognisi, adalah dikotomi palsu. Saya tutup dengan pengingat tentang konsekuensi pemisahan antara pendidikan akademik dan pendidikan karakter. 
 
Inilah yang kita praktikkan selama ini: pendidikan akademik yang mengabaikan karakter intelektual, dan pendidikan moral yang mengabaikan daya nalar. Apa hasilnya? Kognisi jeblok, moralitas ambyar🤦‍♂️
 
Sudah saatnya guru-guru sains, matematika, bahasa, sejarah dll. belajar tentang karakter ilmiah yang menjadi ciri disiplin ilmunya. Sudah saatnya guru-guru pelajaran moral belajar mengajarkan nilai dan keyakinan dengan cara yang bernalar.
 
Keterangan gambar: soal karakter intelektual saya merujuk pada gagasan-gagasan Ron Ricthhart .

Monday, July 29, 2019

IMPOR REKTOR, JALAN PINTAS YANG SALAH ARAH

Oleh: Anindito Aditomo
 
Setelah wacana impor dosen, Menristekdikti juga berencana mengimpor rektor. Tampaknya strategi impor-imporan ini memang menjadi resep utama Kementerian untuk menempatkan universitas kita dalam papan atas ranking dunia. 
 
Seberapa efektifkah kira-kira strategi ini? Pak menteri menyebutkan kasus universitas-universitas di Singapura yang menerapkan strategi serupa sehingga berhasil menjadi yang terbaik di dunia. Dan betul, impor rektor dan dosen adalah bagian penting dari strategi Singapura dalam mereformasi universitasnya. 
 
Dalam beberapa tahun saja, NTU dan NUS sudah diperhitungkan sebagai universitas kelas dunia. Belakangan, Cina (dan mungkin Malaysia?) juga menerapkan hal serupa dan berhasil melejitkan beberapa universitasnya. Jadi, memang ada preseden bagi keberhasilan strategi dosen dan rektor ini. 
 
Pertanyaannya tentu adalah apakah strategi tersebut akan berhasil di Indonesia? Saya skeptis. Jika tidak menjadi bagian dari perombakan ekologi pendidikan tinggi secara mendasar, impor dosen dan rektor takkan banyak berdampak positif. 
 
Mari pelajari kasus Singapura secara sedikit lebih teliti. Pada 2006, Singapura merekrut Bertil Andersen sebagai penasehat pemerintah di bidang riset. Setahun kemudian, ia diminta memimpin transformasi NTU. Andersen adalah peneliti kawakan asal Swedia yang sebelumnya menjabat sebagai presiden European Science Foundation. 
 
Salah satu hal pertama yang dilakukan Andersen adalah mendatangkan profesor dan peneliti-peneliti muda berbakat dari berbagai universitas top dunia. Sepintas, yang dilakukan Andersen mirip dengan strategi yang hendak diterapkan Kemenristekdikti. Tapi simpulan ini terlalu simplistis. 
 
Pertama, untuk memberi tempat bagi para profesor dan peneliti asing itu, Andersen memecat banyak dosen lama. Ia tak mau repot berusaha mengubah orang-orang lama tersebut menjadi peneliti kelas dunia. Orang-orang dengan mindset lama adalah hambatan dalam proses menciptakan kultur riset dan sistem yang baru. Apakah rektor asing yang akan didapuk memimpin UI, UGM, atau ITB, misalnya saja, akan leluasa memecat para profesor dan dosen-dosen lama di sana? Coba saja kalau berani, dan lihat seberapa lama ia bisa bertahan 😁

Kedua, dan ini yang lebih penting, coba pikirkan mengapa para profesor dan peneliti dari institusi seperti MIT, Caltech, dan Imperial College mau pindah ke Singapura? Yang jelas, bukan karena mereka menikmati suhu dan kelembaban udara negeri tropis. Kebanyakan talenta akademik adalah orang-orang yang punya renjana kuat akan pengetahuan. Mereka ingin bisa meneliti, dan meneliti dengan sebaik-baiknya. 

Apakah orang-orang seperti itu akan mau datang ke Indonesia dan berjibaku dengan mekanisme pendanaan riset yang ajaib? Dengan kewajiban membuat laporan pertanggungjawaban yang lebih mementingkan kelengkapan bon dan meterei daripada substansi ilmiah? Dengan minim dan sulitnya mengimpor alat dan material eksperimen? Dengan tuntutan patuh pada aturan seperti cap jempol sehari dua kali?

Jawabannya adalah, tentu tidak. Mana ada peneliti kelas dunia yang ingin bekerja di lingkungan yang mematikan kreativitas dan daya pikir? Pendek kata, ekosistem akademik pendidikan tinggi kita tidak ramah pada penelitian dan pengembangan ilmu. Jika dipaksakan, strategi impor-imporan dosen/rektor paling banter hanya akan membuahkan hasil seperti liga sepakbola kita.

Yang akan datang hanyalah para pemain dan manajer medioker yang karirnya sudah mentok di tempat asalnya. Jangan mimpi bahwa orang-orang seperti itu bakal membawa klub bola kita ke liga internasional.

Tambahan: Saya diingatkan oleh
Ade soal penyetaraan ijazah. Di satu sisi, dosen-dosen Indonesia lulusan luar negeri diwajibkan untuk datang ke Jakarta untuk "menyetarakan" ijazahnya. Di sisi lain, orang-orang asing kini diundang sebagai penyelamat pendidikan tinggi kita. Sulit untuk tidak merasakan bau inferioritas inlander dalam strategi impor-imporan ini :(  
 
Sumber gambar: https://m.bisnis.com/amp/read/20190728/79/1129550/pemerintah-targetkan-perguruan-tinggi-yang-dipimpin-rektor-asing-capai-ranking-100-besar-dunia 
 
Soal Bertil Andersen, sila baca di sini: https://www.universityworldnews.com/post.php?story=20171215122350628

Tuesday, April 16, 2019

BELAJAR MEMILIH

Oleh: Anindito Aditomo

Anak saya sebenarnya ogah-ogahan diajak ke TPS hari Sabtu kemarin. Supaya dia lebih bersemangat, dalam perjalanan saya mengajaknya ngobrol tentang pemilu. 

"Kalau kamu sudah boleh memilih presiden, mau pilih pak Jokowi atau pak Prabowo?" saya membuka obrolan.
 
"Siapa yang lebih bagus?" dia bertanya balik. Saya memang sudah punya pilihan. Tapi kalau pertanyaan ini saya jawab dengan alasan-alasan pilihan saya, obrolan akan segera berhenti. Saya akan kehilangan kesempatan untuk mengetahui caranya berpikir, dan dia akan kehilangan kesempatan untuk berusaha merumuskan pendapatnya sendiri. 
 
"Nah, menurutmu apa yang ingin kamu tahu tentang keduanya? Orang seperti apa yang cocok menjadi presiden?" Saya berusaha mengarahkan obrolan pada topik kriteria seorang pemimpin. 
 
"Hmm ... let me think," katanya. Ini memang bukan pertanyaan yang mudah dijawab, dan karena itu saya memberinya waktu untuk berpikir.
 
"Orangnya seperti apa? Dan apa yang akan mereka lakukan kalau sudah jadi presiden?" dia balik bertanya lagi. 
 
"Pertanyaan yang bagus itu. Yang kamu tanyakan pertama itu soal kepribadian, dan memang itu relevan untuk memilih pemimpin. Yang kedua itu soal program. Itu lebih penting lagi."
 
Sekarang giliran saya yang harus berpikir. Bagi saya, tantangannya dua: bagaimana memberi jawaban yang mudah dipahami anak-anak, dan jawaban yang netral agar ia tetap perlu membentuk opininya sendiri. Soal netralitas ini yang sulit, hehehe. 
 
"Pak Prabowo itu tegas, keras. Boleh dibilang galak. Kalau pak Jokowi orangnya kalem, sabar. Kurang pinter pidato, tapi lebih disukai anak-anak," jawab saya. Tuh kan, sudah mulai nggak netral, hahaha. Tapi ternyata menurut anak saya, sifat-sifat itu bisa sama baiknya untuk seorang presiden. Ya sudah, lanjut ke soal program.
 
"Soal program, pak Jokowi nggak mau memberi subsidi untuk bensin. Dulu harga bensin murah karena pemerintah membelikan dulu, kemudian dijual ke masyarakat dengan harga lebih murah. Jadi pemerintah rugi. Harus keluar banyak uang. Pak Jokowi nggak mau lagi memberi subsidi. Dia lebih banyak membangun infrastruktur seperti jalan, rel kereta, bandara, pelabuhan, dan bendungan."
 
"Kalau pak Prabowo ingin memberi subsidi lagi, supaya semua orang bisa beli bensin lebih murah. Juga untuk listrik. Pembangunan jalan dll mungkin akan dikurangi. Mau dipilih mana saja proyek yang penting." 
 
"Gimana, menurutmu lebih bagus programnya siapa?"
 
"Aku nggak tahu. Dua-duanya kok sepertinya penting. Tapi aku lebih suka yang membangun kereta dan public transport sih. Nggak papa bensin mahal kalau ke mana-mana kita bisa naik kereta," jawabnya.
"Terus, pengalaman pak Jokowi dan pak Prabowo gimana? Maksudku sebagai kayak pemimpin gitu?" tanyanya lagi. 
 
"Oh, kalau itu gampang. Pak Jokowi pernah memimpin kota Solo dan provinsi Jakarta. Pak Prabowo belum pernah memimpin pemerintahan, tapi punya pengalaman memimpin pasukan perang," jawab saya. "Perang? Wah aku nggak suka perang," sahutnya. 
 
Ya sudah nduk, sepertinya pilihanmu akan sama dengan bapak, hahaha. Yang lebih penting lagi, kamu mau dan bisa berpikir sebelum membuat keputusan 😉

Monday, March 18, 2019

Menghapus Ujian Nasional


Oleh: Anindito Aditomo

Mumpung isunya sedang hangat, saya ingin membahas Ujian Nasional (UN) dan evaluasi pendidikan secara lebih umum. Banyak pemerhati pendidikan yang sudah sejak lama mengkritik UN, termasuk saya sendiri. Lantas apakah UN sebaiknya dihapus? Jawabannya bukan ya atau tidak, tapi tergantung. Tergantung pada apa? Saya coba uraikan secara singkat.

Yang pertama perlu diingat adalah mengapa UN banyak dikritik. Pada dasarnya, UN dikritik karena berdampak buruk pada proses belajar-mengajar. UN menyempitkan perhatian sekolah pada pelajaran-pelajaran tertentu. Pelajaran lain seperti seni dan olahraga sering menjadi anak tiri. UN juga cenderung mendorong penggunaan metode pengajaran yang dangkal dan berorientasi hafalan. Ini sebenarnya bukan hanya persoalan UN saja, tetapi soal terlalu luasnya materi kurikulum yang harus tercakup dalam UN. Karena cakupan materi yang sangat luas, UN mendorong guru untuk kebut-kebutan „menuntaskan materi“. Selain itu, sifat UN yang “high stakes” mendorong sebagian siswa, orangtua, guru, dan sekolah untuk melakukan kecurangan.

Dengan memahami alasan kritik terhadap UN ini, kita bisa mengajukan pertanyaan yang sedikit berbeda. Yang perlu dipikirkan bukan apakah UN harus dihapus atau tidak, melainkan apakah penghapusan UN akan membantu menghilangkan dampak-dampak buruk tersebut? Mari berkaca pada pengalaman. 

Pemerintah sebenarnya sudah pernah menghapus UN. Ya, UN pada level Sekolah Dasar baru beberapa tahun yang lalu dihapus. Apa yang terjadi? UN sekedar diganti dengan Ujian Daerah. Siswa dan guru SD tetap menghadapi ujian terstandar yang dibuat oleh pihak eksternal. Mutu ujiannya pun belum tentu lebih baik. Dugaan saya, justru menjadi lebih buruk karena kompetensi pembuat Ujian Daerah yang rata-rata di bawah kompetensi tim pembuat UN. Hasilnya, mutu belajar-mengajar SD tidak menjadi lebih baik.

Sunday, January 6, 2019

Bagaimana Seharusnya Sejarah Diajarkan?

Oleh: Anindito Aditomo 



Jerome Bruner, psikolog-pendidik-pemikir legendaris Amerika, pernah mendapat tamu dua orang petinggi departemen pendidikan Rusia. Bruner mengira para pejabat tersebut meminta bantuan untuk membuat materi pelajaran sains atau matematika - permintaan yang sering ia dapatkan. Ternyata bukan. Mereka datang untuk berdiskusi tentang beberapa pertanyaan mendasar tentang sejarah. Atau lebih tepatnya, tentang bagaimana seharusnya sejarah diajarkan.
 
Ketika itu tembok Berlin baru saja runtuh. Uni Soviet baru terpecah kembali menjadi negara-negara terpisah. Kedua tamu Bruner bertanya: "Bagaimanakah episode sejarah yang baru berakhir ini harus diajarkan pada siswa? Apakah cukup kita katakan bahwa Uni Soviet adalah sebuah percobaan yang gagal, sebuah kesalahan sejarah yang kini sudah kita lewatkan? Jika tidak, bagaimana kita bisa menjelaskan apa yang terjadi selama sekian puluh tahun ini?" Pertanyaan-pertanyaan yang sulit dan takkan bisa dijawab secara hitam-putih. Apapun jawabannya sangat mungkin bagian penting dari fondasi kurikulum dan pengajaran sejarah Rusia.
 
Cerita ini membuat saya bertanya-tanya, apakah para pengambil kebijakan pendidikan di Indonesia pernah memikirkan hal serupa? Kita sebagai bangsa telah beberapa kali mengalami perubahan mendasar. Yang terakhir adalah perubahan dari Orde Baru ke era reformasi. Bagaimanakah seharusnya perubahan tersebut dijelaskan di buku-buku sejarah yang dibaca anak-anak kita di sekolah? Bagaimana masa Orde Baru sebaiknya ditampilkan? Sisi gelap terang rezim Soeharto mana saja yang penting dibahas?
 
Pertanyaan-pertanyaan serupa bisa diajukan untuk periode-periode lain dalam sejarah bangsa kita. Yang ingin saya tahu, sekali lagi, adalah apakah pertanyaan-pertanyaan seperti ini pernah direfleksikan oleh para pengambil kebijakan pendidikan di Indonesia? Atau, kalau bukan para pengambil kebijakan, oleh para sarjana sejarah dan pendidikan sejarah?
 
Saya khawatir jawabannya adalah tidak. Jika memang benar demikian, saya kira perlu ada yang menggagas proses refleksi mendasar tentang pengajaran sejarah. Pelajaran sejarah tak kalah penting dari matematika dan sains. Pelajaran sejarah punya peran strategis dalam membangun nalar kritis sekaligus identitas kolektif. Syaratnya itu tadi, harus ada refleksi tentang pertanyaan-pertanyaan sulit mengenai bagaimana sejarah ditampilkan. Refleksi yang niscaya melibatkan perdebatan dan pertarungan beragam perspektif.
 
Tanpa proses ini, pelajaran sejarah akan tetap menjadi pemaparan fakta-fakta yang membosankan dan segera dilupakan setelah ujian. Tapi semoga saya salah.
 
Foto: AFP/malaymail.com

Saturday, January 5, 2019

Kurikulum Bencana, Bencana Kurikulum

Oleh: Anindito Aditomo

Materi seputar bencana diusulkan masuk kurikulum. Sepintas, usul semacam ini menunjukkan penghargaan dan harapan yang tinggi terhadap pendidikan. Lebih khususnya, pendidikan formal alias sekolah. Pendidikan dianggap obat mujarab untuk berbagai penyakit sosial. Radikalisme meluas? Perbaiki kurikulum agama. Hoaks merajalela? Masukkan critical thinking ke kurikulum. Korupsi masih gila-gilaan? Pengguna jalan raya tidak disiplin? Banyak orang yang nyampah sembarangan? Ancaman narkoba di sekolah? Buat kurikulum baru untuk menguatkan karakter siswa.

Membuat siswa lebih sadar tentang bencana memang perlu. Yang saya khawatirkan, usulan semacam ini seringkali dilandasi miskonsepsi tentang pendidikan. Pertama, kurikulum sering dianggap teacher proof alias tidak tergantung pada guru. Siapapun gurunya, mengajar di sekolah manapun, akan bisa menerjemahkan kurikulum sesuai maksud perancang kurikulum. Karena asumsi yang keliru ini, kebijakan sering berhenti pada utak-atik kurikulum tanpa upaya serius untuk meningkatkan kapasitas guru.
 
Kedua dan yang lebih mendasar, desain dan implementasi kurikulum seringkali memperlakukan pengetahuan sebagai barang abstrak. Kalaupun guru-guru sudah mampu mengajarkan materi kebencanaan, hasilnya nanti adalah siswa yang tahu tentang berbagai penyebab tsunami, tahu bahwa skala Richter adalah skala logaritmik, tahu bahwa respon yang tepat menghadapi gempa adalah bersembunyi di bawah meja yang kuat, dst. Sebagian mungkin akan bisa menjawab soal-soal ujian tentang kebencanaan. Tapi apakah pengetahuan itu berguna secara nyata? Tidak, jika pengetahuan itu diajarkan sekedar sebagai potongan-potongan informasi tanpa konteks. 
 
Yang diperlukan adalah kesadaran tentang perlunya pemikiran cermat dan landasan kuat untuk merancang kebijakan pendidikan. Termasuk perubahan kurikulum. Mengubah kurikulum sama sekali bukan perkara sederhana. Tidak bisa sekedar menambahkan konten dan membuat modul pelatihan. Kalau mau serius, tidak akan bisa dibuat dalam hitungan bulan, apalagi minggu. 
 
Tentang isu kebencanaan, misalnya, perubahan kurikulum perlu dimulai dari memikirkan makna bencana dan apa yang diperlukan agar masyarakat siap menghadapinya. Saya bukan ahli bencana, namun jelas bahwa ini adalah isu multidimensi. Ada dimensi yang gamblang terlihat, misalnya yang terkait substansi ilmiah seperti mekanisme terjadinya bencana atau prosedur penyelamatan diri yang paling efektif. Tapi ada juga yang lebih implisit namun tak kalah penting. Misalnya, sikap dan keyakinan mengenai sains vs. mitos. Masyarakat yang percaya bahwa tsunami terjadi karena upacara adat akan enggan mendukung alokasi biaya yang besar untuk mitigasi bencana yang berlandaskan sains. Ada juga dimensi teologis. Teologi yang menekankan kepasrahan mungkin berguna bagi penyintas bencana, tapi tidak akan mendukung upaya persiapan menghadapinya. 
 
Saya yakin ada banyak dimensi lain yang perlu dipikirkan untuk merancang kurikulum kebencanaan. Poinnya adalah kebijakan pendidikan tidak boleh dirancang dengan grusa grusu. Tanpa kesadaran ini, saya yakin usulan yang dilandasi niat baik ini hanya akan menghasilkan kurikulum yang semakin padat, tanpa hasil yang diharapkan. Hasilnya bukan kurikulum kebencanaan, tapi bencana kurikulum.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...