Thursday, June 28, 2018

Agar Riset Pendidikan lebih Berdampak

Oleh: Anindito Aditomo
 
 

Kemarin beruntung bisa mendengarkan presentasi menarik Profesor Catherine Snow dari Harvard Graduate School of Education yang sedang menjadi peneliti tamu di Goethe-Universität. Prof. Snow seorang pakar multi (atau lintas?) disiplin. Ia belajar psikologi eksperimen di Amerika, sebelum mendalami psikologi perkembangan di Kanada, dan kemudian mengajar linguistik di Amsterdam. Sekembali ke Amerika, ia berganti haluan menjadi peneliti pendidikan. Ia tergolong penulis yang amat produktif. 20 halaman tidak cukup untuk mencetak daftar publikasi ilmiahnya!
 

Kemitraan Riset-Praktik

Kemarin Prof. Snow membagikan pengalamannya melakukan "research-practice partnership" (RPP) atau, kalau dialihbahasakan, Kemitraan Riset-Praktik (KRP). Gagasan ini relatif baru, dikembangkan awal 2000an untuk mengatasi problem minimnya dampak riset pendidikan terhadap praktik.
 
Menurut Prof. Snow, riset pendidikan di Amerika tidak memberi dampak signifikan pada perbaikan praktik pendidikan. Salah satu penyebabnya adalah soal relevansi. Kebanyakan riset dilakukan untuk menjawab pertanyaan ilmiah yang seringkali penting/menarik bagi peneliti, namun terasa tak relevan bagi praktisi. KRP digagas untuk meningkatkan relevansi riset pendidikan terhadap praktik.
 
Pendidik di Indonesia sebenarnya sudah mengenal konsep yang mirip dengan KRP, yaitu Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang merupakan terjemahan dari “action research”. Dalam PTK, guru diposisikan menjadi peneliti yang mengeksplorasi kelasnya sendiri sebagai kancah riset. Dengan demikian, guru diharap menjadi lebih reflektif dan bisa menerapkan inovasi berbasis risetnya sendiri. 
 
Terdengar ideal, bukan?
 
Tapi menurut Prof. Snow, PTK adalah konsep yang terbukti gagal. Sebagian besar PTK gagal menghasilkan pengetahuan yang bermutu, atau pun inovasi yang berkelanjutan. Dan ini wajar saja. Tak masuk akal berharap guru untuk merangkap sebagai peneliti. Ini seperti meminta guru melakukan dua pekerjaan kompleks pada saat yang sama. Ibarat mengharap seorang pemain sepakbola untuk merangkap sebagai staf litbang klub tempatnya bekerja.
 
Tidak seperti PTK, dalam konsep KRP guru tetap berposisi sebagai praktisi. Peran sebagai peneliti dipegang oleh akademisi yang ahli meneliti. Yang membedakan dengan riset akademik adalah KRP menempatkan guru sebagai pemegang otoritas yang setara dengan peneliti. Misalnya, KRP mengutamakan problem yang dianggap urgen oleh praktisi. Pertanyaan riset dirumuskan bersama-sama dari problem tersebut. Pemaknaan terhadap data juga dilakukan bersama-sama. Selain itu, orientasi utama KRP bukan untuk menghasilkan publikasi ilmiah. Orientasinya lebih untuk menghasilkan knowledge-based tools: perangkat praktis yang bisa memperbaiki pengajaran atau kebijakan secara langsung.
 

Kurikulum “Word Generation”

Contoh KRP yang diuraikan Prof. Snow kemarin adalah proyek “Word Generation” (WG). Proyek ini berawal dari problem rendahnya literasi siswa SMP-SMA di seputar Boston. Siswa di sana bukannya tidak bisa membaca. Yang mereka sulit lakukan adalah membaca secara kritis dan mendalam, untuk kemudian belajar dari bacaan tersebut. Menurut survei PISA, hanya sekitar 8% siswa kelas 9/10 di Amerika yang memiliki kemampuan literasi tingkat tinggi. [Di Indonesia, angkanya sekitar 2% atau malah kurang!]
 
 
Karena proyek WG dilakukan dalam paradigma KRP, yang dikerjakan pertama adalah menggali masalah literasi dari perspektif guru. Bukan hanya guru bahasa, tapi guru berbagai mata pelajaran. Ternyata, para guru tidak berbicara tentang literasi tingkat tinggi, melainkan soal kosakata. Banyak siswa yang tidak paham makna berbagai kosakata penting yang digunakan di pelajaran dan buku teks. Karena itu, agenda pertama tim WG adalah membuat kurikulum yang memberi kesempatan siswa untuk menggunakan kosakata akademik secara otentik, dalam konteks yang bermakna.
 
Selama 3 tahun kemudian, Prof. Snow bersama tim kecilnya (ia menyebut 2 staf peneliti, plus mahasiswa) bekerjasama dengan guru dari 3 atau 4 sekolah untuk membuat sebuah kurikulum baru. Kurikulum yang kemudian mereka namai “Word Generation” ini tidak semata-mata terfokus pada membaca. Intisari dari kurikulum WG justru pada aktivitas diskusi dan argumentasi. Konsep dasarnya adalah siswa diberi pertanyaan besar tentang isu kontroversial. Pertanyaan ini harus terbuka dan kompleks, dalam arti tidak ada jawaban tunggal yang benar secara absolut, semacam “Siapa yang berkewajiban melindungi remaja dari predator online?” atau “Apakah dokter seharusnya diperbolehkan membantu pasien sekarat yang ingin mengakhiri hidupnya?”
 
Topik semacam ini tentu menuntut waktu. Dalam kurikulum WG, tiap topik dibahas selama 1 sampai 2 minggu, pada berbagai mata pelajaran. Contoh tipikalnya begini: pada hari Senin, topik diperkenalkan di kelas bahasa. Siswa diberi bacaan inti yang menyampaikan pendapat dan bukti dari berbagai sisi (1-2 jam pelajaran). Pada hari Selasa, pelajaran matematika disampaikan menggunakan soal-soal cerita yang memuat kosakata kunci dari bacaan kemarin. Hari Rabu, dalam konteks pelajaran IPS, siswa berdebat tentang pro dan kontra tiap posisi mengenai isu minggu itu. Hari Kamis, hal yang sama diulang dalam konteks pelajaran IPA. Hari Jumat, siswa diminta menulis esai berisi argumentasi pribadinya tentang isu tersebut.
 

Relevansi dan dampak praktis

Data evaluasi randomised control trial menunjukkan efektivitas kurikulum WG dibanding kurikulum konvensional. Ini tidak mengherankan, karena riset sebelumnya secara konsisten menunjukkan bahwa diskusi antar rekan (peer discussion) adalah metode yang sangat potensial. 
 
Masalahnya, seberapa banyak guru dan sekolah yang mau menerapkan kurikulum WG? Dari yang mau, berapa yang bisa menerapkannya dengan baik? Dampak praktis inilah yang menjadi tujuan utama proyek KRP seperti WG.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...