Saturday, April 18, 2020

AGAR MERDEKA BELAJAR, KITA PERLU BELAJAR MERDEKA

Oleh: Anindito Aditomo

 
Merdeka belajar dikenal sebagai jargon Mendikbud Nadiem. Tapi sebenarnya ia lebih dari sebuah jargon. Merdeka belajar juga merupakan filosofi atau semangat dasar yang melandasi reformasi pendidikan Kemendikbud saat ini. Filosofi merdeka belajar mengangankan sebuah ekosistem pendidikan di mana para pelakunya berpikir dan bertindak secara otonom untuk memfasilitasi proses belajar murid. 
 
Mewujudkan filosofi merdeka belajar ini bukan hal yang mudah. Persoalan pokoknya adalah bahwa untuk bisa merdeka belajar, kita harus terlebih dahulu belajar untuk merdeka. Agar otonomi bisa membuahkan ekosistem pendidikan yang sehat, para guru, kepala sekolah, pengawas, pejabat dinas perlu terlebih dahulu belajar berpikir dan bertindak secara merdeka untuk kepentingan murid. 
 
Perlunya belajar merdeka ini tercermin dalam respon publik terhadap berbagai inisiatif merdeka belajar Kemendikbud. Terhadap program belajar di TVRI, misalnya, seorang ibu memprotes karena khawatir bahwa program tersebut akan menambah beban anaknya. Apa masih kurang juga beban tugas yang diberikan kepada para murid? Kok masih ditambah dengan tugas menonton televisi sekian jam per hari? 
 
Sekilas protes ibu ini terdengar konyol. Program belajar melalui TVRI dimaksudkan untuk memperluas akses materi belajar di masa wabah Corona. Sekolah ditutup dan murid diminta belajar dari rumah. Persoalannya, banyak siswa yang tidak memiliki koneksi internet atau perangkat digital. Bagi mereka, pembelajaran daring (online) adalah kemewahan yang tak terjangkau. Siaran televisi menjadi cara untuk membuka kesempatan belajar bagi semua kalangan. Program tersebut tidak diniatkan sebagai beban tambahan bagi para murid yang memiliki previlege akses pembelajaran daring.
 
Namun di sisi lain, protes tersebut juga masuk akal. Si ibu tampaknya sudah cukup banyak berurusan dengan guru dan sekolah di Indonesia. Ia bisa menduga bahwa tayangan televisi dari Kemdikbud rentan dianggap sebagai materi yang wajib diberikan kepada murid. Dan benar saja. Tak berselang lama, ada yang melaporkan bahwa guru-guru di sebuah kota diberi tugas - oleh dinas pendidikannya - untuk memastikan para murid menonton program belajar TVRI tersebut. 
 
Persepsi bahwa program belajar TVRI ini "wajib ditonton" mirip dengan persepsi bahwa seluruh konten buku teks "wajib dituntaskan". Keduanya adalah perwujudan dari konsepsi bahwa sekolah pertama-tama adalah sebuah organ negara yang bertugas menerapkan kebijakan pemerintah. Sebagai bagian dari konsepsi tersebut, guru dipandang - dan memandang diri - terutama sebagai pegawai yang bertugas menjalankan aturan dan petunjuk dari atasannya. 
 
Akibatnya, kebebasan justru melahirkan kegamangan bagi banyak guru dan pejabat dinas. Alih-alih melihat tayangan TVRI sebagai resource yang bebas diramu sesuai kebutuhan murid, mereka menunggu "juklak" dan "juknis". Tanpa petunjuk yang jelas, sebagian memutuskan untuk menerapkan praktik yang selama ini lazim: dinas memerintahkan guru untuk memastikan siswa belajar dari TVRI. Pada gilirannya, guru meminta orangtua, yang kemudian memerintahkan anaknya menonton.
Kegamangan atas kebebasan ini bukan hanya terjadi karena wabah. Betul bahwa wabah Corona mengamplifikasi ketidakpastian dan karena itu kebingungan pelaku pendidikan. Tapi kegamangan tersebut sudah terlihat dalam respon terhadap program merdeka belajar sebelum wabah. 
 
Masih ingat kebijakan "RPP satu halaman"? Selama beberapa tahun sebelumnya, RPP atau lesson plan menjadi beban yang tidak bermakna - kecuali untuk memenuhi syarat administratif akreditasi, pengawasan sekolah, dan sertifikasi. RPP dibuat berlembar-lembar, terkadang sampai puluhan halaman, demi memenuhi format yang "diwajibkan" oleh otoritas seperti pengawas, pejabat dinas, atau para instruktur dari kementerian. 
 
Kebijakan "RPP satu halaman" berusaha mengembalikan pembuatan RPP pada esensinya, yaitu sebagai proses refleksi dan perbaikan rencana pengajaran. Kebijakan tersebut mengingatkan bahwa RPP sejatinya membantu guru untuk berpikir tentang tiga hal: tujuan belajar, aktivitas untuk mencapai tujuan, dan cara mengetahui apakah tujuan itu telah tercapai. Poin "1 lembar" hanyalah untuk menegaskan bahwa RPP tidak harus rumit dan berlembar-lembar. 
 
Tapi apa yang terjadi? Tidak sedikit guru yang merespon dengan pertanyaan seperti "Formatnya seperti apa?", "Apakah surat edaran ini tidak menyalahi regulasi?", dan "Bagaimana kalau disalahkan oleh kepala sekolah atau pengawas?" Tak lama kemudian muncullah format-format "RPP satu halaman" yang sebagian diperjualbelikan. Respon yang sama sekali tidak mengejutkan jika sekolah dipahami terutama sebagai kepanjangan tangan dari negara dan guru sebagai pelaksana kebijakan pemerintah.
Pun demikian dengan kebijakan yang mengembalikan penilaian (asesmen) kelulusan sepenuhnya kepada sekolah. Sebelumnya, kelulusan masih ditentukan oleh USBN alias Ujian Sekolah Berstandar Nasional. Meski bernama ujian sekolah, USBN sebenarnya adalah versi lokal dari Ujian Nasional. Seperempat soal tesnya berasal dari Kemdikbud, dan sisanya dibuat di bawah koordinasi dinas pendidikan.
 
Pada akhir 2019, Kemdikbud menegaskan bahwa penilaian siswa sepenuhnya merupakan wewenang sekolah. Bukan Kemdikbud, dan bukan pula dinas pendidikan. Dengan kata lain, guru dan sekolah diberi kebebasan untuk merancang dan melakukan penilaian akhir jenjang yang menentukan kelulusan murid. Seperti bisa diduga, kebebasan ini menimbulkan kegamangan. Bagaimana cara saya menilai murid? Penilaian seperti apa yang boleh saya gunakan?
 
Memang, sebagian kegamangan menghadapi merdeka belajar bersumber pada keterbatasan pengetahuan dan keterampilan guru. Banyak guru yang belum terampil melakukan perencanaan pembelajaran. Tanpa format RPP yang jelas, mereka bingung harus melakukan dan menuliskan apa. Banyak guru yang belum terampil merancang dan melakukan penilaian. Tanpa USBN yang sudah disiapkan oleh pemerintah, mereka pun tidak tahu apa yang harus dilakukan.
 
Tapi keterbatasan pengetahuan dan keterampilan ini hanya sebagian dari persoalan. Bahkan, hal ini bisa dianggap sebagai akibat atau buah dari persoalan yang lebih mendasar tadi: konsepsi bahwa sekolah adalah organ negara dan guru adalah pelaksana kebijakan pemerintah. Konsepsi inilah yang membuat guru selama ini TIDAK DIBERI kesempatan untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan profesionalnya.
 
Konsepsi sekolah sebagai organ negara ini adalah warisan Orde Baru. Sistem pendidikan secara sistematis dibangun melayani fungsi konservasi status quo dan stabilitas politik. Hal ini tercermin dari berbagai aspek persekolahan, mulai dari seragam, ritual-ritual semacam upacara bendera, ektra kurikuler seperti baris berbaris, penataran P4, kewajiban guru menjadi anggota Golkar, konten kurikulum yang hampir sepenuhnya dibuat terpusat, pelatihan guru yang juga terpusat, dan banyak lagi.
 
Secara tidak sadar, warisan Orde Baru ini masih kuat berakar dalam cara berpikir banyak guru, kepala sekolah, dan pejabat pendidikan kita. Studi etnografi yang dilakukan Christopher Bjork menggambarkan mindset warisan Orde Baru ini dengan gamblang. Pada awal studinya, Bjork melihat bahwa para guru dan kepala sekolah (dan orangtua!) tidak melihat bahwa tugas utama mereka adalah meningkatkan mutu belajar murid. Alih-alih terfokus pada kualitas pembelajaran, sebagian besar guru dan kepala sekolah tampak lebih peduli pada ritual dan administrasi. Guru-guru yang kerap terlambat datang ke kelas, misalnya, ternyata selalu disiplin dalam mengikuti upacara bendera. 
 
Dari studinya, Bjork menyimpulkan bahwa penyebabnya terletak pada bagaimana para pelaku pendidikan melihat pekerjaan dan diri mereka dalam relasinya dengan negara: 
 
"It soon became clear to me that participants in the Indonesian education system did not conceive their work as an individual undertaking. Instead, their observations communicated a sense of acceptance of a status quo over which they had little influence." 
 
Dengan kata lain, para guru dan kepala sekolah yang ditemui Bjork tidak melihat diri mereka sebagai individu yang memiliki otonomi profesional. 
 
Studi Bjork dilakukan pada penghujung masa Orde Baru. Ketika itu, Kemendikbud sedang memulai upaya menumbuhkan otonomi sekolah dan dinas pendidikan. Inisiatif utamanya adalah pemberian ruang 20% untuk "muatan lokal" dalam kurikulum sekolah. Setelah reformasi, otonomi ini terakselerasi dan mewujud dalam bentuk desentralisasi pengelolaan sekolah. Guru tidak lagi menjadi "anak buah" Mendikbud, melainkan kepala daerah. Manajemen sekolah pun menjadi kewenangan dinas pendidikan.
 
Namun desentralisasi ini tampaknya berhenti pada tataran manajerial-administratif. Dari perspektif guru dan kepala sekolah, otoritas negara hanya berpindah tempat saja dari Jakarta ke kantor dinas pendidikan wilayahnya masing-masing. Perubahan tersebut tidak mengutak-atik mindset lawas guru sebagai pelaksana kebijakan pemerintah. 
 
Mindset inilah yang sedang berusaha diubah oleh Kemendikbud melalui merdeka belajar-nya. Tapi merdeka belajar - almost by definition - bukan sesuatu yang bisa diperintahkan. Perintah menteri atau presiden sekali pun tidak bisa membuat orang berpikir dan bertindak secara merdeka! Mau tak mau, Kemendikbud harus menemukan cara agar para pelaku pendidikan belajar untuk merdeka. 
 
Perubahan mindset, perubahan budaya kerja dalam sistem pendidikan Indonesia yang masif ini adalah contoh paripurna dari sebuah "wicked problem". Sebuah permasalahan ambigu dengan begitu banyak bagian yang saling mempengaruhi sehingga memerlukan solusi radikal dan sistemik. Apakah anda punya gagasan yang bisa menjadi bagian dari solusinya?

Wednesday, April 8, 2020

NALAR KRITIS ADALAH BAGIAN ESENSIAL DARI KARAKTER

Oleh: Anindito Aditomo 
 
 
Pagi ini diminta menjadi narasumber FGD pendidikan karakter yang diadakan Ayu Kartika Dewi, stafsus presiden, bersama Semua Murid Semua Guru (SMSG). Mau ngomong apa lagi kalau bukan soal pentingnya penalaran dalam pendidikan karakter. Topik lawas yang sudah hampir 10 tahun saya omongkan. Semoga belum bosan 🙂

Berbicara tentang pendidikan karakter dari perspektif psikologi, satu poin yang ingin saya sampaikan adalah bahwa sebenarnya tidak pemisahan tegas antara karakter dan kognisi. 
 
Dikotomi antara pendidikan karakter dan pendidikan akademik adalah dikotomi palsu. Lebih jauh lagi, ini dikotomi yang menyesatkan dan bisa menghambat reformasi pendidikan. 
 
Mengapa demikian? Pendidikan karakter kerap diasosiasikan dengan moral dan moralitas. Pendidikan karakter dianggap berhasil peserta didik menunjukkan perilaku yang bermoral. Ini tidak keliru.
 
Yang keliru adalah asumsi bahwa perilaku atau tindakan bermoral ini bisa dipisahkan dari kompetensi kognitif. Justru sebaliknya: sebuah tindakan bisa dikatakan bermoral hanya jika ia dilandasi penalaran (reasoning): pemikiran yang sadar dan sistematis tentang bagaimana prinsip-prinsip moral yang abstrak bisa diterapkan dalam situasi kompleks yang melibatkan pilihan-pilihan yang biasanya ambigu.
Saya ambil beberapa contoh sederhana.
  • Mengurangi penggunaan plastik hanya menjadi tindakan bermoral jika dilandasi pengetahuan tentang bagaimana pola konsumsi bisa berdampak pada ekonomi dan lingkungan. Jika dilakukan karena diharuskan sekolah, atau karena ikut-ikutan tren, maka apakah itu bisa dianggap sebagai perilaku yang bermoral? Bagi saya jawabannya tidak. 
  • Perilaku antri secara tertib hanya menjadi tindakan bermoral ketika dilakukan atas kesadaran bahwa memotong antrian sama saja dengan mengambil hak orang lain. Bahwa memotong antrian, pada tataran abstraksi tertentu, tak jauh beda dari mencuri: mengambil sesuatu yang menjadi hak orang lain. Jika antri sekadar karena diharuskan, karena takut dimarahi, apakah bisa dianggap perilaku bermoral? Menurut saya tidak.
Hal yang sama berlaku untuk berbagai perilaku yang kerap kita kaitkan dengan tujuan pendidikan karakter:
  • Tertib berlalu lintas: berhenti ketika lampu merah, parkir hanya di lokasi yang diperbolehkan, tidak menyerobot jalur antrian, dll.
  • Kejujuran di tempat kerja: tidak korupsi, menggunakan waktu kerja untuk keperluan kerja, menggunakan wewenang dan jabatan hanya untuk kepentingan profesional, bukan untuk kepentingan pribadi, dll.
 Kemampuan berpikir abstrak, berpikir sistematis, dan berpikir kritis adalah bagian esensial dari perilaku moral. Bagian esensial dari apa yang biasa disebut sebagai karakter. Pendidikan karakter tidak bisa dipisahkan dari pengembangan kompetensi berpikir. Justru sebaliknya, pendidikan karakter tidak mungkin berhasil jika tidak melibatkan pengembangan penalaran. 

Karena itu pendidikan karakter bisa dan seharusnya embedded dalam berbagai mata pelajaran. Pelajaran bahasa Indonesia, bahasa Inggris, IPA, IPS, dan matematika bisa meminta siswa melakukan analisis situasi dan problem yang kompleks. Sebagian besar mata pelajaran bisa melibatkan aktivitas debat yang mengasah kemampuan melihat sebuah isu dari berbagai perspektif. Juga membiasakan siswa menerima kritik dan menumbuhkan kerendahan hati untuk mengakui kesalahan. 
 
Sekali lagi, dikotomi antara pendidikan karakter dan pendidikan "kognitif" atau akademik adalah dikotomi yang menyesatkan. Tidak ada pengembangan karakter tanpa pengembangan kemampuan bernalar. Upaya apa pun untuk mengembangkan karakter siswa harus melibatkan pengembangan daya nalar.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...