Sunday, January 6, 2019

Bagaimana Seharusnya Sejarah Diajarkan?

Oleh: Anindito Aditomo 



Jerome Bruner, psikolog-pendidik-pemikir legendaris Amerika, pernah mendapat tamu dua orang petinggi departemen pendidikan Rusia. Bruner mengira para pejabat tersebut meminta bantuan untuk membuat materi pelajaran sains atau matematika - permintaan yang sering ia dapatkan. Ternyata bukan. Mereka datang untuk berdiskusi tentang beberapa pertanyaan mendasar tentang sejarah. Atau lebih tepatnya, tentang bagaimana seharusnya sejarah diajarkan.
 
Ketika itu tembok Berlin baru saja runtuh. Uni Soviet baru terpecah kembali menjadi negara-negara terpisah. Kedua tamu Bruner bertanya: "Bagaimanakah episode sejarah yang baru berakhir ini harus diajarkan pada siswa? Apakah cukup kita katakan bahwa Uni Soviet adalah sebuah percobaan yang gagal, sebuah kesalahan sejarah yang kini sudah kita lewatkan? Jika tidak, bagaimana kita bisa menjelaskan apa yang terjadi selama sekian puluh tahun ini?" Pertanyaan-pertanyaan yang sulit dan takkan bisa dijawab secara hitam-putih. Apapun jawabannya sangat mungkin bagian penting dari fondasi kurikulum dan pengajaran sejarah Rusia.
 
Cerita ini membuat saya bertanya-tanya, apakah para pengambil kebijakan pendidikan di Indonesia pernah memikirkan hal serupa? Kita sebagai bangsa telah beberapa kali mengalami perubahan mendasar. Yang terakhir adalah perubahan dari Orde Baru ke era reformasi. Bagaimanakah seharusnya perubahan tersebut dijelaskan di buku-buku sejarah yang dibaca anak-anak kita di sekolah? Bagaimana masa Orde Baru sebaiknya ditampilkan? Sisi gelap terang rezim Soeharto mana saja yang penting dibahas?
 
Pertanyaan-pertanyaan serupa bisa diajukan untuk periode-periode lain dalam sejarah bangsa kita. Yang ingin saya tahu, sekali lagi, adalah apakah pertanyaan-pertanyaan seperti ini pernah direfleksikan oleh para pengambil kebijakan pendidikan di Indonesia? Atau, kalau bukan para pengambil kebijakan, oleh para sarjana sejarah dan pendidikan sejarah?
 
Saya khawatir jawabannya adalah tidak. Jika memang benar demikian, saya kira perlu ada yang menggagas proses refleksi mendasar tentang pengajaran sejarah. Pelajaran sejarah tak kalah penting dari matematika dan sains. Pelajaran sejarah punya peran strategis dalam membangun nalar kritis sekaligus identitas kolektif. Syaratnya itu tadi, harus ada refleksi tentang pertanyaan-pertanyaan sulit mengenai bagaimana sejarah ditampilkan. Refleksi yang niscaya melibatkan perdebatan dan pertarungan beragam perspektif.
 
Tanpa proses ini, pelajaran sejarah akan tetap menjadi pemaparan fakta-fakta yang membosankan dan segera dilupakan setelah ujian. Tapi semoga saya salah.
 
Foto: AFP/malaymail.com

Saturday, January 5, 2019

Kurikulum Bencana, Bencana Kurikulum

Oleh: Anindito Aditomo

Materi seputar bencana diusulkan masuk kurikulum. Sepintas, usul semacam ini menunjukkan penghargaan dan harapan yang tinggi terhadap pendidikan. Lebih khususnya, pendidikan formal alias sekolah. Pendidikan dianggap obat mujarab untuk berbagai penyakit sosial. Radikalisme meluas? Perbaiki kurikulum agama. Hoaks merajalela? Masukkan critical thinking ke kurikulum. Korupsi masih gila-gilaan? Pengguna jalan raya tidak disiplin? Banyak orang yang nyampah sembarangan? Ancaman narkoba di sekolah? Buat kurikulum baru untuk menguatkan karakter siswa.

Membuat siswa lebih sadar tentang bencana memang perlu. Yang saya khawatirkan, usulan semacam ini seringkali dilandasi miskonsepsi tentang pendidikan. Pertama, kurikulum sering dianggap teacher proof alias tidak tergantung pada guru. Siapapun gurunya, mengajar di sekolah manapun, akan bisa menerjemahkan kurikulum sesuai maksud perancang kurikulum. Karena asumsi yang keliru ini, kebijakan sering berhenti pada utak-atik kurikulum tanpa upaya serius untuk meningkatkan kapasitas guru.
 
Kedua dan yang lebih mendasar, desain dan implementasi kurikulum seringkali memperlakukan pengetahuan sebagai barang abstrak. Kalaupun guru-guru sudah mampu mengajarkan materi kebencanaan, hasilnya nanti adalah siswa yang tahu tentang berbagai penyebab tsunami, tahu bahwa skala Richter adalah skala logaritmik, tahu bahwa respon yang tepat menghadapi gempa adalah bersembunyi di bawah meja yang kuat, dst. Sebagian mungkin akan bisa menjawab soal-soal ujian tentang kebencanaan. Tapi apakah pengetahuan itu berguna secara nyata? Tidak, jika pengetahuan itu diajarkan sekedar sebagai potongan-potongan informasi tanpa konteks. 
 
Yang diperlukan adalah kesadaran tentang perlunya pemikiran cermat dan landasan kuat untuk merancang kebijakan pendidikan. Termasuk perubahan kurikulum. Mengubah kurikulum sama sekali bukan perkara sederhana. Tidak bisa sekedar menambahkan konten dan membuat modul pelatihan. Kalau mau serius, tidak akan bisa dibuat dalam hitungan bulan, apalagi minggu. 
 
Tentang isu kebencanaan, misalnya, perubahan kurikulum perlu dimulai dari memikirkan makna bencana dan apa yang diperlukan agar masyarakat siap menghadapinya. Saya bukan ahli bencana, namun jelas bahwa ini adalah isu multidimensi. Ada dimensi yang gamblang terlihat, misalnya yang terkait substansi ilmiah seperti mekanisme terjadinya bencana atau prosedur penyelamatan diri yang paling efektif. Tapi ada juga yang lebih implisit namun tak kalah penting. Misalnya, sikap dan keyakinan mengenai sains vs. mitos. Masyarakat yang percaya bahwa tsunami terjadi karena upacara adat akan enggan mendukung alokasi biaya yang besar untuk mitigasi bencana yang berlandaskan sains. Ada juga dimensi teologis. Teologi yang menekankan kepasrahan mungkin berguna bagi penyintas bencana, tapi tidak akan mendukung upaya persiapan menghadapinya. 
 
Saya yakin ada banyak dimensi lain yang perlu dipikirkan untuk merancang kurikulum kebencanaan. Poinnya adalah kebijakan pendidikan tidak boleh dirancang dengan grusa grusu. Tanpa kesadaran ini, saya yakin usulan yang dilandasi niat baik ini hanya akan menghasilkan kurikulum yang semakin padat, tanpa hasil yang diharapkan. Hasilnya bukan kurikulum kebencanaan, tapi bencana kurikulum.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...