Showing posts with label teknologi. Show all posts
Showing posts with label teknologi. Show all posts

Thursday, August 20, 2015

Be Careful of What You Read!




Secara umum, frekuensi membaca memprediksi perkembangan berbahasa dan kemampuan mencerna bacaan di kemudian hari. Tapi apakah membaca komik punya dampak yang sama dengan membaca novel? Bagaimana dengan membaca berita online, media sosial, dan blog?

Menurut sebuah penelitian longitudinal di Jerman, tiap jenis bacaan punya dampak yang berbeda (Pfost, Dorfler, & Artelt, 2013). Bacaan yang berdampak positif dan cukup besar adalah fiksi seperti novel dan cerpen. Komik, majalah, dan buku non-fiksi juga berdampak positif namun lebih lemah. 


Saturday, August 15, 2015

Menyongsong Gelombang MOOC


Teknologi telah memungkinkan pengalaman belajar yang kaya tanpa harus bertatap muka.
Sumber: http://www.torrington.info/uploads/1/9/0/5/19057235/__757786166.jpg

Pendidikan tinggi seperti apa yang bisa anda dapatkan dengan uang 5 juta rupiah? Untuk sebagian besar orang, uang sebesar itu hanya cukup untuk membayar biaya kuliah satu atau dua semester di universitas yang kualitasnya belum tentu terjamin. Tapi itu di masa lalu. Sekarang, melalui MOOCs, 5 juta rupiah bisa memberi anda tiket mengikuti serangkaian mata kuliah dan mendapat sertifikat kompetensi spesifik dari universitas-universitas terbaik di dunia.

Secara harafiah, MOOC berarti kuliah daring (online) yang terbuka dan masif. Terbuka karena siapapun yang punya akses internet bisa mengikutinya. Tidak ada prasyarat formal apa pun. Tidak perlu bukti ijazah, bukti nasionalitas, usia, visa, dll. Masif dalam arti bisa menampung ratusan ribu siswa secara simultan. Sebagai gambaran, 154.763 orang dari 194 negara mendaftarkan diri ketika MIT menawarkan MOOC pertamanya (“Circuits and Electronics”) pada tahun 2011. Jumlah yang fantastis, terutama bila kita bandingkan dengan daya tampung yang ditawarkan kelas-kelas tradisional.


Thursday, October 25, 2012

Menggunakan Internet Secara Cerdas dan Sehat

Bagi kita yang beruntung menjadi anggota kelas menengah, internet sudah menjadi bagian integral dari hidup sehari-hari. Internet sudah menjadi seperti kebutuhan pokok. Banyak diantara kita yang sulit membayangkan bahkan satu hari pun tanpa menggunakan search engine, membuka email, berbagi kabar lewat media sosial, atau sekedar menonton video singkat sebagai hiburan di sela-sela kesibukan. Anak-anak keluarga kelas menengah pun sejak kecil sudah terbiasa menggunakan berbagai perangkat digital untuk mengakses bermacam informasi yang ada di dunia maya.

Tapi kemampuan menggunakan perangkat digital dan internet tidak sepadan dengan kebiasaan menggunakannya secara sehat dan cerdas. Sebagai analogi, tidak semua pengendara mobil terbiasa berlalu lintas dengan sopan dan aman. Sebagaimana perilaku berlalu lintas yang baik, sikap dan perilaku berinternet secara sehat juga amat penting. Mungkin anda ragu: mengendarai mobil dengan ngawur memang bisa berakibat fatal, tapi kalau sekedar menelusuri informasi dan menjalin hubungan pertemanan di dunia maya, apakah konsekuensinya juga bisa demikian serius?

Keraguan akan pentingnya kebiasaan berinternet secara sehat dan cerdas mestinya terjawab oleh dua kasus yang baru saja terjadi. Kasus pertama percaya menyangkut seorang remaja putri di daerah Depok yang menjadi korban perkosaan oleh seseorang yang ia kenal melalui jejaring sosial Facebook. Dalam kasus ini, pelaku kejahatan lihai dalam memproyeksikan kepribadian virtual yang menarik, sampai korban cukup percaya untuk mau bertemu secara langsung. Kasus kedua terjadi di Kanada dan juga menyangkut seorang remaja putri. Di kasus ini, si remaja putri mengalami cyber-bullying oleh seseorang yang mengancam akan memposting foto separuh-telanjang remaja tersebut. Remaja tersebut kemudian mengalami depresi, beberapa kali pindah sekolah, dan akhirnya bunuh diri.

Kedua kasus tragis di atas memang contoh ekstrem. Tapi versi-versi “lebih ringan” dari penipuan online dan cyber-bullying kerap terjadi dan bisa menimpa banyak orang, mengingat bahwa sudah ada sekitar 55 juta pengguna internet di Indonesia. Poin yang ingin saya sampaikan adalah bahwa perkataan, perilaku, dan keputusan-keputusan kita di dunia maya memiliki konsekuensi yang sungguh nyata. Dalam konteks inilah kita perlu belajar untuk menggunakan internet secara sehat dan cerdas.

Seperti apa perilaku berinternet yang sehat dan cerdas itu? Perinciannya tentu tak cukup dijabarkan di kolom ini. Namun ada beberapa prinsip yang dapat kita pegang, seperti yang disarikan oleh tim iKeepSafe bersama Google berikut (untuk lebih lengkapnya, lihat di http://www.google.com/educators/digitalliteracy.html):

Pertama, selalu bersikap skeptis, alias waspada dan kritis. Di dunia maya, hampir siapa pun yang punya koneksi internet bisa “menciptakan” informasi. Akibatnya adalah masifnya volume informasi yang ada di internet, serta beragamnya kualitas informasi tersebut. Kalau diibaratkan apotek, internet menyimpan miliaran obat dari berbagai jenis. Kebanyakan obat tersebut gratis, namun sebagian besar juga tidak manjur, dan sebagian lagi justru bisa membuat kita sakit.

Dengan demikian, kita perlu pandai-pandai mengevaluasi dan memilah informasi. Ini bisa dilakukan dengan mengecek otoritas dari sumber informasi (penulis dan pemilik situs). Misalnya, informasi yang ada di situs pemerintah, universitas dan media masa resmi biasanya lebih bisa dipercaya. Lebih elok lagi bila kita terbiasa membandingkan informasi dari beberapa sumber yang berbeda, serta memikirkan apa tujuan dan kepentingan si sumber informasi. Dengan mengambil perspektif si pencipta informasi, kita akan lebih kritis dalam menilai keabsahan informasi tersebut.

Kedua, jaga privasi. Sebagian besar dari kita tidak akan membagi-bagi foto anak, pasangan, atau diri kita kepada orang asing di perempatan jalan. Kita juga tidak akan menyebarkan selebaran berisi nama, tanggal lahir, dan riwayat sekolah atau kerja kita kepada orang yang tak kita kenal. Tapi di sisi lain, sebagian besar dari kita melakukan hal-hal itu dengan riang di dunia maya melalui berbagai media sosial. Informasi pribadi yang kita tampilkan di internet dapat disalahgunakan. Misalnya, orang yang berniat menipu kita akan lebih mudah melakukannya bila ia memiliki informasi pribadi lengkap tentang diri kita. Atau, seseorang bisa menciptakan akun di media sosial dengan berpura-pura sebagai kita, kemudian melakukan hal-hal yang memalukan atau bahkan kriminal. Karena itu, tampilkan informasi pribadi seminimal mungkin.

Ketiga, tetap santun dan jujur. Karena perkataan dan perilaku online punya dampak nyata, standar kesantunan yang kita anut di kehidupan nyata juga berlaku di dunia online. Tapi ini kadang terlupakan karena dalam interaksi online kita tidak secara langsung berhadapan dengan orang lain.

Selain itu, yang juga kadang terlupa adalah bahwa informasi yang kita unggah di internet akan memiliki “kehidupan” sendiri yang sulit kita kendalikan. Status FB atau Google+ yang hari ini kita tulis hari ini masih akan terbaca oleh orang lain satu atau bahkan sepuluh tahun mendatang. Sebuah umpatan dan olok-olok, atau sebuah foto memalukan, yang kita posting bisa diambil oleh orang lain untuk kemudian ia sebarkan secara luas – kadang tanpa kita ketahui. Hal ini bisa menyakiti orang lain, tapi bisa juga merugikan kita sendiri: bayangkan bila ucapan atau gambar tak pantas itu diketahui oleh atasan atau calon mertua!

Menerapkan prinsip-prinsip di atas tentu tak semudah menuliskannya. Tapi paling tidak semoga tulisan ini membuat kita berefleksi tentang cara kita menggunakan internet selama ini.

Wednesday, September 26, 2012

Teknologi di Sekolah: Efisiensi atau Inovasi?


Perkembangan pesat teknologi informasi dan komunikasi telah dan akan terus mengubah berbagai aspek kehidupan. Bagi banyak orang, interaksi sosial kini banyak berlangsung di dunia maya. Melalui media-media sosial seperti Twitter dan Facebook, kita bisa bertemu teman baru, bertengkar dengan teman lama, serta mengikuti kabar keluarga, gosip selebriti serta berita politik terbaru. Mobile devices seperti telepon seluler dan sabak digital (iPad, Galaxy Tab, dll.) yang makin canggih, serta koneksi internet yang semakin berkualitas dan murah, mendorong kita untuk berbagi kabar dan informasi dalam format multimedia yang menggabungkan teks, foto dan video.

Kebutuhan siswa akan pengetahuan pun kerap terlayani bukan oleh sumber-sumber ilmu tradisional seperti sekolah dan guru, melainkan oleh situs-situs semacam Wikipedia, Youtube dan forum-forum online, yang materinya diproduksi secara bottom-up oleh pengguna, dan karena itu isinya banyak, up-to-date, namun sekaligus bervariasi kualitasnya. Perkembangan teknologi juga telah melahirkan kuliah-kuliah jarak jauh yang tidak sekedar menyampaikan materi kuliah secara satu arah, tapi juga menawarkan peer discussion dan asesmen yang bermutu. Simak, misalnya, kuliah-kuliah gratis dari berbagai universitas tenar di Amerika yang ditawarkan melalui Coursera.org dan diikuti oleh ratusan ribu orang dari seluruh dunia. Teknologi yang sama juga dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan besar untuk mengefisienkan komunikasi dan pelatihan internal.

Menilik begitu kuat dan luasnya pengaruh teknologi pada kehidupan, barangkali mengejutkan bahwa teknologi tidak banyak menyentuh proses belajar-mengajar di sekolah. Guru, orangtua dan pejabat pendidikan kerap merasa bahwa teknologi tidak terlalu relevan atau bahkan mengganggu proses belajar-mengajar formal. Telepon seluler dan mobile device lain kerap dilarang dibawa ke sekolah, atau setidaknya tidak boleh digunakan di ruang kelas. Sekolah-sekolah yang telah memiliki akses internet sering memblokir situs media sosial seperti Facebook, Twitter dan Youtube. Teknologi juga haram digunakan sebagai alat bantu dalam ujian atau tes.

Kalau pun teknologi digunakan di sekolah, seringkali penggunaannya hanya untuk mengefisienkan model pembelajaran konvensional: kalau dulu guru menyampaikan kuliah sambil menulis di papan, sekarang hal yang sama dilakukan melalui proyektor digital dan software presentasi. Kalau dulu pekerjaan rumah siswa diberikan dalam bentuk kertas tercetak, kini hal yang sama bisa disampaikan dan dikumpulkan melalui surat elektronik (email). Bila dahulu siswa membuat kliping berita dari koran-koran bekas, kini mereka melakukannya dengan bantuan Google. Esensi aktivitasnya sama, hanya dilakukan dengan media yang berbeda, tanpa memperdalam proses belajar.

Penggunaan teknologi yang superfisial terjadi juga di negara-negara maju. Lebih dari satu dekade yang lalu, Larry Cuban (2001) meneliti sekolah dan universitas di Silicon Valley, Amerika, daerah yang tergolong paling maju dalam hal penyediaan teknologi. Cuban menemukan bahwa lebih dari 50% guru tidak menggunakan komputer yang tersedia untuk mengajar – hanya sekitar 10% yang menggunakannya secara intensif, sedangkan 20-30% hanya kadang-kadang saja. Bahkan di kleas yang menggunakan komputer pun, siswa lebih sering menggunakannya hanya untuk mengetik tugas, mencari informasi di internet atau CD, dan memainkan game di waktu senggang. Jarang sekali teknologi digunakan secara terintegrasi dengan proses belajar, misalnya dengan memanfaatkan kemampuan komputer untuk memroses dan memvisualisasi informasi, atau menciptakan ruang interaksi online yang semi-informal agar lebih banyak siswa bisa menguraikan pikiran dan pendapat secara aktif.

Penggunaan teknologi secara superfisial ini akan berujung pada segregasi antara sekolah dan teknologi. Di satu sisi, sekolah identik dengan belajar-mengajar (namun sering tidak menyenangkan). Di sisi lain, teknologi identik dengan bermain dan bersosialisasi (yang seringkali lebih menyenangkan). Segregasi ini membuat guru dan sekolah, dan juga orangtua, kehilangan kesempatan untuk membentuk sikap dan perilaku siswa/anak dalam menggunakan teknologi, misalnya dalam cara memilih game, bagaimana menghindari ajakan pertemanan yang berbahaya di Facebook, bagaimana memilih orang untuk diikuti di Twitter, cara mencari dan mengevaluasi informasi di internet, dll.

Yang lebih ideal tentu adalah apabila ada sinergi antara penggunaan teknologi dengan pembelajaran di sekolah. Sebagai ilustrasi dari potensi sinergi ini, kita bisa menengok fenomena komunitas maya (online virtual communities) penggemar dari karya fiksi untuk anak dan remaja seperti serial Harry Potter dan Hunger Games. Komunitas-komunitas maya ini memanfaatkan ruang online untuk mendiskusikan berbagai aspek dari karya fiksi kesukaan mereka. Misalnya, tentang mengapa apakah keputusan seorang karakter di novel sudah sesuai dengan karakternya, atau tentang kejanggalan dalam plot yang dibangun oleh penulis. Diskusi semacam ini cair dan informal, tapi menuntut kemampuan berpikir analitis dan kritis, dan dengan demikian mengasah berbagai keterampilan bahasa yang ingin dikembangkan oleh sekolah.

Lebih jauh lagi, anggota komunitas penggemar ini juga menulis karya fiksi mereka sendiri berdasarkan karakter dan plot dari serial kesukaan mereka. Dan jangan dikira bahwa hal ini hanya dilakukan segelintir pembaca. Di salah satu situs yang memuat “fan fiction” (www.fanfiction.net) saat ini sudah ada lebih dari 600 ribu fan fiction Harry Potter, lebih dari 200 ribu fan fiction Twilight, dan lebih dari 21 ribu fan fiction Hunger Games. Penulisan fan fiction seperti ini tentu memerlukan imajinasi dan kreativitas, daya analisis untuk membaca karakter dan mengembangkan plot cerita, serta kepercayaan diri untuk mempublikasikannya untuk dibaca dan dikomentari siapa pun yang punya akses internet. Penelitian Jen Scott Curwood dari University of Sydney mengenai komunitas penggemar maya serial Hunger Games menunjukkan bahwa banyak remaja yang tidak senang dengan pelajaran bahasa di sekolah menjadi gemar membaca dan menulis dalam di komunitas maya. Ini menunjukkan nilai motivasi dari praktik berbahasa yang dilakukan dalam konteks yang otentik, seperti komunitas penggemar online ini. Hal ini amat kontras dengan pelajaran bahasa di sekolah yang kerap diikuti dengan ogah-ogahan.

Fenomena penggemar fiksi online ini membuka banyak kemungkinan inovasi pembelajaran. Berikut beberapa contoh yang diberikan oleh Curwood terkait dengan serial Hunger Games: menulis lagu mengenai buku tersebut dan memeragakannya; membuat jurnal yang menggambarkan perjalanan seorang karakter di serial Hunger Games; membuat movie trailer-nya; membuat peta yang mewakili berbagai aspek dari dunia Hunger Games; serta membuat kartun atau drama mengenai dinamika sosial dan politik yang terjadi di serial tersebut (lihat di http://www.jensc.org/2012/03/reading-and-responding-to-the-hunger-games/). Guru yang kreatif akan bisa menggunakan aktivitas-aktivitas ini bukan saja untuk kelas bahasa, tapi juga untuk pelajaran lain yang sesuai dengan tema novel yang menjadi acuan, seperti sejarah, sosiologi, bahkan matematika.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...