Showing posts with label proses belajar. Show all posts
Showing posts with label proses belajar. Show all posts

Friday, November 27, 2015

Membongkar Mitos Gaya Belajar (2)


Baca juga: Membongkar mitos gaya belajar (1)

Andaikan anda seorang guru. Suatu ketika, atas saran seorang kawan, anda mensurvei gaya belajar siswa di kelas anda. Sebagian besar ternyata pembelajar visual: mereka mengaku lebih senang melihat gambar dan diagram daripada membaca teks atau mendengar ceramah suara. 

Apa yang sebaiknya anda lakukan? Menurut para pelopor teori gaya belajar, guru yang baik seharusnya menyesuaikan cara mengajar dengan gaya belajar siswanya. Tapi bagaimana caranya? Jangan kuatir, kalau anda belum bisa melakukannya, ada berbagai seminar dan pelatihan yang bisa anda ikuti! Tentu dengan sedikit biaya investasi :)

Seperti saya tulis sebelumnya, gagasan gaya belajar ini sangat populer. Produk yang dijual para pencetusnya laris manis. Ini industri bernilai jutaan dolar. Yang jadi masalah adalah gagasan ini tidak punya fondasi yang kokoh. Dengan kata lain, penyesuaian antara pengajaran dan gaya belajar masih berstatus mitos!

Thursday, November 26, 2015

Membongkar Mitos Gaya Belajar (1)


Baca juga: Membongkar mitos gaya belajar (2)

Apakah anda lebih suka belajar dengan melihat? Bagaimana kalau dibandingkan belajar dengan mendengarkan orang bicara? Atau sambil bergerak dan melakukan aktivitas secara fisik? 

Sebagian besar dari Anda mungkin sudah pernah mendengar pertanyaan-pertanyaan ini. Sebagian mungkin sudah pernah mencoba mengisi kuesioner atau kuis yang memuat pertanyaan-pertanyaan serupa. Di balik pertanyaan-pertanyaan semacam ini adalah gagasan bahwa tiap individu memiliki "gaya belajar" yang unik. 

Tuesday, June 9, 2015

Berpikir adalah Melupakan

Melupakan adalah bagian esensial dari proses berpikir dan belajar.
Sumber: http://thisisinfamous.com/wp-content/uploads/2014/08/mad-max-fury-road.jpg

Pikirkan film terakhir yang anda tonton. Apakah itu film yang layak ditonton ulang, atau direkomendasikan pada orang lain? Film terakhir saya adalah Mad Max. Plot ceritanya biasa saja. Endingnya klise, sebagaimana film Hollywood lainnya. Para aktor dan aktrisnya berperan bagus tapi tidak istimewa. Namun demikian, Mad Max adalah film laga (action) yang sungguh ciamik. Saya katakan demikian karena sejak detik pertama, film itu menyuguhkan sajian visual yang luar biasa dan adegan intens yang tak putus-putus. Saya tidak akan ragu merekomendasikannya pada orang yang mencari film laga.

Sebagian pembaca akan setuju dengan simpulan saya tentang Mad Max, dan sebagian lagi tidak. Namun dalam tulisan ini, simpulan tentang Mad Max sekadar contoh dari sebuah mekanisme terkait proses berpikir manusia. Yang ingin saya soroti adalah bahwa seorang pemirsa bisa memikirkan sebuah film yang baru ia tonton, kemudian mengambil simpulan dan meyakini bahwa simpulan itu kuat, meski pun ia tidak mengingat keseluruhan informasi yang disajikan oleh film tersebut.

Saturday, April 18, 2015

Ujian dan Kemampuan Bernalar

Sabtu pagi mencari bahan untuk mahasiswa bimbingan, malah nemu artikel tentang dampak ujian terstandar pada hasil belajar dan motivasi siswa. Riset tentang hal itu sudah banyak, tapi yang ini istimewa dari segi kualitas metode. Para penelitinya menganalisis data longitudinal pada sampel yang mewakili seluruh siswa di Jerman. Para siswa dites literasi/penalaran matematika dan penguasaan materi kurikulum di kelas 9, dan diulang lagi di kelas 10. Mereka juga diminta melaporkan motivasi dan pengalaman emosionalnya terkait sekolah. 

Pada saat data dikumpulkan, sebagian negara bagian di Jerman menetapkan ujian akhir yang terstandar ("central exit exam"), sebagian lagi tidak. Dengan demikian, para peneliti dapat membandingkan pengaruh ujian akhir pada hasil belajar, baik yang kognitif maupun motivasional. 


Wednesday, August 6, 2014

Membawa Tantangan Membaca ke Surabaya

Tantangan membaca menumbuhkan keinginan dan kemauan, bukan sekedar kemampuan. 
https://www.flickr.com/photos/plymouthlibraries/
Sejak mengenal Reading Challenge (Tantangan Membaca) di Sydney, Australia, saya dan istri (Ade Kumalasari) sangat ingin menggagas program serupa di Indonesia. Secara prinsip, program tersebut sebenarnya sederhana. Pemerintah menyediakan daftar bacaan yang direkomendasikan untuk tiap jenjang sekolah. Sekolah membantu menyediakan buku-buku tersebut di perpustakaan. Guru membantu dengan memotivasi siswa dan memandu aktivitas yang mendukung, seperti membaca mandiri, diskusi kelompok, dan membacakan buku di kelas. Siswa yang membaca sejumlah buku dalam setahun akan diberi sertifikat yang ditandatangani oleh gubernur. 

Program Tantangan Membaca kami rasakan sangat membantu untuk membangun kebiasaan membaca pada anak. Anak menjadi tahu bahwa membaca adalah aktivitas yang dihargai oleh orang dewasa di sekitarnya. Mereka menjadi punya kesempatan untuk saling berbagi dengan bacaannya, untuk merasakan nikmatnya berimajinasi tentang dunia fiksi yang mereka baca. Kesempatan semacam ini sangat penting, terutama untuk anak dari keluarga yang tidak punya tradisi membaca yang baik. Kalau ada satu anak saja di tiap kelas yang sebelumnya ogah menyentuh buku, kemudian menjadi suka dan bisa membaca, program semacam ini sudah sangat berguna.


Saturday, February 23, 2013

Belajar tentang Bentuk Bumi: Pengaruh Pengetahuan Intuitif



Sumber: Siegal, Nobes, & Panagiotaki (2011). http://www.nature.com/ngeo/journal/v4/n3/full/ngeo1094.html

Kita kerap berasumsi bahwa siswa tak punya ide atau pengetahuan mengenai topik-topik yang akan mereka pelajari di sekolah. Pikiran siswa kita anggap sebagai kertas kosong yang bisa ditulisi dengan informasi yang akan mereka dapatkan dari guru dan buku-buku. Namun asumsi ini tak sepenuhnya benar. Dari pengalaman sehari-hari mereka, siswa seringkali memiliki ide tentang tentang lingkungan fisik maupun sosial. Yang penting bagi guru, ide-ide ini berpengaruh pada proses belajar-mengajar!

Ilustrasi tentang pentingnya pengetahuan intuitif siswa bisa kita baca dari penelitian Stella Vosniadou, seorang ahli psikologi kognitif, mengenai pemahaman siswa tentang bentuk bumi. Mungkin anda bertanya-tanya, bukankah bentuk bumi adalah pengetahuan yang amat sederhana dan karena itu mudah diajarkan? Kalau ada yang belum tahu tentang bentuk bumi, cukup katakan saja bahwa bumi itu seperti bola! Justru inilah yang menarik dari penelitian Vosniadou: ia menunjukkan bahwa untuk hal sesederhana bentuk bumi, proses belajar siswa ternyata cukup kompleks.

Dalam penelitiannya, Vosniadou (1992) mewawancara siswa kelas satu, tiga dan lima sekolah dasar tentang bentuk bumi. Vosniadou tidak hanya mengajukan pertanyaan “Seperti apa bentuk bumi,” yang akan mudah dijawab dengan jawaban standar mereka hafalkan dari lingkungannya (yakni bahwa bumi itu bulat). Ia melanjutkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang menggali lebih dalam pemahaman siswa, misalnya, “Kalau ada orang berjalan lurus ke depan terus-menerus, dia akan sampai di mana?”, dan “Apakah bumi punya ujung atau tepi?” Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan lanjutan seperti ini, siswa perlu menggunakan pemahaman konseptual mereka tentang bentuk bumi. Vosniadou juga meminta siswa untuk menggambar bumi, kemudian menggambar posisi langit, bintang dan bulan, serta tempat tinggal manusia.

Seperti bisa diduga, hampir semua siswa menjawab bahwa bumi itu bulat atau seperti bola. Mereka juga menggambar bumi sebagai lingkaran. Namun ketika diminta menguraikan, ternyata muncul jawaban-jawaban yang menunjukkan bahwa pemahaman mereka tentang bentuk bumi tidak sepenuhnya sepadan dengan pemahaman ilmiah. Berikut contoh dialog dengan seorang siswa kelas 1:

Peneliti : Kalau kamu berjalan terus mengikuti garis lurus, nantinya akan sampai di mana?
Siswa : Sampai di kota lain.
Peneliti : Kalau berjalan terus?
Siswa : Ya ke kota-kota yang berbeda, terus negara lain. Kalau kamu jalan di sini dan terus berjalan (sambil menunjuk ke pinggir lingkaran yang ia gambar sebagai bumi), kamu akan keluar dari bumi.
Peneliti : Keluar dari bumi?
Siswa : Ya. Di pinggir bumi kamu harus hati-hati.
Peneliti : Karena bisa jatuh dari bumi?
Siswa : Ya, kalau kamu bermain-main di pinggirnya.
Peneliti : Jatuh ke mana?
Siswa : ... ke planet lain.

Bagi siswa dalam dialog di atas, bumi lebih mirip cakram datar yang memiliki pinggir. Pemahaman seperti ini juga tampak pada siswa lain yang menempatkan bintang, bulan dan langit hanya pada bagian “atas” lingkaran yang mereka gambar. Vosniadou juga menemukan model pemahaman selain bumi sebagai cakram. Misalnya, ada siswa yang memahami bumi seperti bola yang separuh kosong, yang di dalamnya ada bidang datar yang dipijak oleh manusia. Ada pula yang memahami bumi seperti bola yang ditekan sehingga bagian “atasnya” menjadi datar. Sekitar separuh dari siswa kelas 3 dan 5 yang tampaknya sudah memahami bumi sebagai bola.

Mengapa banyak siswa yang memiliki pemahaman keliru tentang hal sesederhana bentuk bumi? Hasil penelitian Vosniadou ini mengilustrasikan proses belajar: bahwa proses membentuk pengetahuan baru selalu disetir oleh pengetahuan yang sudah dimiliki. Dalam hal ini, dari pengalaman sehari-hari, anak (dan kita semua) merasakan bumi yang kita pijak sebagai dataran. Ketika diberitahu bahwa bumi itu bulat, maka anak perlu memahaminya dalam kerangka pengetahuan yang sudah dimiliki, yakni bahwa bumi itu datar. Proses ini menghasilkan pemahaman yang menggabungkan pengetahuan awal dan pengetahuan baru, seperti model bumi sebagai cakram, atau bumi yang berongga.

Dengan kata lain, proses belajar tidak seperti menulis di kertas yang kosong, atau sekedar membangun pengetahuan baru. Untuk membangun pengetahuan baru, kadang kita perlu membongkar pengetahuan lama. (Anindito Aditomo, 23 Februari 2013)

Sumber bacaan:
Vosniadou, S. (2007). Conceptual change and education. Human Development, 50, hal. 40-47.
Vosniadou, S. & Brewer, W.F. (1992). Mental models of the earth: a study of conceptual change in childhood. Cognitive Psychology, 24, hal. 535-585.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...