Tuesday, June 9, 2015

Berpikir adalah Melupakan

Melupakan adalah bagian esensial dari proses berpikir dan belajar.
Sumber: http://thisisinfamous.com/wp-content/uploads/2014/08/mad-max-fury-road.jpg

Pikirkan film terakhir yang anda tonton. Apakah itu film yang layak ditonton ulang, atau direkomendasikan pada orang lain? Film terakhir saya adalah Mad Max. Plot ceritanya biasa saja. Endingnya klise, sebagaimana film Hollywood lainnya. Para aktor dan aktrisnya berperan bagus tapi tidak istimewa. Namun demikian, Mad Max adalah film laga (action) yang sungguh ciamik. Saya katakan demikian karena sejak detik pertama, film itu menyuguhkan sajian visual yang luar biasa dan adegan intens yang tak putus-putus. Saya tidak akan ragu merekomendasikannya pada orang yang mencari film laga.

Sebagian pembaca akan setuju dengan simpulan saya tentang Mad Max, dan sebagian lagi tidak. Namun dalam tulisan ini, simpulan tentang Mad Max sekadar contoh dari sebuah mekanisme terkait proses berpikir manusia. Yang ingin saya soroti adalah bahwa seorang pemirsa bisa memikirkan sebuah film yang baru ia tonton, kemudian mengambil simpulan dan meyakini bahwa simpulan itu kuat, meski pun ia tidak mengingat keseluruhan informasi yang disajikan oleh film tersebut.

Sepintas, ini observasi yang biasa saja. Kita memang tidak perlu mengingat setiap detil dari sebuah pengalaman untuk bisa mengambil simpulan tentangnya. Ini sudah banyak disadari orang. Namun yang lebih jarang disadari adalah bahwa melupakan sebagian yang kita alami merupakan syarat dari proses berpikir! Jika dipaksa untuk berusaha mengingat setiap kata, nama karakter, baju, warna, suara dari setiap adegan Mad Max, saya justru akan sulit berpikir dan mengambil simpulan mengenai film itu.

Sumber: http://media.salon.com/2011/11/brain.jpg

Ini berlaku untuk semua jenis pengalaman. Kita tidak mengalami dunia atau realitas seperti apa adanya. Kita mengalami realitas yang telah disederhanakan oleh sistem persepsi dan kognisi kita. Otak kita menyaring dan melupakan sebagian besar informasi yang sempat “memasuki” indera-indera, sehingga dapat melihat pola dan mengambil simpulan. Pikiran kita justru tidak akan berfungsi dengan baik jika harus memerhatikan semua informasi “mentah” yang memasuki indera. Ini mekanisme dasar dalam proses berpikir.

Sayangnya, sistem pendidikan kerap mengabaikan mekanisme-mekanisme kognitif dasar seperti ini. Guru dan sekolah berharap siswa menguasai semua deskripsi, konsep, teori, metode, dan informasi lain yang ada di kurikulum. Pemikirannya kira-kira begini: informasi yang ada di kurikulum tentu sudah diseleksi oleh para ahli, dan karena itu perlu dipahami oleh siswa. Karena itu pula tes dan ujian dirancang untuk mencakup keseluruhan materi yang ada di kurikulum. Namun ini sama saja dengan meminta seseorang untuk menghafal setiap detil dari film yang baru ia saksikan.

Menjejali siswa dengan keluasan informasi sama saja mencegah mereka untuk memilah informasi, melihat pola, mengambil simpulan, dan memberi penilaian (judgment). Pendek kata, mencegah mereka berpikir. Saya perjelas: pendidikan macam ini bukan saja tidak mengajarkan cara berpikir. Lebih parah dari itu, pendidikan tersebut mengerdilkan kemampuan berpikir anak-anak kita.



No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...