Thursday, February 5, 2015

Kenangan yang Bias

Ingatan kita tentang pengalaman di masa lalu tidaklah objektif.
Sumber foto: http://brainpages.org/wp-content/uploads/2013/02/memory-loss.jpg

Daniel Kahneman, ahli psikologi kognitif penerima Nobel ekonomi, pernah melakukan survei yang unik. Ia mendampingi pasien-pasien yang sedang menjalani kolonoskopi, prosedur medis untuk melihat bagian dalam dari usus dengan cara memasukkan kamera melalui dubur. Setiap beberapa detik ia meminta mereka melaporkan tingkat rasa sakit yang dialami dalam skala rasa sakit nol sampai sepuluh. Tidak seperti sekarang, pada zaman itu kolonoskopi masih dilakukan tanpa anastesi penuh. Bisa dibayangkan betapa tidak menyenangkan prosedur tersebut!

Segera setelah menjalani kolonoskopi, Kahneman meminta tiap pasien menilai seberapa menyakitkan prosedur tersebut secara keseluruhan. Dengan kata lain, Kahneman ingin mengetahui ingatan subjektif tentang totalitas dari pengalaman tidak menyenangkan yang baru saja dialami seseorang. Pertanyaan yang ingin dijawab Kahneman adalah apa yang memprediksi ingatan tentang seberapa menyakitkan sebuah pengalaman.

Karena proses kolonoskopi tiap pasien berbeda-beda durasinya, kita mungkin menduga bahwa ingatan tentang totalitas rasa sakit akan tergantung pada seberapa lama seorang pasien mengalami prosedur tersebut. Sebagai contoh, dalam grafik berikut tampak bahwa pasien A menjalani kolonoskopi selama 15 menit, sedangkan pasien B hanya 5 menit. Puncak rasa sakit yang mereka rasakan juga mirip.



Dalam grafik ini, totalitas rasa sakit yang dialami tiap pasien selama proses tercermin dari luas area terarsir. Dengan demikian, kita tentu akan menduga bahwa pasien A dalam akan memiliki ingatan yang jauh lebih buruk mengenai kolonoskopi dibanding pasien B. Tapi temuan Kahneman berbicara lain. Ingatan seseorang tentang pengalaman mereka ternyata tidak tergantung pada durasinya. Yang jauh lebih berpengaruh adalah puncak rasa sakit, serta rasa sakit yang dialami sesaat sebelum pengalaman tersebut berakhir.

Dengan demikian, meski pasien A menjalani kolonoskopi yang jauh lebih lama, rata-rata antara puncak rasa sakitnya (skor 8) dan rasa sakit sesaat sebelum berakhir (skor 2) adalah 5. Puncak rasa sakit pasien B juga 8, namun hal ini terjadi persis sebelum prosedur berakhir. Meski ia menjalani prosedurnya hanya 5 menit, dan mengalami total rasa sakit yang  jauh lebih sedikit, pasien inilah yang membawa ingatan lebih buruk tentang pengalaman tersebut.

Penelitian unik ini menggambarkan bahwa ingatan kita atas sebuah pengalaman tidak mencerminkan kejadian “objektifnya”. Pikiran manusia memiliki mekanisme-mekanisme yang membiaskan ingatan tentang pengalaman. Penelitian Kahneman mengungkap dua mekanisme kognitif: “efek puncak-dan-akhir” dan “efek pengabaian durasi.”

Seperti berbagai mekanisme kognitif lain, keduanya bekerja secara otomatis pada berbagai konteks. Misalnya, seorang penonton akan cenderung membawa kenangan buruk tentang film yang memiliki adegan penutup yang mengecewakan, meski film tersebut memiliki alur cerita yang cerdas dan kualitas akting yang hebat. Mungkin adegan penutup yang mengecewakan itu hanya beberapa menit, namun hal itu bisa merusak pengalaman menonton dua jam sebelumnya. Pewawancara yang kurang awas akan mudah terperdaya oleh pengaruh kesan terakhir. Ia akan lebih menyukai pelamar kerja yang menjawab dengan standar untuk sebagian besar pertanyaan namun memungkasi dengan baik, daripada pelamar lain yang dengan gemilang melewati sebagian besar pertanyaan namun terbata-bata pada pertanyaan terakhir.

Bias dalam pembentukan ingatan ini tampaknya disadari oleh sebagian politisi. Dari masa jabatan seorang pejabat publik, yang paling membentuk kesan – dan karenanya menentukan pilihan pada pemilu – adalah apa yang terjadi pada minggu atau bulan-bulan terakhirnya. Seorang pejabat yang selama lima tahun masa kepemimpinannya tidak berprestasi bisa menciptakan kesan yang positif dengan program populer yang digembar-gemborkan sesaat sebelum pemilu berikutnya.




1 comment:

  1. pak nino kalau dengan pendekatan 2 factor theory dengan evolutianary emotional theory, emosional mendahului proses berpikir, jadi dapat dimungkinkan, dimana otak yang merespon fight or flight karena insting bertahan hidup, yang kemudian neuron system melepas hormon stress, yang juga meningkatnya denyut jantung dan pernapasan yang menyebabkan meningkatnya blood pressure, sehingga proses BOLD (Blood oxygenete level depent) meningkat, yang menyebabkan darah yang membawa senyawa kimiawi keotak beredar lebih cepat melewati prefrontal cortex area berpikir logika,karena proses mental organisme yang kemungkinan tidak terlatihnya organisme dengan stress secara episodic, yang disebut dengan shock. yang kemudian masuk dalam ruang cingulate gyrus, kemudian mempengaruhi system lymbic emosional seseorang, yang kemudian ditransferkan melewati amygadala ke temporal lobes tempat memorizing. sehingga proses penyimpanan informasi cepat akibat darah tanpa adanya proses kognitif.

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...