Friday, August 21, 2015

Guru yang Patah Arang


Dalam sebuah esai, Rosa Nam, seorang guru bahasa Inggris SMA di Houston, Amerika, berkisah tentang mengapa ia memilih berhenti mengajar. Esai sungguh jujur dan "nendang". Mengajar, menurut Rosa, bisa membuat orang sakit jiwa. 

Pertanyaannya tentu, mengapa ada guru yang frustrasi, patah arang, dan memilih mencari profesi lain? Dan apa solusinya? Sebagian akan mencari jawabannya pada guru sebagai individu. Guru harus diperkuat mentalnya. Dibekali dengan teknik manajemen kelas yang lebih ampuh. Dilatih supaya menguasai metode belajar yang lebih menarik. Dan seterusnya.


Secara implisit, jawaban ini menyalahkan guru. Guru frustrasi dan depresi karena defisiensinya sendiri. Namun kasus Rosa mematahkan asumsi ini. Rosa adalah guru yang idealis dan kompeten. Episode yang diceritakan di esainya juga menunjukkan bahwa Rosa guru yang reflektif dan cukup rendah hati untuk mengoreksi diri. Ia menyiapkan pelajaran dengan seksama. Ia bukan guru yang kurang kompeten. Justru sebaliknya.

Ini membawa saya pada dugaan yang agak menyedihkan: justru guru-guru idealis dan kompeten seperti Rosa-lah yang lebih mungkin meninggalkan profesi mengajar. Mengapa? Di satu sisi, guru yang idealis ingin mengajar dengan baik. Mereka ingin meluangkan waktu untuk menyiapkan materi dan berinovasi. Dalam sistem yang ada, justru keinginan seperti itu tidak mendapat tempat.

Di sisi lain, kompetensi yang tinggi pada guru idealis membuat mereka cukup percaya diri untuk memulai karir baru. Justru guru dengan kemampuan terbatas yang bertahan di sekolah karena tidak ada kesempatan lain. Ini yang disebut sebagai adverse selection: proses seleksi yang justru menyisakan kandidat-kandidat yang kurang baik.

Jadi, solusi yang lebih mendasar ada pada perombakan sistem, bukan sekedar upaya meningkatkan kapasitas guru sebagai individu. Di Indonesia, salah satu elemen paling penting, Ujian Nasional, sudah berkurang daya rusaknya (meski masih perlu dirombak lebih lanjut). Kesejahteraan finansial sebagian guru juga sudah meningkat. Tapi itu saja tidak cukup.
Kira-kira apa lagi yang perlu dirombak, agar guru-guru idealis merasa nyaman bekerja dan bisa "thrive", tidak hanya berusaha "survive"?

===

Sumber gambar: 
http://resources3.news.com.au/images/2011/04/07/1226035/574339-teacher-stress.jpg

Esai Rosa Nam: 
http://www.edweek.org/tm/articles/2015/04/06/why-im-calling-it-quits-after-six.html

1 comment:

  1. “Jadi guru itu tidak usah punya niat bikin pintar orang. Nanti
    kamu hanya marah-marah ketika melihat muridmu tidak
    pintar. Ikhlasnya jadi hilang. Yang Penting niat menyampaikan
    ilmu dan mendidik yang baik. Masalah muridmu kelak jadi
    pintar atau tidak, serahkan kepada Allah. Didoakan saja terus
    menerus agar muridnya mendapat hidayah.” KH. Maimun Zubair

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...