Wednesday, August 19, 2015

Memutus Lingkaran Setan Nir-literasi


Beberapa waktu yang lalu kementerian pendidikan dan kebudayaan meluncurkan gerakan literasi nasional. Sekolah diminta memberi waktu 15 menit bagi siswa untuk membaca bebas, sebelum jam pelajaran berlangsung. Tapi cukupkah 15 menit? Bagi yang skeptis, hal ini bisa dipandang sebagai gimmick saja. Kebijakan yang manis tapi minim dampak. 

Saya sendiri menaruh harapan pada program ini. Dalam literatur tentang literasi, ada yang disebut sebagai Matthew effect. Intinya, perbedaan kecil dalam kebiasaan dan kemampuan membaca seseorang ketika masih kecil bisa berdampak besar di kemudian hari. 
Matthew effect ini terjadi karena beberapa "positive feedback loop" atau mekanisme yang menguatkan kesenjangan yang awalnya kecil. Misalnya, membaca memperkaya kosakata karena kita bisa menyimpulkan arti kata dari konteks cerita. Kosakata yang semakin kaya memudahkan membaca teks-teks baru, yang kemudian semakin memperkaya lagi perbendaharaan kata, dan seterusnya. Mekanisme ini berlaku bukan saja untuk kosakata, tapi juga untuk pengetahuan tentang topik dan struktur teks.

Selain itu, semakin sering membaca, seseorang akan semakin merasa sebagai "seorang pembaca" dan juga merasa "bisa membaca". Dengan kata lain, membaca membentuk konsep diri sekaligus efikasi diri. Keduanya sangat penting terutama ketika seseorang menghadapi bacaan yang terasa sulit. Seseorang yang memiliki identitas sebagai "seorang pembaca" akan lebih mau bertahan dan meneruskan bacaan yang sulit. Ini menguatkan konsep diri dan efikasi dirinya sebagai pembaca, yang membuatnya lebih mau bertahan membaca bacaan sulit, dan seterusnya.

Itu lingkaran kebaikannya. Di sisi lainnya ada lingkaran setan nir-literasi. Anak yang jarang membaca juga jarang berkesempatan menambah kosakata dan pengatahuan tentang struktur tes. Strategi membaca juga tidak berkembang, pun demikian dengan identitas dan efikasi dirinya sebagai pembaca. Semakin stagnan kosakata, pengetahuan, identitas, dan efikasi diri, semakin enggan ia membaca, dan seterusnya.

Jadi, bila dimanfaatkan dengan baik, 15 menit bisa membaca dampak yang besar di masa depan. Bagi sebagian siswa, apa yang mereka lakukan dalam 15 menit itu bisa memutus lingkaran setan nir-literasi.

Dengan demikian, pertanyaan yang lebih penting untuk dijawab adalah bagaimana cara menggunakan waktu tersebut dengan efektif? Dan seberapa banyak sekolah yang bisa melakukannya? Atau lebih tepatnya, apa yang diperlukan sekolah untuk bisa memanfaatkan 15 menit tersebut dengan maksimal? Ini PR buat kemdikbud dan para peneliti pendidikan.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...