Thursday, September 10, 2015

MOOC Membuka Pendidikan untuk Semua?

Bus Damri yang saya tumpangi dari bandara perlu hampir 2 jam untuk mencapai gedung Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Seperti biasa, ada beberapa titik macet yang membuat waktu tempuh lebih panjang dibanding seharusnya. Untunglah saya sampai di tujuan sebelum rapat dimulai.

Apapun, 2 jam adalah waktu yang berharga bila hanya digunakan untuk melamunkan nasib. Untunglah sinyal mobile sepanjang perjalanan cukup kuat dan kuota data internet di ponsel saya juga masih tersisa. Saya pun memanfaatkan waktu untuk melanjutkan kuliah Think Again: How to Reason and Argue, sebuah MOOC berdurasi 12 minggu yang dipandu oleh dua profesor filsafat dari Duke University. Ini adalah mingu ke-3 dalam kursus tersebut. 


Think Again: How to Reason and Argue adalah MOOC entah ke berapa yang saya ikut. Dan sejujurnya, saya sudah tidak ingat MOOC apa saja yang pernah saya ikuti. Setiap kali melihat laman Coursera, EdX, dan sekarang Futurelearn, saya seperti anak kecil yang berada di toko permen yang super lengkap. Seringkali, saya akan menekan tombol “Join course” dengan impulsif, tanpa memikirkan seberapa penting materinya, atau seberapa banyak waktu yang bisa saya luangkan untuk mengikutinya.

Yang memalukan adalah, saya tidak menamatkan satu pun dari sekian banyak MOOC yang saya ikuti. Selama ini paling banter saya hanya bisa mengikuti sekitar 80% materi video dalam sebuah kursus, tanpa mengerjakan tugas. Kursus itu berjudul “Questionnaire Design for Social Survey”. Saya mengikutinya untuk mencari inspirasi untuk kuliah serupa yang saya asuh di Ubaya. Selain kursus tersebut, saya hanya mencicipi dua atau tiga video.

Jadi kalau ukuran dari keberhasilan adalah mendapatkan sertifikat kelulusan dari penyelenggara kursus, saya telah gagal total. 100% failure rate! Yang sedikit menghibur adalah bahwa rata-rata tingkat kelulusan MOOC, secara global, juga sangat rendah. Setidaknya saya bukan satu-satunya orang yang besar pasak daripada tiang, eh, nafsu besar tapi tenaga kurang dalam hal urusan per-MOOC-an ini!

Tingkat kelulusan rendah ini sebenarnya tidak mengejutkan. Situasi pembelajaran mandiri seperti MOOC menuntut motivasi intrinsik yang tidak hanya tinggi, tapi terjaga tinggi. Ini sama sekali tidak mudah. Dalam MOOC, hampir tidak ada penalti bagi penunda-nundaan dan kemalasan. Tidak ada guru yang marah bila kita terlambat mengikuti kelas, atau berbicara sendiri ketika menyimak ceramahnya. Tidak ada tekanan atau insentif sosial: tidak ada rekan yang mengingatkan bila kita tertinggal, tidak ada pula kesenangan bertemu teman yang kita dapatkan dari kuliah konvensional. Bila kita mengikuti versi yang gratis, tidak ada konsekuensi finansial jika kita memutuskan untuk berhenti mengikuti kursus.

Memperparah keadaan ini, sebagian besar peserta MOOC (saya duga) sudah memiliki tanggung jawab besar lain, seperti pekerjaan, keluarga, atau sekolah konvensional. Wajar bila pekerjaan kantor, rumah, dan sekolah hampir selalu dimenangkan atas pengerjaan tugas-tugas MOOC.

Ini membuat saya merasa ragu akan klaim bahwa MOOC bisa men-demokratis-kan pendidikan tinggi secara revolusioner. Yang diuntungkan oleh MOOC adalah mereka yang terbiasa mengelola motivasi, yang sudah paham cara membaca buku, mendengar ceramah, dan memanfaatkan forum-forum diskusi. Bila MOOC hanya menguntungkan mereka yang memang sudah unggul di sekolah konvensional, ia akan gagal memperluas akses bagi mereka yang justru lebih perlu dibantu.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...