Friday, August 21, 2015

Guru yang Patah Arang


Dalam sebuah esai, Rosa Nam, seorang guru bahasa Inggris SMA di Houston, Amerika, berkisah tentang mengapa ia memilih berhenti mengajar. Esai sungguh jujur dan "nendang". Mengajar, menurut Rosa, bisa membuat orang sakit jiwa. 

Pertanyaannya tentu, mengapa ada guru yang frustrasi, patah arang, dan memilih mencari profesi lain? Dan apa solusinya? Sebagian akan mencari jawabannya pada guru sebagai individu. Guru harus diperkuat mentalnya. Dibekali dengan teknik manajemen kelas yang lebih ampuh. Dilatih supaya menguasai metode belajar yang lebih menarik. Dan seterusnya.

Thursday, August 20, 2015

Be Careful of What You Read!




Secara umum, frekuensi membaca memprediksi perkembangan berbahasa dan kemampuan mencerna bacaan di kemudian hari. Tapi apakah membaca komik punya dampak yang sama dengan membaca novel? Bagaimana dengan membaca berita online, media sosial, dan blog?

Menurut sebuah penelitian longitudinal di Jerman, tiap jenis bacaan punya dampak yang berbeda (Pfost, Dorfler, & Artelt, 2013). Bacaan yang berdampak positif dan cukup besar adalah fiksi seperti novel dan cerpen. Komik, majalah, dan buku non-fiksi juga berdampak positif namun lebih lemah. 


Wednesday, August 19, 2015

Memutus Lingkaran Setan Nir-literasi


Beberapa waktu yang lalu kementerian pendidikan dan kebudayaan meluncurkan gerakan literasi nasional. Sekolah diminta memberi waktu 15 menit bagi siswa untuk membaca bebas, sebelum jam pelajaran berlangsung. Tapi cukupkah 15 menit? Bagi yang skeptis, hal ini bisa dipandang sebagai gimmick saja. Kebijakan yang manis tapi minim dampak. 

Saya sendiri menaruh harapan pada program ini. Dalam literatur tentang literasi, ada yang disebut sebagai Matthew effect. Intinya, perbedaan kecil dalam kebiasaan dan kemampuan membaca seseorang ketika masih kecil bisa berdampak besar di kemudian hari. 

Sunday, August 16, 2015

Perlukah Guru Meneliti?

Benarkah guru harus meneliti dan mempublikasikan hasilnya di jurnal ilmiah?
Sumber gambar: http://ierf.org/images/uploads/research_grants_ind1.jpg

Seorang ketua organisasi guru baru-baru ini mencetuskan bahwa guru seharusnya tidak dibebani kewajiban untuk meneliti. Pendapat ini adalah protes terhadap peraturan menteri pendidikan yang menetapkan publikasi karya ilmiah sebagai syarat untuk kenaikan pangkat guru. Persyaratan ini seharusnya gugur, menurut argumen pak ketua, karena undang-undang yang melandasi peraturan menteri tersebut tidak menyebutkan penelitian sebagai bagian dari tugas guru. 

Argumen pak ketua sepintas tampak seperti sasaran empuk untuk dikritik balik. Tentu saja guru harus meneliti. Guru adalah tenaga profesional, bukan buruh atau pekerja manual. Guru harus inovatif dan tidak sekedar menjalankan pengajaran sebagai tugas rutin semata. Keberatan atas persyaratan meneliti dan membuat publikasi ilmiah itu hanya menunjukkan kemalasan dan inkompetensi. Itu alasan yang hanya pantas diajukan guru yang belum bertransformasi menjadi tenaga profesional. 

Saturday, August 15, 2015

Menyongsong Gelombang MOOC


Teknologi telah memungkinkan pengalaman belajar yang kaya tanpa harus bertatap muka.
Sumber: http://www.torrington.info/uploads/1/9/0/5/19057235/__757786166.jpg

Pendidikan tinggi seperti apa yang bisa anda dapatkan dengan uang 5 juta rupiah? Untuk sebagian besar orang, uang sebesar itu hanya cukup untuk membayar biaya kuliah satu atau dua semester di universitas yang kualitasnya belum tentu terjamin. Tapi itu di masa lalu. Sekarang, melalui MOOCs, 5 juta rupiah bisa memberi anda tiket mengikuti serangkaian mata kuliah dan mendapat sertifikat kompetensi spesifik dari universitas-universitas terbaik di dunia.

Secara harafiah, MOOC berarti kuliah daring (online) yang terbuka dan masif. Terbuka karena siapapun yang punya akses internet bisa mengikutinya. Tidak ada prasyarat formal apa pun. Tidak perlu bukti ijazah, bukti nasionalitas, usia, visa, dll. Masif dalam arti bisa menampung ratusan ribu siswa secara simultan. Sebagai gambaran, 154.763 orang dari 194 negara mendaftarkan diri ketika MIT menawarkan MOOC pertamanya (“Circuits and Electronics”) pada tahun 2011. Jumlah yang fantastis, terutama bila kita bandingkan dengan daya tampung yang ditawarkan kelas-kelas tradisional.


Sunday, July 5, 2015

Perlukah Guru Meneliti?

Oleh: Anindito Aditomo


Seorang ketua organisasi guru baru-baru ini mencetuskan bahwa guru seharusnya tidak dibebani kewajiban untuk meneliti. Pendapat ini adalah protes terhadap peraturan menteri pendidikan yang menetapkan publikasi karya ilmiah sebagai syarat untuk kenaikan pangkat guru. Persyaratan ini seharusnya gugur, menurut argumen pak ketua, karena undang-undang yang melandasi peraturan menteri tersebut tidak menyebutkan penelitian sebagai bagian dari tugas guru.
 
Argumen pak ketua sepintas tampak seperti sasaran empuk untuk dikritik balik. Tentu saja guru harus meneliti. Guru adalah tenaga profesional, bukan buruh atau pekerja manual. Guru harus inovatif dan tidak sekedar menjalankan pengajaran sebagai tugas rutin semata. Keberatan atas persyaratan meneliti dan membuat publikasi ilmiah itu hanya menunjukkan kemalasan dan inkompetensi. Itu alasan yang hanya pantas diajukan guru yang belum bertransformasi menjadi tenaga profesional.
 
Semua itu betul. Tapi di sisi lain, pendapat pak ketua di atas tak sepenuhnya keliru. Guru memang profesional. Namun apakah itu berarti guru harus meneliti dan melakukan publikasi ilmiah? Mari kita bandingkan dengan dokter dan insinyur, untuk menyebut dua profesi yang memiliki landasan keilmuan kokoh. Apakah seorang dokter harus meneliti dan menulis artikel ilmiah untuk bisa menangani pasien? Apakah seorang insinyur musti meneliti dan publikasi agar bisa membangun jembatan atau membuat perangkat teknologi? Tidak juga, kan? 
 
Sebagai profesional, dokter dan insinyur yang baik harus terus memutakhirkan pengetahuannya dengan membaca literatur ilmiah di bidangnya. Tapi ini berbeda dari melakukan penelitian sendiri. Jika demikian, mengapa guru harus meneliti dan menulis artikel ilmiah? Apa yang membuat profesi guru berbeda dari profesi-profesi lain seperti dokter dan insinyur? Bagaimana menurut anda?

Tuesday, June 9, 2015

Berpikir adalah Melupakan

Melupakan adalah bagian esensial dari proses berpikir dan belajar.
Sumber: http://thisisinfamous.com/wp-content/uploads/2014/08/mad-max-fury-road.jpg

Pikirkan film terakhir yang anda tonton. Apakah itu film yang layak ditonton ulang, atau direkomendasikan pada orang lain? Film terakhir saya adalah Mad Max. Plot ceritanya biasa saja. Endingnya klise, sebagaimana film Hollywood lainnya. Para aktor dan aktrisnya berperan bagus tapi tidak istimewa. Namun demikian, Mad Max adalah film laga (action) yang sungguh ciamik. Saya katakan demikian karena sejak detik pertama, film itu menyuguhkan sajian visual yang luar biasa dan adegan intens yang tak putus-putus. Saya tidak akan ragu merekomendasikannya pada orang yang mencari film laga.

Sebagian pembaca akan setuju dengan simpulan saya tentang Mad Max, dan sebagian lagi tidak. Namun dalam tulisan ini, simpulan tentang Mad Max sekadar contoh dari sebuah mekanisme terkait proses berpikir manusia. Yang ingin saya soroti adalah bahwa seorang pemirsa bisa memikirkan sebuah film yang baru ia tonton, kemudian mengambil simpulan dan meyakini bahwa simpulan itu kuat, meski pun ia tidak mengingat keseluruhan informasi yang disajikan oleh film tersebut.

Saturday, June 6, 2015

Pelajaran Sains, Apa Gunanya?



Pendidikan sains seharusnya menumbuhkan kemampuan berpikir ilmiah, bukan menanamkan pengetahuan.
Sumber foto: http://www.htxt.co.za/wp-content/uploads/2014/07/ScienceEducation.png

Apa kegunaan dari berbagai materi yang dipelajari di sekolah? Untuk literasi tingkat dasar, jawabannya gampang. Pelajaran-pelajaran tersebut berguna secara luas. Semua siswa akan memerlukan keterampilan membaca, menulis dan berhitung dalam kehidupan sehari-harinya. “Keluasan aplikasi” dan “kegunaan praktis” memang bisa menjadi justifikasi untuk pelajaran-pelajaran di tingkat SD, paling tidak sampai kelas 3 atau 4. Namun apakah justifikasi yang sama berlaku untuk pelajaran-pelajaran pada tingkat yang lebih tinggi?


Sebagai contoh, ambillah pelajaran sains atau ilmu pengetahuan alam (IPA). Sains dianggap sebagai mata pelajaran penting dalam kurikulum banyak (atau semua?) negara modern. Tapi sebenarnya, apa tujuan pendidikan sains? Mengapa setiap siswa harus memelajari, misalnya saja, pengukuran suhu dalam skala Celcius, Fahrenheit, Reamur dan Kelvin? Atau mengenai mekanisme fotosintesis pada tumbuhan, atau tentang proses replikasi DNA? 

Saturday, April 18, 2015

Ujian dan Kemampuan Bernalar

Sabtu pagi mencari bahan untuk mahasiswa bimbingan, malah nemu artikel tentang dampak ujian terstandar pada hasil belajar dan motivasi siswa. Riset tentang hal itu sudah banyak, tapi yang ini istimewa dari segi kualitas metode. Para penelitinya menganalisis data longitudinal pada sampel yang mewakili seluruh siswa di Jerman. Para siswa dites literasi/penalaran matematika dan penguasaan materi kurikulum di kelas 9, dan diulang lagi di kelas 10. Mereka juga diminta melaporkan motivasi dan pengalaman emosionalnya terkait sekolah. 

Pada saat data dikumpulkan, sebagian negara bagian di Jerman menetapkan ujian akhir yang terstandar ("central exit exam"), sebagian lagi tidak. Dengan demikian, para peneliti dapat membandingkan pengaruh ujian akhir pada hasil belajar, baik yang kognitif maupun motivasional. 


Thursday, April 2, 2015

Metode "Experience Sampling" untuk Riset Pendidikan

Oleh: Anindito Aditomo

Kemarin sore salah satu jurnal bidang pendidikan favorit saya datang. Terlambat dua bulan, memang. Namun tak mengapa. Jurnal tersebut selalu berisi pemikiran dari orang yang mumpuni di bidangnya, dan yang biasanya juga pandai menulis. Hasilnya adalah sajian yang menginspirasi. 

Tulisan ini akan merangkumkan artikel pertama yang dimuat dalam edisi ini dari jurnal tersebut (Zikel, Garcia, & Murphy, 2015). Topiknya adalah experience sampling method (ESM). Saya belum menemukan padanan istilah yang pas. Terjemah harafiahnya, “Metode Penyuplikan Pengalaman”, malah membuat telinga risih. Jadi untuk sementara saya akan gunakan singkatan dari istilah aslinya saja.

Apa itu ESM? Pada intinya, ESM adalah cara untuk mendapatkan gambaran tentang pengalaman seseorang pada saat ia mengalaminya. “Pengalaman” di sini diartikan secara luas, meliputi pikiran, perasaan, perilaku, serta situasinya. Aspek spesifik mana dari pengalaman yang hendak diukur tentu tergantung tujuan penelitian. Yang penting, ESM hendak melihat pengalaman in situ, dalam konteks nyata, dalam kehidupan sehari-hari responden. 

Ini yang membedakannya dari metode-metode lain. Metode survei, misalnya, meminta responden untuk merefleksikan dan melaporkan pengalaman mereka yang telah lampau. Survei dan juga eksperimen menempatkan responden dalam situasi riset (wawancara, mengisi kuesioner, menjawab telpon, melakukan aktivitas di lab) yang berbeda dari kehidupan sehari-hari responden .

Sebagai contoh, bayangkan seorang peneliti yang tertarik mengetahui pengalaman emosional siswa SMP/SMA saat mengikuti mata pelajaran yang berbeda-beda, dan apakah pengalaman emosional tersebut berdampak pada pilihan kuliah dan karir mereka selanjutnya. Bila menggunakan ESM, peneliti akan meminta siswa melaporkan emosi-emosi yang dirasakan setelah mengikuti sebuah pelajaran. 

Sepintas ini mirip dengan survei tradisional, karena menggunakan kuesioner tertulis. Namun kunci ESM ada pada pengukuran yang kontekstual. Dengan ESM, peneliti akan mengukur pengalaman emosional siswa saat pengukuran itu berlangsung. Peneliti tidak meminta responden untuk mengingat-ingat, misalnya saja, seberapa sering ia merasakan sebuah emosi dalam beberapa minggu terakhir. Konsekuensinya, untuk melihat pengalaman emosional siswa terkait mata pelajaran yang berbeda, peneliti harus mengikuti siswa dari satu kelas ke kelas yang lain. Dengan kata lain, ESM melibatkan pengukuran berulang pada responden yang sama. Karena itu ESM disebut juga sebagai penelitian longitudinal intensif.

Dengan kemajuan teknologi - terutama tablet dan ponsel pintar yang terkoneksi internet - peneliti ESM bisa mengukur berbagai aspek pengalaman, tidak hanya laporan diri (self report) verbal menggunakan kuesioner. Berikut beberapa yang dicontohkan dalam artikel Zikel dkk. (2015). Ahli kesehatan bisa meminta responden memotret makanan yang mereka konsumsi. Ini memungkinkan mereka mengukur berbagai hal yang terkait mungkin memengaruhi keberhasilan diet, seperti kandungan dan jumlah nutrisi, waktu dan frekuensi makan, dll. Peneliti juga bisa meminta responden mengenakan sensor gerak, sehingga bisa memonitor kapan, di mana, dan seberapa lama seseorang beraktivitas fisik.

Banyak potensi kegunaan ESM. Sayangnya metode ini masih sangat jarang digunakan dalam penelitian pendidikan, dan relatif jarang digunakan di ilmu sosial dan perilaku lain. Peneliti psikologi, misalnya, masih lebih senang menggunakan kuesioner dan laporan verbal untuk mengukur berbagai hal, termasuk yang sebenarnya lebih cocok diukur melalui jejak perilaku atau instrumen lain.

Referensi: Zirkel, S., Garcia, J.A., & Murphy, M.C. (2015). Experience-sampling research methods and their potential for education research. Educational Researcher, 44(1), 7-16.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...