Saturday, April 30, 2016

Insting Bahasa dan Kesenjangan Akademik

The Language Instinct (Steven Pinker, 1994) adalah salah satu dari sekian banyak buku yang saya beli semata karena tidak tahan melihat buku (yang sepertinya) bagus dan dijual dengan harga obral. Pagi tadi secara kebetulan saya menemukannya lagi ketika membongkar almari untuk mencari buku lain. Membaca beberapa bab awal membuktikan bahwa insting saya waktu membelinya tidak keliru. Ini memang buku bagus. Kok nggak dari dulu saya baca ya, hahaha.

Karya ahli psikolog dari Harvard University ini bercerita tentang tentang kemampuan berbahasa. Bagi Steven Pinker bahasa, pertama dan terutama, merupakan produk dari biological make-up kita sebagai spesies. Pinker tidak bermaksud menyangkal adanya pengaruh budaya pada bahasa. Yang ia maksud adalah bahwa bahasa tumbuh dari "predisposisi" alias kesiapan biologis setiap manusia normal. Bayi manusia memiliki bakat alami untuk dengan cepat menyerap dan kemudian menggunakan struktur dari bahasa lisan yang digunakan oleh orang lain di sekitarnya.

Pandangan ini sebenarnya tidak baru atau mengejutkan. Noam Chomsky, sang begawan dari MIT, telah mengungkapkan hal tersebut dengan sangat meyakinkan pada 1960an. Dan memang, gagasan-gagasan Chomsky setengah abad yang lalu itu turut melahirkan bidang interdisipliner bernama ilmu-ilmu kognitif (cognitive sciences). Yang tadinya merupakan gagasan revolusioner dan ditentang oleh status quo keilmuan, sekarang ditekuni oleh ribuan ilmuwan. Buku Steven Pinker ini merupakan rajutan temuan ilmiah tentang bahasa yang dihasilkan oleh ilmuwan dari berbagai disiplin.

Di sini saya hanya mengulas salah satu poin menarik Pinker berdasarkan temuan-temuan dari bidang antropologi. Para antropolog, menurut Pinker, belum pernah menemukan komunitas atau kelompok manusia yang TIDAK memiliki bahasa. Setiap suku terpencil yang pernah dijumpai manusia modern memiliki bahasa. Bukan itu saja. Yang penting dicatat adalah bahwa bahasa yang dimiliki suku-suku terpencil itu ternyata sama kompleksnya dengan bahasa yang digunakan masyarakat modern. Ini menunjukkan bahwa bahasa bukan semata produk peradaban modern.

Berangkat dari kenyataan itu, Pinker menyatakan bahwa tidak ada bahasa yang inferior atau superior. Pandangan ini punya implikasi penting untuk pendidikan. Di Amerika dan negara berbahasa Inggris, siswa dari keluarga miskin kerap dianggap punya kemampuan berbahasa yang inferior. Tata bahasa (grammar) yang mereka gunakan kacau balau. Kosakata mereka lebih terbatas dan kurang canggih. Dan karena itulah banyak siswa miskin yang perkembangan literasinya terhambat. Mereka lebih sering menemui kesulitan dalam membaca dan menulis dibanding siswa dari keluarga berada.

Bila bahasa merupakan produk insting yang universal, sebagaimana dikatakan Pinker, maka ketertinggalan akademik siswa miskin tadi bukan karena karena mereka lebih rendah kecerdasan berbahasanya. Pinker menceritakan penelitian William Labov tentang bahasa (lisan) anak muda kulit hitam di Harlem. Labov menemukan bahwa bahasa anak muda kulit hitam - yang secara umum miskin dan jarang berhasil secara akademik - memiliki grammar tersendiri yang tidak kalah sistematis atau rasionalnya dibanding bahasa Inggris "standar".

Dengan demikian, kesulitan akademik siswa miskin, seperti anak-anak muda kulit hitam dari Harlem tersebut, adalah karena mereka harus menggunakan bahasa yang berbeda di sekolah. Bayangkan kalau anda harus menggunakan bahasa asing di sekolah. Atau jika semua buku pelajaran anda ditulis dalam bahasa asing.

Dus, bisa dikatakan bahwa salah satu sumber kesenjangan akademik adalah penggunaan bahasa yang kebetulan dikuasai oleh kelompok masyarakat tertentu. Jadi bagaimana seharusnya? Entahlah. Saya menduga bahwa kesenjangan akademik di Indonesia tidak terlalu dipengaruhi oleh perbedaan bahasa, seperti halnya di Amerika dan dunia berbahasa Inggris. Meski begitu, ada baiknya orang tua dan pendidik merenungkan ajakan bijak Nelson Mandela agar berusaha untuk berbicara dalam bahasa anak-anak dan siswa kita, atau setidak-tidaknya, berbicara dalam bahasa yang mereka mengerti.


Thursday, March 31, 2016

Objektivitas Sains dan Nilai-nilai Moral



== Dalam “Science, Truth, and Democracy” (2001), filsuf sains Philip Kitcher menjabarkan visinya tentang peran yang seharusnya dimainkan sains dalam masyarakat demokratis. Ini adalah bagian dari catatan dan tanggapan saya dalam membaca bab pengantar dari karya tersebut. ==

Mengawali diskusinya tentang sains dan demokrasi, Kitcher (2001) menjabarkan dua imaji atau angan-angan mengenai sains. Dalam imaji yang pertama, sains adalah puncak pencapaian peradaban manusia. Sains modern membebaskan manusia dari berbagai tahayul dan dogma lama yang mengukung rasionalitas. Petir yang menyambar bukan lagi pertanda Zeus atau dewa Indra yang sedang murka. Panen yang melimpah tidak lagi dianggap kemurahan hati dewi Sri atau Demeter. Penyakit, kecelakaan, dan kematian tak lagi dianggap sebagai akibat melanggar tabu atau lalai memberi persembahan bagi para dewa.

Friday, November 27, 2015

Membongkar Mitos Gaya Belajar (2)


Baca juga: Membongkar mitos gaya belajar (1)

Andaikan anda seorang guru. Suatu ketika, atas saran seorang kawan, anda mensurvei gaya belajar siswa di kelas anda. Sebagian besar ternyata pembelajar visual: mereka mengaku lebih senang melihat gambar dan diagram daripada membaca teks atau mendengar ceramah suara. 

Apa yang sebaiknya anda lakukan? Menurut para pelopor teori gaya belajar, guru yang baik seharusnya menyesuaikan cara mengajar dengan gaya belajar siswanya. Tapi bagaimana caranya? Jangan kuatir, kalau anda belum bisa melakukannya, ada berbagai seminar dan pelatihan yang bisa anda ikuti! Tentu dengan sedikit biaya investasi :)

Seperti saya tulis sebelumnya, gagasan gaya belajar ini sangat populer. Produk yang dijual para pencetusnya laris manis. Ini industri bernilai jutaan dolar. Yang jadi masalah adalah gagasan ini tidak punya fondasi yang kokoh. Dengan kata lain, penyesuaian antara pengajaran dan gaya belajar masih berstatus mitos!

Thursday, November 26, 2015

Membongkar Mitos Gaya Belajar (1)


Baca juga: Membongkar mitos gaya belajar (2)

Apakah anda lebih suka belajar dengan melihat? Bagaimana kalau dibandingkan belajar dengan mendengarkan orang bicara? Atau sambil bergerak dan melakukan aktivitas secara fisik? 

Sebagian besar dari Anda mungkin sudah pernah mendengar pertanyaan-pertanyaan ini. Sebagian mungkin sudah pernah mencoba mengisi kuesioner atau kuis yang memuat pertanyaan-pertanyaan serupa. Di balik pertanyaan-pertanyaan semacam ini adalah gagasan bahwa tiap individu memiliki "gaya belajar" yang unik. 

Monday, September 28, 2015

SATU KELAS, BERPULUH LINTASAN BELAJAR

Melbourne skyline dari gedung psikologi, Melbourne University.

Setelah dimanjakan cuaca cerah hari Minggu di Melbourne, agenda pertama rombongan Balitbang pada Senin pagi adalah mengunjungi Australian Council for Educational Research (ACER). Karena datang sedikit lebih awal dari jadwal, kami dipersilakan menunggu di toko buku yang berada di bagian depan kantor ACER. Bagi kutu buku dan orang pendidikan macam kami, koleksi toko buku tersebut sungguh menggoda iman. Tak butuh waktu lama sebelum pak Fasli dan pak Nizam terlihat menenteng beberapa buku. (Karena uang saku terbatas, saya sendiri hanya bisa menelan ludah, hahaha.)

Tepat jam 9, kami diterima oleh CEO ACER, Geoff Masters, direktur bidang internasionalnya, Peter McGukian, dan beberapa peneliti senior. Status ACER sebagai lembaga riset pendidikan yang murni swasta sudah saya bahas di tulisan lain. Di sini saya akan membahas sebuah makalah karya Geoff Masters (2013) yang beberapa kali dirujuk dalam diskusi tersebut. Makalah berjudul "Reforming Educational Assessment" tersebut memuat banyak gagasan segar tentang asesmen, dan  bisa diunduh gratis! Saya akan fokuskan pada gagasan tentang kaitan antara variasi antar-siswa dan peran asesmen dalam pengajaran. 

Semua guru, dan mungkin semua orang yang pernah harus mengajar lebih dari satu murid dalam kelas yang sama, tahu bahwa tiap siswa berbeda. Pun demikian dalam hal penguasaan materi ajar: ada yang sudah menguasai cukup banyak materi sejak awal, tapi ada juga yang pada akhir pelajaran masih belum mencerna materi yang dibahas. Tapi seberapa besar sebenarnya variasi tersebut? Seberapa jauh jarak antara siswa yang tertinggal dengan yang terdepan? Jawaban atas pertanyaan ini, menurut saya, cukup mencengangkan. Simaklah grafik berikut:

Friday, September 25, 2015

Kemampuan Generik dan Irisannya dengan Mata Pelajaran

Oleh: Anindito Aditomo



Dalam struktur kurikulum nasional Australia, terlihat adanya tujuh “general capabilities” yang memotong sebelas disiplin atau “learning areas”. “Learning areas” bisa diterjemahkan sebagai mata pelajaran. “General capabilities” tidak punya padanan istilah yang sudah lazim kita gunakan, namun dalam tulisan ini akan saya terjemahkan sebagai kemampuan generik. Istilah lain yang dekat dan mungkin lebih populer di sini adalah “soft skills.”
 
Saya sendiri lebih suka menggunakan kata “kemampuan” daripada “skill” atau keterampilan. Istilah keterampilan mudah disalahtafsirkan sebagai konstruk yang semata-mata bersifat “motorik” atau perilaku fisik. Keterampilan seringkali dianggap tidak mencakup ranah kognitif dan afektif. Padahal sebenarnya keterampilan apa pun melibatkan pengetahuan dan emosi.
 
Sebagai contoh, keterampilan membuat sketsa pasti dilandasi pengetahuan tentang jenis-jenis pensil, kertas, cara menggores, dan bentuk-betuk dasar. Membuat sketsa juga memerlukan kepercayaan diri dan kemauan untuk mencoba-coba. Pun demikian dengan keterampilan olah raga, bermusik, merakit komputer, bersosialisasi, dan seterusnya.
 
Karena pemahaman umum terhadap istilah keterampilan yang seperti itulah, istilah kapabilitas atau kemampuan menjadi lebih pas. Definisi resminya pun menyebutkan adanya empat elemen (pengetahuan, keterampilan, perilaku, dan disposisi) sebagai pembentuk kemampuan generik. Ini menegaskan bahwa kemampuan generik bukanlah “keterampilan” dalam arti sempit.
 
Konsekuensinya adalah bahwa pengembangan kemampuan generik ini tidak bisa hanya fokus pada prosedur (knowing how), tapi juga pemahaman (knowing why) dan disposisi (kemauan bertindak).
 
Dalam diskusi dengan Balitbang Kemendikbud minggu lalu, ACARA (pengembang kurikulum ini) menegaskan bahwa tiap kemampuan umum memiliki “pijakan alami” pada pelajaran tertentu. Misalnya, literasi menemukan pijakan paling natural di pelajaran bahasa, numerasi di pelajaran matematika, dan pemahaman lintas-budaya di pelajaran-pelajaran ilmu sosial dan bahasa asing. Dengan demikian, tidak semua pelajaran diharuskan mengembangkan tujuh kemampuan umum. Guru juga tidak dituntut menilai siswa dalam tujuh kemampuan tersebut.
 
Sampai di sini sebenarnya tidak ada yang terlalu baru dalam konsep kemampuan generik yang ditampilkan dalam kurikulum nasional Australia. Menurut saya yang perlu dicatat adalah bahwa kemampuan generik ini sebenarnya sepadan dengan empat kompetensi inti (KI) dalam Kurikulum 2013 kita. Perbedaan mendasarnya adalah tiap kemampuan generik punya deskripsi achievement standard-nya sendiri, yang lepas dari deskripsi untuk mata pelajaran. Demikian juga sebaliknya, tiap mata pelajaran memiliki achievement standard-nya sendiri, yang lepas dari kemampuan generik.
 
Sebagai contoh, berikut achievement standards untuk kemampuan “bernalar dalam bertindak dan membuat keputusan”, yang merupakan salah satu dimensi dari “pemahaman etis”:
 
Tingkat 1 (taman kanak-kanak): identify examples from stories and experiences that show ways people make decisions about their actions; identify links between emotions and behaviours; identify and describe the influence of factors such as wants and needs on people’s actions.
 
Tingkat 2 (akhir kelas 2): discuss how people make decisions about their actions and offer reasons why people’s decisions differ; describe the effects that personal feelings and dispositions have on how people behave; give examples of how understanding situations can influence the way people act.
 
Tingkat 3 (akhir kelas 4): explain reasons for acting in certain ways, including the conflict between self-respect and self-interest in reaching decisions; examine the links between emotions, dispositions and intended and unintended consequences of their actions on others; consider whether having a conscience leads to ways of acting ethically in different scenarios.
 
Dalam Kurikulum 2013, keempat kompetensi inti tidak memiliki deskripsi tingkat pencapaian. Alih-alih demikian, tiap kompetensi inti dikawin-paksakan dengan kompetensi dasar untuk semua mata pelajaran. Inilah yang menghasilkan kalimat-kalimat ajaib semacam “Memiliki sikap disiplin dan rasa cinta tanah air terhadap sistem pemerintahan serta layanan masyarakat daerah melalui pemanfaatan bahasa Indonesia” sebagai kompetensi yang harus dicapai melalui pelajaran Bahasa Indonesia.
 
Menurut saya, perbandingan ini menunjukkan salah satu kesalahan paling mendasar dalam desain Kurikulum 2013 kita. Perwakinan paksa antara kemampuan generik dan kompetensi disiplin ilmu justru merusak kedua-duanya.

Wednesday, September 23, 2015

Kurikulum dan Asesmen Pendidikan: Pengalaman Australia #2

Oleh: Anindito Aditomo

 
Ini adalah struktur kurikulum nasional yang baru dikembangkan di Australia. Kurikulum tersebut meramu tiga ranah pembelajaran: mata pelajaran (learning areas), kemampuan umum (general capabilities), dan tema lintas pelajaran (cross-curriculum priorities). Sepintas terlihat penuh sesak, dan memang salah satu kritik yang muncul terhadap kurikulum ini adalah terlalu banyaknya materi yang dicakup.
 
Minggu lalu tim Balitbang Kemendikbud berdiskusi dengan ACARA, badan yang bertugas mengembangkan kurikulum tersebut. Salah satu informasi yang bagi saya paling menarik adalah bahwa ACARA memandang kurikulum nasional tersebut sebagai kurikulum “aspirasional”.
 
Berbeda dari kurikulum inti atau minimal, apa yang termuat dalam kurikulum aspirasional merupakan target yang menjadi aspirasi pemerintah. Namun demikian, karena tiap sekolah dan siswa memiliki kondisi, potensi, dan titik awal yang berbeda, sekolah boleh saja menetapkan target yang lebih rendah daripada kurikulum nasional.
 
Hal ini penting karena di Australia ada kesenjangan kualitas pendidikan yang cukup besar antar kelompok masyarakat. Siswa yang bersekolah di daerah terpencil (yang seringkali merupakan penduduk asli Australia) bisa tertinggal 3 sampai 4 tahun dibanding siswa di sekolah yang baik di Sydney, misalnya. Tidak masuk akal bila siswa yang bersekolah dalam kondisi yang demikian berbeda diberi target yang sama. Hanya saja, dengan adanya kurikulum nasional, ACARA berharap bahwa sekolah yang saat ini jauh tertinggal akan tergerak untuk perlahan-lahan mencapai target yang sama dengan sekolah yang lebih maju.
 
Dalam diskusi tersebut ACARA juga menyatakan bahwa strategi terbaik untuk menerapkan kurikulum nasional adalah dengan fokus pada beberapa target. Perdalam pemahaman dan perkuat penguasaan siswa terhadap dua atau tiga area dalam kurikulum (pelajaran atau kapabilitas) yang menjadi kekuatan siswa di tiap sekolah. Untuk area lain, cukup tetapkan target minimal dahulu. Ini lebih baik daripada mengejar semua target, namun tidak mendapatkan satu pun secara mendalam. Ini bisa disebut sebagai prinsip spesialisasi.
 
Konsep kurikulum aspirasional dan spesialisasi menarik namun sulit dikomunikasikan. Tampaknya website kurikulum nasional yang dibuat ACARA juga tidak menjelaskannya secara eksplisit. Ketika saya sampaikan hal ini, pihak ACARA mengakui bahwa itu memang salah satu kelemahan dokumen kurikulum mereka.
 
Namun ada satu hal penting yang perlu dicatat, yaitu peran ujian. Dalam 10 tahun pertama pendidikan dasar-menengah Australia, tidak ada ujian terstandar yang bersifat high stakes atau berisiko. Satu-satunya ujian terstandar eksternal (berasal dari luar guru/sekolah) adalah NAPLAN. Perlu tulisan tersendiri untuk membahas NAPLAN, tapi yang relevan di sini adalah bahwa ia tidak punya konsekuensi apa pun terhadap siswa, dan ia dirancang untuk mengukur pencapaian minimal. Dengan karakteristik tersebut, NAPLAP tidak terlalu “menyetir” pembelajaran yang terjadi di ruang kelas. Guru dan sekolah masih bisa memilih target pembelajarannya, sejalan dengan konsep kurikulum aspirasional dan prinsip spesialisasi yang dibahas di atas.

Saturday, September 19, 2015

Reformasi Kurikulum dan Asesmen Pendidikan: Pengalaman Australia (#1)

Oleh: Anindito Aditomo

 

Australia memiliki 6 negara bagian (NSW, WA, QLD, VIC, SA, dan TAS) dan 2 teritori otonom (NT dan ACT). Negara-negara bagian tersebut lahir sebelum Australia terbentuk sebagai federasi. Karena itu tiap negara bagian punya kebanggaan atas identitas uniknya sendiri. Tidak terlalu mengherankan jika baru sekarang ini Australia mulai mengembangkan kurikulum nasional.

Secara historis, pendidikan di Australia memang berada dalam lingkup wewenang dan tanggung jawab negara bagian. Karena itu tidak heran jika tiap negara bagian memiliki sistem pendidikan yang berbeda-beda. Adanya kurikulum nasional yang baru digagas belakangan tentu akan mengurangi perbedaan antar negara bagian. Namun kurikulum nasional tidak mencakup kelas 11 dan 12, dan karena itu tidak akan mengubah sistem pemberian ijazah SMA. Kurikulum nasional juga tidak akan mengubah perbedaan dalam model kepegawaian masing-masing departemen pendidikan. Bahkan untuk kurikulum sampai kelas 10 pun, tiap negara bagian memiliki tafsirnya sendiri-sendiri (more in this in another article).

Meski banyak perbedaan, saya juga menangkap adanya beberapa persamaan mendasar antar negara bagian. Atau setidaknya, antara dua negara bagian yang saya kunjungi (Victoria dan NSW). Salah satu persamaan tersebut adalah kebijakan terkait transisi kurikulum. Dalam hal ini, baik NSW maupun Victoria memberi waktu setidaknya 1 tahun bagi semua guru untuk melihat dan memahami kurikulum baru sebelum benar-benar diberlakukan.

Sebagai contoh, katakanlah pemerintah NSW selesai mengadaptasi kurikulum nasional untuk pelajaran Sejarah pada awal 2015. Pada titik tersebut, guru sudah bisa mengakses bukan saja deskripsi capaian pembelajaran dan apa yang perlu dipelajari (konten) untuk pelajaran sejarah, tapi juga resources lain seperti contoh materi bacaan, video, contoh tugas, dan contoh rubrik penilaian. Kurikulum tersebut baru akan diumumkan dan diberlakukan paling cepat pada awal 2016.

Masa percobaan tersebut memberi kesempatan bagi guru dan sekolah untuk “mencicipi” kurikulum baru, sekaligus memberi masukan bagi perbaikannya. Dengan demikian, guru punya waktu untuk mencoba membuat lesson plan, mencari atau memadu-padankan bacaan atau resources lain, membuat tugas asesmen dan rubrik penilaian yang cocok untuk kelasnya. Mereka juga boleh mencoba menerapkannya di kelas, meski kurikulum tersebut belum berlaku resmi.

Mengapa perlu waktu satu tahun penuh untuk mencicipi kurikulum baru? Pendekatan ini, menurut saya, mencerminkan beberapa keyakinan mendasar tentang pendidikan dan profesi guru.

Pertama, pendekatan ini mencerminkan keyakinan bahwa mengajar adalah pekerjaan yang sangat kompleks. Mengajar bukan sekedar penerapan langkah-langkah yang dituliskan oleh pemerintah dalam sebuah dokumen. Dengan kata lain, mengajar tidak bisa dilakukan secara prosedural semata. Penerjemahan kurikulum tertulis menjadi proses pembelajaran membutuhkan basis pengetahuan yang kompleks. Pengajaran yang baik mensyaratkan integrasi antara pengetahuan tentang karakteristik siswa, karakteristik kelas, batasan-batasan (constraint) fisik dan administratif, metode pengajaran, penggunaan teknologi dan media digital, selain tentu saja konten pelajaran dan tuntutan kurikulum.

Berbagai pengetahuan ini tidak cukup sekedar “diketahui”, tapi musti dikuasai secara mendalam. Penguasaan yang mendalam inilah yang memungkinkan pelajaran berlangsung lancar, tapi sekaligus adaptif terhadap respon siswa. Konsekuensinya, persiapan penerapan kurikulum tidak mungkin didasarkan pada pelatihan top-down yang berlangsung dalam 3 atau 4 hari, apalagi “pelatihan” berbasis presentasi Powerpoint. Yang diperlukan guru dan sekolah adalah dukungan resources (bahan ajar, contoh asesmen, rubrik, dll) yang beragam dan dalam jumlah besar, serta kesempatan untuk mencoba menerapkannya tanpa ancaman penalti.

Kedua, pendekatan tersebut juga mencerminkan kepercayaan terhadap guru dan sekolah. Bahwa guru dan sekolah akan bertindak in the students’ best interest, untuk kepentingan pembelajaran siswa. Dan karena tiap siswa, kelas, dan sekolah memiliki karakteristik dan kebutuhan yang berbeda-beda, pemerintah NSW dan Victoria memberi otonomi yang luas pada guru/sekolah untuk menafsirkan dan menerapkan kurikulum baru.

Apakah berarti bahwa kualitas guru dan sekolah di Australia sudah seragam (dan seragam pada tingkat yang baik)? Tidak sepenuhnya juga, dan karena itu pemberian otonomi juga mengandung risiko. Namun demikian, mereka tampaknya merasa bahwa otonomi, dengan segala risikonya, adalah alternatif yang lebih baik daripada kendali terpusat.

NOTE: tulisan di atas didasarkan pada catatan kunjungan saya ke beberapa institusi pendidikan di NSW dan Victoria, sebagai bagian dari delegasi Balitbang Kemendikbud RI, 12-18 September 2015. Bila ada ketidakakuratan faktual dalam tulisan ini, mohon koreksinya.

Monday, September 14, 2015

ACER dan Penghargaan pada Riset

Oleh: Anindito Aditomo

Minggu ini saya menemani tim dari Pusat Penilaian Pendidikan, Balitbang Kemendikbud, mengunjungi beberapa institusi di Australia. Salah satu tugas saya adalah ikut menyerap dan membagikan sebanyak mungkin insight tentang asesmen dan kurikulum yang bisa berguna untuk kita di Indonesia.
 
Kemendikbud mengundang saya dan pak Doni Koesoema sebagai wakil masyarakat untuk mencerna informasi yang didapat dari perspektif yang mungkin berbeda dari pemerintah. Amanat yang berat sekaligus mengasyikkan.
 
Oya, bila ada bertanya-tanya tentang pendanaan, kunjungan ini didanai oleh Department of Foreign Affairs and Trade, Australia. Mereka tidak mau rugi, jadi acara dirancang sepadat mungkin. Tiga kota, lima institusi, dan tiga acara untuk berjejaring, hanya dalam empat hari kerja. Ditambah dua hari perjalanan pulang-pergi, total jendral acara ini hanya butuh enam hari. Karena malas meninggalkan keluarga terlalu lama, dan repotnya meninggalkan kerja rutin di Ubaya, saya justru senang dengan pengaturan yang efisien ini.
 
Institusi pertama yang kami kunjungi adalah ACER. Bukan perusahaan pembuat laptop itu lho ya, melainkan Australian Council for Educational Research. Sesi pertama dipandu langsung oleh CEO (Geoff Masters) dan direktur pengembangan internasionalnya (Peter McGuckian). Sesi kedua dan ketiga dipandu oleh beberapa peneliti senior, yang berbicara tentang pengetesan berbasis komputer dan asesmen terstandar yang bisa digunakan oleh guru untuk proses pembelajaran. Banyak informasi yang menurut saya menarik dan penting; semoga nanti bisa saya tulis lebih rinci setelah sempat membaca referensi pelengkap. 
 
Menutup catatan awal ini, saya hanya ingin berkomentar mengenai ACER sebagai sebuah lembaga penelitian. Berdiri tahun 1930, sekarang ACER memiliki lebih dari 300 staf dengan setidaknya empat kantor cabang internasional (di London, Delhi, Dubai, dan Jakarta). Mereka punya puluhan pegawai tetap yang bertugas membuat butir tes, yang sebagian besar adalah guru yang kemudian menjadi pengembang tes profesional. Selain tentu memiliki sayap riset, ACER punya divisi yang khusus menangani kualitas psikometrik dari tiap tes; divisi yang bertugas merancang tampilan tes agar mudah digunakan dan dipahami; divisi yang mengelola keandalan dan keamanan jaringan komputernya; dan beberapa divisi spesifik lain.
 
Yang mengejutkan adalah bahwa ACER merupakan organisasi nirlaba (not-for-profit). Dengan kata lain, murni swasta yang tidak mendapat bagian dari kue tahunan anggaran pemerintah. Seperti perusahaan swasta lain, ACER bisa saja bangkrut jika “produknya” tidak laku. Fakta bahwa ACER bisa hidup dan berkembang menunjukkan bahwa penelitian pendidikan dihargai tinggi oleh pemerintah dan berbagai institusi lain yang memerlukan layanan berbasis pengetahuan ilmiah tentang pendidikan. Penghargaan atas riset ini hal yang masih perlu ditumbuhkan di Indonesia.
 
Apa artinya menghargai riset? Salah satunya adalah menyadari pentingnya pengembangan pengetahuan mendasar (dalam hal ini, tentang pendidikan) yang tak dibebani kewajiban memberi solusi praktis. Menghargai riset juga berarti memberi ruang untuk perdebatan yang berbasis data dan nalar, untuk kritik yang tidak (selalu) harus konstruktif. Menghargai riset berarti menyadari bahwa pengetahuan ilmiah merupakan fondasi yang lebih kokoh untuk menghadapi realitas dan problem praktis yang senantiasa berubah. Dan tentu menghargai riset berarti memaklumi bahwa kegiatan tersebut perlu waktu dan duit yang tidak sedikit.
 
Riset memang mahal, tapi dalam jangka panjang, sebenarnya harga yang harus kita bayar karena TIDAK melakukan riset jauh lebih mahal. Betul begitu kan, kawan-kawan?

Thursday, September 10, 2015

MOOC Membuka Pendidikan untuk Semua?

Bus Damri yang saya tumpangi dari bandara perlu hampir 2 jam untuk mencapai gedung Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Seperti biasa, ada beberapa titik macet yang membuat waktu tempuh lebih panjang dibanding seharusnya. Untunglah saya sampai di tujuan sebelum rapat dimulai.

Apapun, 2 jam adalah waktu yang berharga bila hanya digunakan untuk melamunkan nasib. Untunglah sinyal mobile sepanjang perjalanan cukup kuat dan kuota data internet di ponsel saya juga masih tersisa. Saya pun memanfaatkan waktu untuk melanjutkan kuliah Think Again: How to Reason and Argue, sebuah MOOC berdurasi 12 minggu yang dipandu oleh dua profesor filsafat dari Duke University. Ini adalah mingu ke-3 dalam kursus tersebut. 


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...