Saturday, September 19, 2015

Reformasi Kurikulum dan Asesmen Pendidikan: Pengalaman Australia (#1)

Oleh: Anindito Aditomo

 

Australia memiliki 6 negara bagian (NSW, WA, QLD, VIC, SA, dan TAS) dan 2 teritori otonom (NT dan ACT). Negara-negara bagian tersebut lahir sebelum Australia terbentuk sebagai federasi. Karena itu tiap negara bagian punya kebanggaan atas identitas uniknya sendiri. Tidak terlalu mengherankan jika baru sekarang ini Australia mulai mengembangkan kurikulum nasional.

Secara historis, pendidikan di Australia memang berada dalam lingkup wewenang dan tanggung jawab negara bagian. Karena itu tidak heran jika tiap negara bagian memiliki sistem pendidikan yang berbeda-beda. Adanya kurikulum nasional yang baru digagas belakangan tentu akan mengurangi perbedaan antar negara bagian. Namun kurikulum nasional tidak mencakup kelas 11 dan 12, dan karena itu tidak akan mengubah sistem pemberian ijazah SMA. Kurikulum nasional juga tidak akan mengubah perbedaan dalam model kepegawaian masing-masing departemen pendidikan. Bahkan untuk kurikulum sampai kelas 10 pun, tiap negara bagian memiliki tafsirnya sendiri-sendiri (more in this in another article).

Meski banyak perbedaan, saya juga menangkap adanya beberapa persamaan mendasar antar negara bagian. Atau setidaknya, antara dua negara bagian yang saya kunjungi (Victoria dan NSW). Salah satu persamaan tersebut adalah kebijakan terkait transisi kurikulum. Dalam hal ini, baik NSW maupun Victoria memberi waktu setidaknya 1 tahun bagi semua guru untuk melihat dan memahami kurikulum baru sebelum benar-benar diberlakukan.

Sebagai contoh, katakanlah pemerintah NSW selesai mengadaptasi kurikulum nasional untuk pelajaran Sejarah pada awal 2015. Pada titik tersebut, guru sudah bisa mengakses bukan saja deskripsi capaian pembelajaran dan apa yang perlu dipelajari (konten) untuk pelajaran sejarah, tapi juga resources lain seperti contoh materi bacaan, video, contoh tugas, dan contoh rubrik penilaian. Kurikulum tersebut baru akan diumumkan dan diberlakukan paling cepat pada awal 2016.

Masa percobaan tersebut memberi kesempatan bagi guru dan sekolah untuk “mencicipi” kurikulum baru, sekaligus memberi masukan bagi perbaikannya. Dengan demikian, guru punya waktu untuk mencoba membuat lesson plan, mencari atau memadu-padankan bacaan atau resources lain, membuat tugas asesmen dan rubrik penilaian yang cocok untuk kelasnya. Mereka juga boleh mencoba menerapkannya di kelas, meski kurikulum tersebut belum berlaku resmi.

Mengapa perlu waktu satu tahun penuh untuk mencicipi kurikulum baru? Pendekatan ini, menurut saya, mencerminkan beberapa keyakinan mendasar tentang pendidikan dan profesi guru.

Pertama, pendekatan ini mencerminkan keyakinan bahwa mengajar adalah pekerjaan yang sangat kompleks. Mengajar bukan sekedar penerapan langkah-langkah yang dituliskan oleh pemerintah dalam sebuah dokumen. Dengan kata lain, mengajar tidak bisa dilakukan secara prosedural semata. Penerjemahan kurikulum tertulis menjadi proses pembelajaran membutuhkan basis pengetahuan yang kompleks. Pengajaran yang baik mensyaratkan integrasi antara pengetahuan tentang karakteristik siswa, karakteristik kelas, batasan-batasan (constraint) fisik dan administratif, metode pengajaran, penggunaan teknologi dan media digital, selain tentu saja konten pelajaran dan tuntutan kurikulum.

Berbagai pengetahuan ini tidak cukup sekedar “diketahui”, tapi musti dikuasai secara mendalam. Penguasaan yang mendalam inilah yang memungkinkan pelajaran berlangsung lancar, tapi sekaligus adaptif terhadap respon siswa. Konsekuensinya, persiapan penerapan kurikulum tidak mungkin didasarkan pada pelatihan top-down yang berlangsung dalam 3 atau 4 hari, apalagi “pelatihan” berbasis presentasi Powerpoint. Yang diperlukan guru dan sekolah adalah dukungan resources (bahan ajar, contoh asesmen, rubrik, dll) yang beragam dan dalam jumlah besar, serta kesempatan untuk mencoba menerapkannya tanpa ancaman penalti.

Kedua, pendekatan tersebut juga mencerminkan kepercayaan terhadap guru dan sekolah. Bahwa guru dan sekolah akan bertindak in the students’ best interest, untuk kepentingan pembelajaran siswa. Dan karena tiap siswa, kelas, dan sekolah memiliki karakteristik dan kebutuhan yang berbeda-beda, pemerintah NSW dan Victoria memberi otonomi yang luas pada guru/sekolah untuk menafsirkan dan menerapkan kurikulum baru.

Apakah berarti bahwa kualitas guru dan sekolah di Australia sudah seragam (dan seragam pada tingkat yang baik)? Tidak sepenuhnya juga, dan karena itu pemberian otonomi juga mengandung risiko. Namun demikian, mereka tampaknya merasa bahwa otonomi, dengan segala risikonya, adalah alternatif yang lebih baik daripada kendali terpusat.

NOTE: tulisan di atas didasarkan pada catatan kunjungan saya ke beberapa institusi pendidikan di NSW dan Victoria, sebagai bagian dari delegasi Balitbang Kemendikbud RI, 12-18 September 2015. Bila ada ketidakakuratan faktual dalam tulisan ini, mohon koreksinya.

Monday, September 14, 2015

ACER dan Penghargaan pada Riset

Oleh: Anindito Aditomo

Minggu ini saya menemani tim dari Pusat Penilaian Pendidikan, Balitbang Kemendikbud, mengunjungi beberapa institusi di Australia. Salah satu tugas saya adalah ikut menyerap dan membagikan sebanyak mungkin insight tentang asesmen dan kurikulum yang bisa berguna untuk kita di Indonesia.
 
Kemendikbud mengundang saya dan pak Doni Koesoema sebagai wakil masyarakat untuk mencerna informasi yang didapat dari perspektif yang mungkin berbeda dari pemerintah. Amanat yang berat sekaligus mengasyikkan.
 
Oya, bila ada bertanya-tanya tentang pendanaan, kunjungan ini didanai oleh Department of Foreign Affairs and Trade, Australia. Mereka tidak mau rugi, jadi acara dirancang sepadat mungkin. Tiga kota, lima institusi, dan tiga acara untuk berjejaring, hanya dalam empat hari kerja. Ditambah dua hari perjalanan pulang-pergi, total jendral acara ini hanya butuh enam hari. Karena malas meninggalkan keluarga terlalu lama, dan repotnya meninggalkan kerja rutin di Ubaya, saya justru senang dengan pengaturan yang efisien ini.
 
Institusi pertama yang kami kunjungi adalah ACER. Bukan perusahaan pembuat laptop itu lho ya, melainkan Australian Council for Educational Research. Sesi pertama dipandu langsung oleh CEO (Geoff Masters) dan direktur pengembangan internasionalnya (Peter McGuckian). Sesi kedua dan ketiga dipandu oleh beberapa peneliti senior, yang berbicara tentang pengetesan berbasis komputer dan asesmen terstandar yang bisa digunakan oleh guru untuk proses pembelajaran. Banyak informasi yang menurut saya menarik dan penting; semoga nanti bisa saya tulis lebih rinci setelah sempat membaca referensi pelengkap. 
 
Menutup catatan awal ini, saya hanya ingin berkomentar mengenai ACER sebagai sebuah lembaga penelitian. Berdiri tahun 1930, sekarang ACER memiliki lebih dari 300 staf dengan setidaknya empat kantor cabang internasional (di London, Delhi, Dubai, dan Jakarta). Mereka punya puluhan pegawai tetap yang bertugas membuat butir tes, yang sebagian besar adalah guru yang kemudian menjadi pengembang tes profesional. Selain tentu memiliki sayap riset, ACER punya divisi yang khusus menangani kualitas psikometrik dari tiap tes; divisi yang bertugas merancang tampilan tes agar mudah digunakan dan dipahami; divisi yang mengelola keandalan dan keamanan jaringan komputernya; dan beberapa divisi spesifik lain.
 
Yang mengejutkan adalah bahwa ACER merupakan organisasi nirlaba (not-for-profit). Dengan kata lain, murni swasta yang tidak mendapat bagian dari kue tahunan anggaran pemerintah. Seperti perusahaan swasta lain, ACER bisa saja bangkrut jika “produknya” tidak laku. Fakta bahwa ACER bisa hidup dan berkembang menunjukkan bahwa penelitian pendidikan dihargai tinggi oleh pemerintah dan berbagai institusi lain yang memerlukan layanan berbasis pengetahuan ilmiah tentang pendidikan. Penghargaan atas riset ini hal yang masih perlu ditumbuhkan di Indonesia.
 
Apa artinya menghargai riset? Salah satunya adalah menyadari pentingnya pengembangan pengetahuan mendasar (dalam hal ini, tentang pendidikan) yang tak dibebani kewajiban memberi solusi praktis. Menghargai riset juga berarti memberi ruang untuk perdebatan yang berbasis data dan nalar, untuk kritik yang tidak (selalu) harus konstruktif. Menghargai riset berarti menyadari bahwa pengetahuan ilmiah merupakan fondasi yang lebih kokoh untuk menghadapi realitas dan problem praktis yang senantiasa berubah. Dan tentu menghargai riset berarti memaklumi bahwa kegiatan tersebut perlu waktu dan duit yang tidak sedikit.
 
Riset memang mahal, tapi dalam jangka panjang, sebenarnya harga yang harus kita bayar karena TIDAK melakukan riset jauh lebih mahal. Betul begitu kan, kawan-kawan?

Thursday, September 10, 2015

MOOC Membuka Pendidikan untuk Semua?

Bus Damri yang saya tumpangi dari bandara perlu hampir 2 jam untuk mencapai gedung Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Seperti biasa, ada beberapa titik macet yang membuat waktu tempuh lebih panjang dibanding seharusnya. Untunglah saya sampai di tujuan sebelum rapat dimulai.

Apapun, 2 jam adalah waktu yang berharga bila hanya digunakan untuk melamunkan nasib. Untunglah sinyal mobile sepanjang perjalanan cukup kuat dan kuota data internet di ponsel saya juga masih tersisa. Saya pun memanfaatkan waktu untuk melanjutkan kuliah Think Again: How to Reason and Argue, sebuah MOOC berdurasi 12 minggu yang dipandu oleh dua profesor filsafat dari Duke University. Ini adalah mingu ke-3 dalam kursus tersebut. 


Friday, August 21, 2015

Guru yang Patah Arang


Dalam sebuah esai, Rosa Nam, seorang guru bahasa Inggris SMA di Houston, Amerika, berkisah tentang mengapa ia memilih berhenti mengajar. Esai sungguh jujur dan "nendang". Mengajar, menurut Rosa, bisa membuat orang sakit jiwa. 

Pertanyaannya tentu, mengapa ada guru yang frustrasi, patah arang, dan memilih mencari profesi lain? Dan apa solusinya? Sebagian akan mencari jawabannya pada guru sebagai individu. Guru harus diperkuat mentalnya. Dibekali dengan teknik manajemen kelas yang lebih ampuh. Dilatih supaya menguasai metode belajar yang lebih menarik. Dan seterusnya.

Thursday, August 20, 2015

Be Careful of What You Read!




Secara umum, frekuensi membaca memprediksi perkembangan berbahasa dan kemampuan mencerna bacaan di kemudian hari. Tapi apakah membaca komik punya dampak yang sama dengan membaca novel? Bagaimana dengan membaca berita online, media sosial, dan blog?

Menurut sebuah penelitian longitudinal di Jerman, tiap jenis bacaan punya dampak yang berbeda (Pfost, Dorfler, & Artelt, 2013). Bacaan yang berdampak positif dan cukup besar adalah fiksi seperti novel dan cerpen. Komik, majalah, dan buku non-fiksi juga berdampak positif namun lebih lemah. 


Wednesday, August 19, 2015

Memutus Lingkaran Setan Nir-literasi


Beberapa waktu yang lalu kementerian pendidikan dan kebudayaan meluncurkan gerakan literasi nasional. Sekolah diminta memberi waktu 15 menit bagi siswa untuk membaca bebas, sebelum jam pelajaran berlangsung. Tapi cukupkah 15 menit? Bagi yang skeptis, hal ini bisa dipandang sebagai gimmick saja. Kebijakan yang manis tapi minim dampak. 

Saya sendiri menaruh harapan pada program ini. Dalam literatur tentang literasi, ada yang disebut sebagai Matthew effect. Intinya, perbedaan kecil dalam kebiasaan dan kemampuan membaca seseorang ketika masih kecil bisa berdampak besar di kemudian hari. 

Sunday, August 16, 2015

Perlukah Guru Meneliti?

Benarkah guru harus meneliti dan mempublikasikan hasilnya di jurnal ilmiah?
Sumber gambar: http://ierf.org/images/uploads/research_grants_ind1.jpg

Seorang ketua organisasi guru baru-baru ini mencetuskan bahwa guru seharusnya tidak dibebani kewajiban untuk meneliti. Pendapat ini adalah protes terhadap peraturan menteri pendidikan yang menetapkan publikasi karya ilmiah sebagai syarat untuk kenaikan pangkat guru. Persyaratan ini seharusnya gugur, menurut argumen pak ketua, karena undang-undang yang melandasi peraturan menteri tersebut tidak menyebutkan penelitian sebagai bagian dari tugas guru. 

Argumen pak ketua sepintas tampak seperti sasaran empuk untuk dikritik balik. Tentu saja guru harus meneliti. Guru adalah tenaga profesional, bukan buruh atau pekerja manual. Guru harus inovatif dan tidak sekedar menjalankan pengajaran sebagai tugas rutin semata. Keberatan atas persyaratan meneliti dan membuat publikasi ilmiah itu hanya menunjukkan kemalasan dan inkompetensi. Itu alasan yang hanya pantas diajukan guru yang belum bertransformasi menjadi tenaga profesional. 

Saturday, August 15, 2015

Menyongsong Gelombang MOOC


Teknologi telah memungkinkan pengalaman belajar yang kaya tanpa harus bertatap muka.
Sumber: http://www.torrington.info/uploads/1/9/0/5/19057235/__757786166.jpg

Pendidikan tinggi seperti apa yang bisa anda dapatkan dengan uang 5 juta rupiah? Untuk sebagian besar orang, uang sebesar itu hanya cukup untuk membayar biaya kuliah satu atau dua semester di universitas yang kualitasnya belum tentu terjamin. Tapi itu di masa lalu. Sekarang, melalui MOOCs, 5 juta rupiah bisa memberi anda tiket mengikuti serangkaian mata kuliah dan mendapat sertifikat kompetensi spesifik dari universitas-universitas terbaik di dunia.

Secara harafiah, MOOC berarti kuliah daring (online) yang terbuka dan masif. Terbuka karena siapapun yang punya akses internet bisa mengikutinya. Tidak ada prasyarat formal apa pun. Tidak perlu bukti ijazah, bukti nasionalitas, usia, visa, dll. Masif dalam arti bisa menampung ratusan ribu siswa secara simultan. Sebagai gambaran, 154.763 orang dari 194 negara mendaftarkan diri ketika MIT menawarkan MOOC pertamanya (“Circuits and Electronics”) pada tahun 2011. Jumlah yang fantastis, terutama bila kita bandingkan dengan daya tampung yang ditawarkan kelas-kelas tradisional.


Sunday, July 5, 2015

Perlukah Guru Meneliti?

Oleh: Anindito Aditomo


Seorang ketua organisasi guru baru-baru ini mencetuskan bahwa guru seharusnya tidak dibebani kewajiban untuk meneliti. Pendapat ini adalah protes terhadap peraturan menteri pendidikan yang menetapkan publikasi karya ilmiah sebagai syarat untuk kenaikan pangkat guru. Persyaratan ini seharusnya gugur, menurut argumen pak ketua, karena undang-undang yang melandasi peraturan menteri tersebut tidak menyebutkan penelitian sebagai bagian dari tugas guru.
 
Argumen pak ketua sepintas tampak seperti sasaran empuk untuk dikritik balik. Tentu saja guru harus meneliti. Guru adalah tenaga profesional, bukan buruh atau pekerja manual. Guru harus inovatif dan tidak sekedar menjalankan pengajaran sebagai tugas rutin semata. Keberatan atas persyaratan meneliti dan membuat publikasi ilmiah itu hanya menunjukkan kemalasan dan inkompetensi. Itu alasan yang hanya pantas diajukan guru yang belum bertransformasi menjadi tenaga profesional.
 
Semua itu betul. Tapi di sisi lain, pendapat pak ketua di atas tak sepenuhnya keliru. Guru memang profesional. Namun apakah itu berarti guru harus meneliti dan melakukan publikasi ilmiah? Mari kita bandingkan dengan dokter dan insinyur, untuk menyebut dua profesi yang memiliki landasan keilmuan kokoh. Apakah seorang dokter harus meneliti dan menulis artikel ilmiah untuk bisa menangani pasien? Apakah seorang insinyur musti meneliti dan publikasi agar bisa membangun jembatan atau membuat perangkat teknologi? Tidak juga, kan? 
 
Sebagai profesional, dokter dan insinyur yang baik harus terus memutakhirkan pengetahuannya dengan membaca literatur ilmiah di bidangnya. Tapi ini berbeda dari melakukan penelitian sendiri. Jika demikian, mengapa guru harus meneliti dan menulis artikel ilmiah? Apa yang membuat profesi guru berbeda dari profesi-profesi lain seperti dokter dan insinyur? Bagaimana menurut anda?

Tuesday, June 9, 2015

Berpikir adalah Melupakan

Melupakan adalah bagian esensial dari proses berpikir dan belajar.
Sumber: http://thisisinfamous.com/wp-content/uploads/2014/08/mad-max-fury-road.jpg

Pikirkan film terakhir yang anda tonton. Apakah itu film yang layak ditonton ulang, atau direkomendasikan pada orang lain? Film terakhir saya adalah Mad Max. Plot ceritanya biasa saja. Endingnya klise, sebagaimana film Hollywood lainnya. Para aktor dan aktrisnya berperan bagus tapi tidak istimewa. Namun demikian, Mad Max adalah film laga (action) yang sungguh ciamik. Saya katakan demikian karena sejak detik pertama, film itu menyuguhkan sajian visual yang luar biasa dan adegan intens yang tak putus-putus. Saya tidak akan ragu merekomendasikannya pada orang yang mencari film laga.

Sebagian pembaca akan setuju dengan simpulan saya tentang Mad Max, dan sebagian lagi tidak. Namun dalam tulisan ini, simpulan tentang Mad Max sekadar contoh dari sebuah mekanisme terkait proses berpikir manusia. Yang ingin saya soroti adalah bahwa seorang pemirsa bisa memikirkan sebuah film yang baru ia tonton, kemudian mengambil simpulan dan meyakini bahwa simpulan itu kuat, meski pun ia tidak mengingat keseluruhan informasi yang disajikan oleh film tersebut.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...