Tuesday, June 9, 2015

Berpikir adalah Melupakan

Melupakan adalah bagian esensial dari proses berpikir dan belajar.
Sumber: http://thisisinfamous.com/wp-content/uploads/2014/08/mad-max-fury-road.jpg

Pikirkan film terakhir yang anda tonton. Apakah itu film yang layak ditonton ulang, atau direkomendasikan pada orang lain? Film terakhir saya adalah Mad Max. Plot ceritanya biasa saja. Endingnya klise, sebagaimana film Hollywood lainnya. Para aktor dan aktrisnya berperan bagus tapi tidak istimewa. Namun demikian, Mad Max adalah film laga (action) yang sungguh ciamik. Saya katakan demikian karena sejak detik pertama, film itu menyuguhkan sajian visual yang luar biasa dan adegan intens yang tak putus-putus. Saya tidak akan ragu merekomendasikannya pada orang yang mencari film laga.

Sebagian pembaca akan setuju dengan simpulan saya tentang Mad Max, dan sebagian lagi tidak. Namun dalam tulisan ini, simpulan tentang Mad Max sekadar contoh dari sebuah mekanisme terkait proses berpikir manusia. Yang ingin saya soroti adalah bahwa seorang pemirsa bisa memikirkan sebuah film yang baru ia tonton, kemudian mengambil simpulan dan meyakini bahwa simpulan itu kuat, meski pun ia tidak mengingat keseluruhan informasi yang disajikan oleh film tersebut.

Saturday, June 6, 2015

Pelajaran Sains, Apa Gunanya?



Pendidikan sains seharusnya menumbuhkan kemampuan berpikir ilmiah, bukan menanamkan pengetahuan.
Sumber foto: http://www.htxt.co.za/wp-content/uploads/2014/07/ScienceEducation.png

Apa kegunaan dari berbagai materi yang dipelajari di sekolah? Untuk literasi tingkat dasar, jawabannya gampang. Pelajaran-pelajaran tersebut berguna secara luas. Semua siswa akan memerlukan keterampilan membaca, menulis dan berhitung dalam kehidupan sehari-harinya. “Keluasan aplikasi” dan “kegunaan praktis” memang bisa menjadi justifikasi untuk pelajaran-pelajaran di tingkat SD, paling tidak sampai kelas 3 atau 4. Namun apakah justifikasi yang sama berlaku untuk pelajaran-pelajaran pada tingkat yang lebih tinggi?


Sebagai contoh, ambillah pelajaran sains atau ilmu pengetahuan alam (IPA). Sains dianggap sebagai mata pelajaran penting dalam kurikulum banyak (atau semua?) negara modern. Tapi sebenarnya, apa tujuan pendidikan sains? Mengapa setiap siswa harus memelajari, misalnya saja, pengukuran suhu dalam skala Celcius, Fahrenheit, Reamur dan Kelvin? Atau mengenai mekanisme fotosintesis pada tumbuhan, atau tentang proses replikasi DNA? 

Saturday, April 18, 2015

Ujian dan Kemampuan Bernalar

Sabtu pagi mencari bahan untuk mahasiswa bimbingan, malah nemu artikel tentang dampak ujian terstandar pada hasil belajar dan motivasi siswa. Riset tentang hal itu sudah banyak, tapi yang ini istimewa dari segi kualitas metode. Para penelitinya menganalisis data longitudinal pada sampel yang mewakili seluruh siswa di Jerman. Para siswa dites literasi/penalaran matematika dan penguasaan materi kurikulum di kelas 9, dan diulang lagi di kelas 10. Mereka juga diminta melaporkan motivasi dan pengalaman emosionalnya terkait sekolah. 

Pada saat data dikumpulkan, sebagian negara bagian di Jerman menetapkan ujian akhir yang terstandar ("central exit exam"), sebagian lagi tidak. Dengan demikian, para peneliti dapat membandingkan pengaruh ujian akhir pada hasil belajar, baik yang kognitif maupun motivasional. 


Thursday, April 2, 2015

Metode "Experience Sampling" untuk Riset Pendidikan

Oleh: Anindito Aditomo

Kemarin sore salah satu jurnal bidang pendidikan favorit saya datang. Terlambat dua bulan, memang. Namun tak mengapa. Jurnal tersebut selalu berisi pemikiran dari orang yang mumpuni di bidangnya, dan yang biasanya juga pandai menulis. Hasilnya adalah sajian yang menginspirasi. 

Tulisan ini akan merangkumkan artikel pertama yang dimuat dalam edisi ini dari jurnal tersebut (Zikel, Garcia, & Murphy, 2015). Topiknya adalah experience sampling method (ESM). Saya belum menemukan padanan istilah yang pas. Terjemah harafiahnya, “Metode Penyuplikan Pengalaman”, malah membuat telinga risih. Jadi untuk sementara saya akan gunakan singkatan dari istilah aslinya saja.

Apa itu ESM? Pada intinya, ESM adalah cara untuk mendapatkan gambaran tentang pengalaman seseorang pada saat ia mengalaminya. “Pengalaman” di sini diartikan secara luas, meliputi pikiran, perasaan, perilaku, serta situasinya. Aspek spesifik mana dari pengalaman yang hendak diukur tentu tergantung tujuan penelitian. Yang penting, ESM hendak melihat pengalaman in situ, dalam konteks nyata, dalam kehidupan sehari-hari responden. 

Ini yang membedakannya dari metode-metode lain. Metode survei, misalnya, meminta responden untuk merefleksikan dan melaporkan pengalaman mereka yang telah lampau. Survei dan juga eksperimen menempatkan responden dalam situasi riset (wawancara, mengisi kuesioner, menjawab telpon, melakukan aktivitas di lab) yang berbeda dari kehidupan sehari-hari responden .

Sebagai contoh, bayangkan seorang peneliti yang tertarik mengetahui pengalaman emosional siswa SMP/SMA saat mengikuti mata pelajaran yang berbeda-beda, dan apakah pengalaman emosional tersebut berdampak pada pilihan kuliah dan karir mereka selanjutnya. Bila menggunakan ESM, peneliti akan meminta siswa melaporkan emosi-emosi yang dirasakan setelah mengikuti sebuah pelajaran. 

Sepintas ini mirip dengan survei tradisional, karena menggunakan kuesioner tertulis. Namun kunci ESM ada pada pengukuran yang kontekstual. Dengan ESM, peneliti akan mengukur pengalaman emosional siswa saat pengukuran itu berlangsung. Peneliti tidak meminta responden untuk mengingat-ingat, misalnya saja, seberapa sering ia merasakan sebuah emosi dalam beberapa minggu terakhir. Konsekuensinya, untuk melihat pengalaman emosional siswa terkait mata pelajaran yang berbeda, peneliti harus mengikuti siswa dari satu kelas ke kelas yang lain. Dengan kata lain, ESM melibatkan pengukuran berulang pada responden yang sama. Karena itu ESM disebut juga sebagai penelitian longitudinal intensif.

Dengan kemajuan teknologi - terutama tablet dan ponsel pintar yang terkoneksi internet - peneliti ESM bisa mengukur berbagai aspek pengalaman, tidak hanya laporan diri (self report) verbal menggunakan kuesioner. Berikut beberapa yang dicontohkan dalam artikel Zikel dkk. (2015). Ahli kesehatan bisa meminta responden memotret makanan yang mereka konsumsi. Ini memungkinkan mereka mengukur berbagai hal yang terkait mungkin memengaruhi keberhasilan diet, seperti kandungan dan jumlah nutrisi, waktu dan frekuensi makan, dll. Peneliti juga bisa meminta responden mengenakan sensor gerak, sehingga bisa memonitor kapan, di mana, dan seberapa lama seseorang beraktivitas fisik.

Banyak potensi kegunaan ESM. Sayangnya metode ini masih sangat jarang digunakan dalam penelitian pendidikan, dan relatif jarang digunakan di ilmu sosial dan perilaku lain. Peneliti psikologi, misalnya, masih lebih senang menggunakan kuesioner dan laporan verbal untuk mengukur berbagai hal, termasuk yang sebenarnya lebih cocok diukur melalui jejak perilaku atau instrumen lain.

Referensi: Zirkel, S., Garcia, J.A., & Murphy, M.C. (2015). Experience-sampling research methods and their potential for education research. Educational Researcher, 44(1), 7-16.

Sunday, February 22, 2015

Kematian yang Menerangi



Oliver Sacks, profesor ilmu syaraf New York University, adalah sedikit diantara ilmuwan hebat yang juga piawai menulis. Salah satu buku klasiknya adalah The Man Who Mistook His Wife for a Hat. Bagaimana mungkin seseorang bisa mengira bahwa istrinya adalah sebuah topi? Rasanya sulit menemukan buku dengan judul yang lebih menerbitkan rasa ingin tahu. Dan memang, buku-buku profesor Sacks adalah penawar bagi rasa takut dan sebal terhadap topik-topik neurosains yg kerap menjangkiti mahasiswa psikologi, termasuk saya. 

Pagi ini saya teringat akan profesor Sacks setelah membaca esainya di harian New York Times. Ternyata profesor yg berusia lebih dari delapan dekade ini baru saja didiagnosis menderita kanker yang tidak bisa disembuhkan. Dalam esainya, profesor Sacks menuturkan bagaimana ia menyikapi kematian yang hendak menjemput. 

Thursday, February 5, 2015

Kenangan yang Bias

Ingatan kita tentang pengalaman di masa lalu tidaklah objektif.
Sumber foto: http://brainpages.org/wp-content/uploads/2013/02/memory-loss.jpg

Daniel Kahneman, ahli psikologi kognitif penerima Nobel ekonomi, pernah melakukan survei yang unik. Ia mendampingi pasien-pasien yang sedang menjalani kolonoskopi, prosedur medis untuk melihat bagian dalam dari usus dengan cara memasukkan kamera melalui dubur. Setiap beberapa detik ia meminta mereka melaporkan tingkat rasa sakit yang dialami dalam skala rasa sakit nol sampai sepuluh. Tidak seperti sekarang, pada zaman itu kolonoskopi masih dilakukan tanpa anastesi penuh. Bisa dibayangkan betapa tidak menyenangkan prosedur tersebut!

Segera setelah menjalani kolonoskopi, Kahneman meminta tiap pasien menilai seberapa menyakitkan prosedur tersebut secara keseluruhan. Dengan kata lain, Kahneman ingin mengetahui ingatan subjektif tentang totalitas dari pengalaman tidak menyenangkan yang baru saja dialami seseorang. Pertanyaan yang ingin dijawab Kahneman adalah apa yang memprediksi ingatan tentang seberapa menyakitkan sebuah pengalaman.

Friday, August 22, 2014

Langkanya Kenikmatan Belajar di Bangku Kuliah

Motivasi berupa ancaman memang bisa menggerakkan orang, namun apa dampaknya pada proses belajar?

Kira-kira berapa persen mahasiswa di kuliah Anda yang tetap mau belajar, seandainya mereka tidak dinilai atau diancam hukuman apapun? Dengan kata lain, berapa banyak mahasiswa yang belajar karena motivasi intrinsik, yang belajar sampai lupa waktu karena begitu menikmati prosesnya, meski harus mengerahkan banyak pikiran dan tenaga?

Pertanyaan di atas saya ajukan pada para dosen yang mengikuti workshop tentang motivasi belajar mahasiswa siang tadi. Jawaban mereka, sayangnya, tidak mengejutkan. Sebagian besar memperkirakan bahwa hanya 10-20% dari peserta kuliahnya yang mau belajar karena motivasi intrinsik. Sedihnya, saya harus mengakui bahwa perkiraan tersebut juga berlaku untuk mahasiswa di kuliah saya.

Wednesday, August 6, 2014

Membawa Tantangan Membaca ke Surabaya

Tantangan membaca menumbuhkan keinginan dan kemauan, bukan sekedar kemampuan. 
https://www.flickr.com/photos/plymouthlibraries/
Sejak mengenal Reading Challenge (Tantangan Membaca) di Sydney, Australia, saya dan istri (Ade Kumalasari) sangat ingin menggagas program serupa di Indonesia. Secara prinsip, program tersebut sebenarnya sederhana. Pemerintah menyediakan daftar bacaan yang direkomendasikan untuk tiap jenjang sekolah. Sekolah membantu menyediakan buku-buku tersebut di perpustakaan. Guru membantu dengan memotivasi siswa dan memandu aktivitas yang mendukung, seperti membaca mandiri, diskusi kelompok, dan membacakan buku di kelas. Siswa yang membaca sejumlah buku dalam setahun akan diberi sertifikat yang ditandatangani oleh gubernur. 

Program Tantangan Membaca kami rasakan sangat membantu untuk membangun kebiasaan membaca pada anak. Anak menjadi tahu bahwa membaca adalah aktivitas yang dihargai oleh orang dewasa di sekitarnya. Mereka menjadi punya kesempatan untuk saling berbagi dengan bacaannya, untuk merasakan nikmatnya berimajinasi tentang dunia fiksi yang mereka baca. Kesempatan semacam ini sangat penting, terutama untuk anak dari keluarga yang tidak punya tradisi membaca yang baik. Kalau ada satu anak saja di tiap kelas yang sebelumnya ogah menyentuh buku, kemudian menjadi suka dan bisa membaca, program semacam ini sudah sangat berguna.


Tuesday, August 5, 2014

Disiplined Pursuit of Less (1)


Biasanya saya malas membaca buku psikologi populer atau self-help. Bukan karena buku-buku genre itu tidak berguna, atau sekedar pengalaman personal yang kemudian dianggap akan berlaku pada semua orang. Saya tahu ada buku-buku psikologi populer yang bagus, ditulis oleh orang yang ahli, dan tidak melulu berdasarkan pengalaman personal yang sempit. Mungkin keengganan saya membaca buku psikologi populer memang irasional. Entahlah, lain kali saya akan menulis tentang sentimen ini.

Tapi apapun alasannya, beberapa waktu yang lalu saya terpikat pada sebuah buku berjudul “Essentialism: The Disciplined Pursuit of Less”. Dan mungkin karena persekongkolan beberapa faktor – seperti terbatasnya kesempatan membuka laptop dan tidak ramahnya koneksi internet selama mudik lebaran – saya berhasil membaca buku tersebut dengan tuntas. Sesuatu yang semakin jarang bisa saya lakukan, gara-gara padatnya jadwal mengajar dan aktivitas kerja rutin lainnya. 

Monday, May 19, 2014

Otonomi Profesional Guru dan Kualitas Pendidikan

Oleh: Anindito Aditomo | Pertama terbit 19 Mei 2014 di MEDIA INDONESIA

PEKAN lalu seorang pelajar SMA dari Surabaya menulis sebuah surat terbuka untuk M Nuh, menteri pendidikan dan kebudayaan. Surat itu berisi kritik yang tajam, dengan logika yang baik, tetapi dalam bahasa yang santun. Substansi kritik surat tersebut sudah cukup banyak dibahas dan tidak akan saya ulang di sini. Yang saya soroti dalam tulisan ini ialah jawaban M Nuh ketika ditanya wartawan tentang surat tersebut. Alih-alih memberi apresiasi, ia justru tidak percaya bahwa seorang pelajar SMA bisa menulis surat seperti itu.

Respons M Nuh tentu mengecewakan, tetapi tidak mengejutkan. Ketidakpercayaan Pak Menteri sudah bisa diduga karena konsisten dengan arah kebijakan mendasar yang dipilih kementeriannya. Yang pertama ialah penguatan fungsi ujian nasional sebagai penentu kelulusan siswa SMP dan SMA. Yang kedua ialah penggantian kurikulum tingkat satuan pendidikan dengan kurikulum 2013. Kedua kebijakan itu pada dasarnya mencerminkan ketidakpercayaan akut terhadap kapasitas profesional guru sebagai ujung tombak pendidikan. Bila terhadap guru saja M Nuh sangsi, apalagi pada siswa-siswanya?

Profesionalitas tanpa otonomi

Secara resmi, pemerintah telah mengakui guru sebagai profesional. Hal itu berarti kerja guru diakui sebagai aktivitas yang padat pengetahuan (knowledge-intensive), yang memerlukan keahlian khusus yang diperoleh melalui rangkaian pengalaman belajar sistematis dan ekstensif. Salah satu implikasinya ialah bahwa guru, sebagaimana dokter dan akuntan, seyogianya dipercaya untuk bekerja secara otonom/ mandiri berdasarkan professional judgment mereka.
Kewenangan untuk bekerja secara otonom itu sesuai dengan kerangka kualifikasi nasional yang ditetapkan pemerintah (PP No 8 Tahun 2012). Dalam kerangka itu, kompetensi seorang profesional mencakup kemampuan merencanakan dan mengelola sumber daya dalam lingkup tanggung jawabnya, serta mengevaluasi secara komprehensif hasil kerjanya. Secara finansial, pengakuan profesionalitas guru juga tecermin pada pemberian tunjangan profesional bagi yang telah lulus sertifikasi.

Yang menjadi masalah ialah pengakuan formal dan penghargaan finansial tersebut tidak diikuti dengan pemberian kepercayaan (trust). Justru sebaliknya, pemerintah mengebiri kewenangan guru dalam melaksanakan aktivitas profesionalnya. Salah satu aspek kunci aktivitas mengajar ialah melakukan assessment hasil belajar siswa. Namun, melalui kebijakan ujian nasional pada SMP dan SMA (serta ujian daerah untuk tingkat SD), pemerintah pada dasarnya mengatakan guru tidak bisa dipercaya melakukan evaluasi hasil belajar siswanya sendiri.

Sebaliknya, evaluasi pembelajaran hanya bisa dilakukan tim pakar dari pusat, melalui ujian yang isinya dijadikan rahasia negara. Paket soal pun dibuat sampai 20 jenis, untuk memastikan siswa (dan para gurunya) tidak bisa saling menyontek. Bahkan ada daerah yang sampai menyadap telepon seluler para guru agar mereka tidak membocorkan soal ujian.

Pesan yang disampaikan implisit, tapi gamblang: pemerintah tidak percaya bahwa guru bisa mampu merancang soal ujian yang baik, atau dapat menilai muridnya sendiri dengan objektif. Ini ibarat pemerintah, melalui Departemen (Kementerian) Kesehatan, ngotot menguji hasil diagnosis dan pengobatan setiap orang yang mendapat pelayanan dari dokter di Indonesia. Tentu itu pemikiran yang absurd. Namun, itulah yang terjadi pada di dunia pendidikan.

Namun, bukan hanya itu. Pemerintah juga mencabut kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang belum genap 10 tahun diterapkan. Salah satu landasan filosofis KTSP ialah yang mengetahui konteks dan kebutuhan bela jar siswa ialah guru dan sekolah. Dengan demikian, sekolah diberi kewe nangan untuk menyusun kuri kulumnya sendiri, dengan mengacu ke beberapa capaian belajar nasional. Guru juga harus membuat rencana ajar (lesson plan) mereka sendiri. Tentu itu menuntut keahlian profesional tersendiri.

Otonomi itu dicabut dengan berlakunya kurikulum 2013. Sekolah tidak lagi boleh menyusun kurikulumnya sendiri. Guru pun diminta untuk sekadar melaksanakan lesson plan yang telah disiapkan tim dari pusat. Bahkan buku ajar dan materi lain juga dipasok. Materi dan proses pengajaran dari Aceh sampai Papua, untuk kota megapolitan Jakarta sampai desa pelosok terpencil, diharapkan sama. Guru pun berhenti menjadi profesional dan beralih menjadi tukang penyampai informasi.

Mencari presiden yang pro-guru

Apakah keadaan ini menunjang proses pembelajaran? Apakah dalam keadaan seperti ini, guru dapat mengajar dengan inovatif? Apakah siswa menjadi bersemangat untuk belajar dan haus pengetahuan? Tak dimungkiri, ada sebagian guru yang lebih senang dengan pengebirian otonomi profesionalnya. Apalagi disertai dengan reward finansial berupa tunjangan profesi yang relatif besar bagi mereka.

Namun, untuk sebagian besar yang lain, uang saja tidak akan menumbuhkan keinginan intrinsik untuk menjadi kreatif dan inovatif. Sebuah teori psikologi klasik mengatakan uang hanyalah faktor yang mencegah seseorang untuk berhenti kerja. Uang tidak dapat membuat seseorang menyenangi dan mau mencurahkan segenap jiwa untuk pekerjaannya. Untuk itu, ada kebutuhan-kebutuhan psikologis yang mesti dipenuhi, seperti otonomi dan kompetensi. Kebutuhan akan otonomi terpenuhi ketika seseorang diberi kepercayaan dan kesempatan untuk berpikir dan kemudian bertindak mandiri. Kebutuhan kompetensi terpenuhi ketika pekerjaan seseorang memungkinkannya untuk terus tumbuh, menguasai pengetahuan dan keterampilan baru.

Momentum pemilu tahun ini membuka harapan bahwa presiden baru akan terbuka untuk melakukan reformasi mendasar di bidang pendidikan. Apa yang harus dilakukan? Solusi jangka pendeknya sebenarnya amat jelas. Pertama, hentikan penggunaan ujian nasional sebagai komponen penentu kelulusan siswa dan kembalikan wewenang evaluasi kepada guru dan sekolah. Itu sejalan dengan Pasal 58 UU No 20/2003 yang menyatakan evaluasi hasil belajar siswa dilakukan pendidik, serta Pasal 61 yang menegaskan ujian diselenggarakan satuan pendidikan.

Kedua, cabut kurikulum 2013, dan kembali berlakukan KTSP. Ini juga sejalan dengan UU No 20/2003 Pasal 36 sampai 38, yang menjelaskan bahwa pengembangan kurikulum dilakukan satuan pendidikan berdasarkan prinsip `diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik’. Kurikulum yang seluruh perangkat pendukungnya dibuat secara terpusat jelas melanggar prinsip itu. Kedua kebijakan korektif itu ialah langkah awal yang memungkinkan guru untuk mengajar secara lebih bermakna, bukan sekadar untuk menuntaskan materi dan mengejar nilai ujian.

Untuk jangka menengah dan panjang, pemerintah harus serius meningkatkan kualitas guru serta menutup kesenjangan antardaerah. Hal itu dimulai dengan reformasi lembaga pendidikan guru dan sistem pengembangan kompetensi berkelanjutan untuk guru yang sudah mengajar. Sediakan bank soal untuk topik-topik penting, latih para guru untuk merakit tes yang diperlukan, kemudian percayakan pada mereka untuk mengevaluasi muridnya. Tanpa kepercayaan kepada guru, sampai kapan pun pendidikan kita akan jalan di tempat, atau bahkan mundur teratur.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...