Oleh: Anindito Aditomo

  Australia
 memiliki 6 negara bagian (NSW, WA, QLD, VIC, SA, dan TAS) dan 2 
teritori otonom (NT dan ACT). Negara-negara bagian tersebut lahir 
sebelum Australia terbentuk sebagai federasi. Karena itu tiap negara 
bagian punya kebanggaan atas identitas uniknya sendiri. Tidak terlalu 
mengherankan jika baru sekarang ini Australia mulai mengembangkan 
kurikulum nasional.
Secara historis, pendidikan di Australia 
memang berada dalam lingkup wewenang dan tanggung jawab negara bagian. 
Karena itu tidak heran jika tiap negara bagian memiliki sistem 
pendidikan yang berbeda-beda. Adanya kurikulum nasional yang baru 
digagas belakangan tentu akan mengurangi perbedaan antar negara bagian. 
Namun kurikulum nasional tidak mencakup kelas 11 dan 12, dan karena itu 
tidak akan mengubah sistem pemberian ijazah SMA. Kurikulum nasional juga
 tidak akan mengubah perbedaan dalam model kepegawaian masing-masing 
departemen pendidikan. Bahkan untuk kurikulum sampai kelas 10 pun, tiap 
negara bagian memiliki tafsirnya sendiri-sendiri (more in this in 
another article).
Meski banyak perbedaan, saya juga menangkap 
adanya beberapa persamaan mendasar antar negara bagian. Atau setidaknya,
 antara dua negara bagian yang saya kunjungi (Victoria dan NSW). Salah 
satu persamaan tersebut adalah kebijakan terkait transisi kurikulum. 
Dalam hal ini, baik NSW maupun Victoria memberi waktu setidaknya 1 tahun
 bagi semua guru untuk melihat dan memahami kurikulum baru sebelum 
benar-benar diberlakukan.
Sebagai contoh, katakanlah pemerintah 
NSW selesai mengadaptasi kurikulum nasional untuk pelajaran Sejarah pada
 awal 2015. Pada titik tersebut, guru sudah bisa mengakses bukan saja 
deskripsi capaian pembelajaran dan apa yang perlu dipelajari (konten) 
untuk pelajaran sejarah, tapi juga resources lain seperti contoh materi 
bacaan, video, contoh tugas, dan contoh rubrik penilaian. Kurikulum 
tersebut baru akan diumumkan dan diberlakukan paling cepat pada awal 
2016.
Masa percobaan tersebut memberi kesempatan bagi guru dan 
sekolah untuk “mencicipi” kurikulum baru, sekaligus memberi masukan bagi
 perbaikannya. Dengan demikian, guru punya waktu untuk mencoba membuat 
lesson plan, mencari atau memadu-padankan bacaan atau resources lain, 
membuat tugas asesmen dan rubrik penilaian yang cocok untuk kelasnya. 
Mereka juga boleh mencoba menerapkannya di kelas, meski kurikulum 
tersebut belum berlaku resmi.
Mengapa perlu waktu satu tahun 
penuh untuk mencicipi kurikulum baru? Pendekatan ini, menurut saya, 
mencerminkan beberapa keyakinan mendasar tentang pendidikan dan profesi 
guru.
Pertama, pendekatan ini mencerminkan keyakinan bahwa 
mengajar adalah pekerjaan yang sangat kompleks. Mengajar bukan sekedar 
penerapan langkah-langkah yang dituliskan oleh pemerintah dalam sebuah 
dokumen. Dengan kata lain, mengajar tidak bisa dilakukan secara 
prosedural semata. Penerjemahan kurikulum tertulis menjadi proses 
pembelajaran membutuhkan basis pengetahuan yang kompleks. Pengajaran 
yang baik mensyaratkan integrasi antara pengetahuan tentang 
karakteristik siswa, karakteristik kelas, batasan-batasan (constraint) 
fisik dan administratif, metode pengajaran, penggunaan teknologi dan 
media digital, selain tentu saja konten pelajaran dan tuntutan 
kurikulum.
Berbagai pengetahuan ini tidak cukup sekedar 
“diketahui”, tapi musti dikuasai secara mendalam. Penguasaan yang 
mendalam inilah yang memungkinkan pelajaran berlangsung lancar, tapi 
sekaligus adaptif terhadap respon siswa. Konsekuensinya, persiapan 
penerapan kurikulum tidak mungkin didasarkan pada pelatihan top-down 
yang berlangsung dalam 3 atau 4 hari, apalagi “pelatihan” berbasis 
presentasi Powerpoint. Yang diperlukan guru dan sekolah adalah dukungan 
resources (bahan ajar, contoh asesmen, rubrik, dll) yang beragam dan 
dalam jumlah besar, serta kesempatan untuk mencoba menerapkannya tanpa 
ancaman penalti.
Kedua, pendekatan tersebut juga mencerminkan 
kepercayaan terhadap guru dan sekolah. Bahwa guru dan sekolah akan 
bertindak in the students’ best interest, untuk kepentingan pembelajaran
 siswa. Dan karena tiap siswa, kelas, dan sekolah memiliki karakteristik
 dan kebutuhan yang berbeda-beda, pemerintah NSW dan Victoria memberi 
otonomi yang luas pada guru/sekolah untuk menafsirkan dan menerapkan 
kurikulum baru. 
Apakah berarti bahwa kualitas guru dan sekolah 
di Australia sudah seragam (dan seragam pada tingkat yang baik)? Tidak 
sepenuhnya juga, dan karena itu pemberian otonomi juga mengandung 
risiko. Namun demikian, mereka tampaknya merasa bahwa otonomi, dengan 
segala risikonya, adalah alternatif yang lebih baik daripada kendali 
terpusat.
NOTE: tulisan di atas didasarkan pada catatan kunjungan
 saya ke beberapa institusi pendidikan di NSW dan Victoria, sebagai 
bagian dari delegasi Balitbang Kemendikbud RI, 12-18 September 2015. Bila ada ketidakakuratan faktual dalam tulisan ini, mohon koreksinya.