Tulisan
ini akan merangkumkan artikel pertama yang dimuat dalam edisi ini dari
jurnal tersebut (Zikel, Garcia, & Murphy, 2015). Topiknya adalah
experience sampling method (ESM). Saya belum menemukan padanan istilah
yang pas. Terjemah harafiahnya, “Metode Penyuplikan Pengalaman”, malah
membuat telinga risih. Jadi untuk sementara saya akan gunakan singkatan
dari istilah aslinya saja.
Apa itu ESM? Pada
intinya, ESM adalah cara untuk mendapatkan gambaran tentang pengalaman
seseorang pada saat ia mengalaminya. “Pengalaman” di sini diartikan
secara luas, meliputi pikiran, perasaan, perilaku, serta situasinya.
Aspek spesifik mana dari pengalaman yang hendak diukur tentu tergantung
tujuan penelitian. Yang penting, ESM hendak melihat pengalaman in situ,
dalam konteks nyata, dalam kehidupan sehari-hari responden.
Ini yang
membedakannya dari metode-metode lain. Metode survei, misalnya, meminta
responden untuk merefleksikan dan melaporkan pengalaman mereka yang
telah lampau. Survei dan juga eksperimen menempatkan responden dalam
situasi riset (wawancara, mengisi kuesioner, menjawab telpon, melakukan
aktivitas di lab) yang berbeda dari kehidupan sehari-hari responden .
Sebagai
contoh, bayangkan seorang peneliti yang tertarik mengetahui pengalaman
emosional siswa SMP/SMA saat mengikuti mata pelajaran yang berbeda-beda,
dan apakah pengalaman emosional tersebut berdampak pada pilihan kuliah
dan karir mereka selanjutnya. Bila menggunakan ESM, peneliti akan
meminta siswa melaporkan emosi-emosi yang dirasakan setelah mengikuti
sebuah pelajaran.
Sepintas ini mirip dengan survei tradisional, karena
menggunakan kuesioner tertulis. Namun kunci ESM ada pada pengukuran yang
kontekstual. Dengan ESM, peneliti akan mengukur pengalaman emosional
siswa saat pengukuran itu berlangsung. Peneliti tidak meminta responden
untuk mengingat-ingat, misalnya saja, seberapa sering ia merasakan
sebuah emosi dalam beberapa minggu terakhir. Konsekuensinya, untuk
melihat pengalaman emosional siswa terkait mata pelajaran yang berbeda,
peneliti harus mengikuti siswa dari satu kelas ke kelas yang lain.
Dengan kata lain, ESM melibatkan pengukuran berulang pada responden yang
sama. Karena itu ESM disebut juga sebagai penelitian longitudinal
intensif.
Dengan kemajuan teknologi - terutama tablet
dan ponsel pintar yang terkoneksi internet - peneliti ESM bisa mengukur
berbagai aspek pengalaman, tidak hanya laporan diri (self report) verbal
menggunakan kuesioner. Berikut beberapa yang dicontohkan dalam artikel
Zikel dkk. (2015). Ahli kesehatan bisa meminta responden memotret
makanan yang mereka konsumsi. Ini memungkinkan mereka mengukur berbagai
hal yang terkait mungkin memengaruhi keberhasilan diet, seperti
kandungan dan jumlah nutrisi, waktu dan frekuensi makan, dll. Peneliti
juga bisa meminta responden mengenakan sensor gerak, sehingga bisa
memonitor kapan, di mana, dan seberapa lama seseorang beraktivitas
fisik.
Banyak potensi kegunaan ESM. Sayangnya metode
ini masih sangat jarang digunakan dalam penelitian pendidikan, dan
relatif jarang digunakan di ilmu sosial dan perilaku lain. Peneliti
psikologi, misalnya, masih lebih senang menggunakan kuesioner dan
laporan verbal untuk mengukur berbagai hal, termasuk yang sebenarnya
lebih cocok diukur melalui jejak perilaku atau instrumen lain.
Referensi:
Zirkel, S., Garcia, J.A., & Murphy, M.C. (2015).
Experience-sampling research methods and their potential for education
research. Educational Researcher, 44(1), 7-16.