Saturday, May 30, 2020

MUTU GURU DAN PENGAJARAN

Oleh: Anindito Aditomo


Praktik pengajaran seperti apa yang perlu diukur secara nasional dan dipromosikan oleh pengambil kebijakan pendidikan? Tentu praktik-praktik yang terbukti efektif membantu murid belajar. Tapi praktik seperti apa saja itu, persisnya?
 
Untuk membantu menjawab pertanyaan ini, semalam saya mempelajari lagi karya-karya John Hattie. Orang New Zealand yang sekarang menjadi profesor di Melbourne University ini tentu bukan nama yang asing bagi pemerhati pendidikan. Ia tergolong sebagai superstar di kalangan peneliti pendidikan.
Sebenarnya, studi-studi empiris Hattie sendiri tidak terlalu istimewa. Namun ia adalah seorang synthesiser dan komunikator par excellence. Ia dengan tekun dan sistematis mengumpulkan bukti-bukti empiris terbaik mengenai dampak dari berbagai faktor terhadap hasil belajar murid. Hasilnya tersebut kemudian ditampilkan dengan metafora yang simpel dan visualisasi yang cantik sehingga mudah dimengerti.
 
Hattie pertama kali menuangkan hasil sintesisnya secara komprehensif dalam buku Visible Learning. Terbit tahun 2008, buku itu segera menjadi karya yang berpengaruh luas. Dalam buku tersebut, Hattie menampilkan rangking berbagai faktor - termasuk beragam metode dan kebijakan pembelajaran - berdasarkan dampaknya pada hasil belajar murid.
 
Sebagai contoh, pemberian umpan balik, reciprocal teaching, and diskusi kelas adalah metode dan praktik yang berdampak besar dan karena itu rangkingnya tinggi dalam daftar Hattie. Cooperative learning, pemberian PR (homework), dan lingkungan rumah (keluarga) adalah faktor-faktor yang dampaknya tergolong moderat. Sedangkan individualised instruction, mengurangi jumlah siswa per kelas, dan mencocokkan gaya belajar hanya berdampak kecil, bahkan tidak signifikan, pada hasil belajar.
 
Sayangnya, banyak pembaca karya Hattie yang terpaku pada rangking ini. Fokus pada rangking ini tidak produktif karena banyak faktor dalam rangking Hattie merupakan kategori yang maknanya luas. Diskusi kelas dan PR, misalnya, bisa diterapkan dalam berbagai bentuk. Efektivitas diskusi kelas dan PR bisa jadi sangat berbeda tergantung pada bentuk spesifik, cara menerapkan, dan konteks penerapannya (pada siapa, di sekolah mana, dst.).
 
Selain itu, sebagian besar studi yang menjadi dasar rangking Hattie mengukur hasil belajar dengan skor tes prestasi. Meski penting, tes prestasi tidak mencerminkan hasil belajar afektif seperti motivasi intrinsik dan metakognisi yang justru amat menentukan apakah murid akan menjadi pembelajar sepanjang hayat.
 
Hattie sendiri sangat menyadari keterbatasan dari rangking yang ia buat. Kemanfaatan sintesis Hattie bukanlah untuk mengidentifikasi dan mempromosikan metode, praktik, atau intervensi pendidikan tertentu. Kemanfaatan utamanya ada pada pesan yang tercermin pada judul buku Hattie, Visible Learning: karena dampak dari pengajaran itu bisa sangat beragam (ada yang efektif dan ada yang tidak), guru harus selalu berupaya mengevaluasi pengajaran yang ia terapkan.
 
Ini berarti guru perlu mengubah cara pandangnya terhadap asesmen. Guru perlu melihat asesmen hasil belajar siswa bukan sebagai evaluasi terhadap murid, melainkan evaluasi terhadap diri dan kualitas pengajarannya! Pentingnya refleksi inilah yang sebenarnya menjadi pesan utama Hattie. Proses dan hasil belajar harus dibuat kasat mata agar guru dapat berefleksi dan terus memperbaiki pengajarannya.
 
Belakangan, Hattie menjadikan pesan ini sebagai fokus dari tulisannya. Bagi pendidik atau pengambil kebijakan yang ingin belajar dari Hattie, saya sarankan untuk memulai dari buku "Visible Learning for Teachers". Akan terlihat jelas bahwa yang diadvokasi Hattie bukanlah metode atau intervensi tertentu, melainkan fokus pada evaluasi reflektif tentang dampak pengajaran dan kebijakan pada hasil belajar.
 
Kembali pada pertanyaan yang mendorong saya membaca lagi karya-karya Hattie: praktik pengajaran seperti apa yang perlu diukur dan dipromosikan oleh pengambil kebijakan? Jawaban yang saya peroleh dari Hattie adalah bahwa fokus kebijakan sebaiknya bukan pada metode, pendekatan, atau praktik pengajaran yang spesifik. Pengajaran yang berkualitas bisa mengambil banyak bentuk. Yang perlu diukur dan dipromosikan adalah kemauan dan kemampuan guru melakukan refleksi berdasarkan bukti empiris tentang dampak pengajaran terhadap hasil belajar murid.
 
Persoalannya, ada banyak "blocker" yang membuat guru jarang mau dan bisa melakukan refleksi berbasis bukti belajar. Mulai dari mindset masing-masing guru, konten kurikulum yang seluas samudra, ujian-ujian yang menekankan pada hafalan, sampai regulasi guru dan paradigma penjaminan mutu sekolah yang terlalu administratif. Ini butuh reformasi menyeluruh yang pasti menjadi semakin menantang dengan adanya pandemi Covid.
 
Satu hal yang memberi harapan adalah paparan tentang transformasi guru dan kepala sekolah yang dituliskan mas Iwan Syahril, Dirjen GTK kemarin di Kompas. Konsep kepemimpinan instruksional yang dipaparkan sejalan dengan pentingnya refleksi berbasis bukti hasil belajar. Implementasi visi ini yang perlu kita dukung dan kawal bersama.

Saturday, April 18, 2020

AGAR MERDEKA BELAJAR, KITA PERLU BELAJAR MERDEKA

Oleh: Anindito Aditomo

 
Merdeka belajar dikenal sebagai jargon Mendikbud Nadiem. Tapi sebenarnya ia lebih dari sebuah jargon. Merdeka belajar juga merupakan filosofi atau semangat dasar yang melandasi reformasi pendidikan Kemendikbud saat ini. Filosofi merdeka belajar mengangankan sebuah ekosistem pendidikan di mana para pelakunya berpikir dan bertindak secara otonom untuk memfasilitasi proses belajar murid. 
 
Mewujudkan filosofi merdeka belajar ini bukan hal yang mudah. Persoalan pokoknya adalah bahwa untuk bisa merdeka belajar, kita harus terlebih dahulu belajar untuk merdeka. Agar otonomi bisa membuahkan ekosistem pendidikan yang sehat, para guru, kepala sekolah, pengawas, pejabat dinas perlu terlebih dahulu belajar berpikir dan bertindak secara merdeka untuk kepentingan murid. 
 
Perlunya belajar merdeka ini tercermin dalam respon publik terhadap berbagai inisiatif merdeka belajar Kemendikbud. Terhadap program belajar di TVRI, misalnya, seorang ibu memprotes karena khawatir bahwa program tersebut akan menambah beban anaknya. Apa masih kurang juga beban tugas yang diberikan kepada para murid? Kok masih ditambah dengan tugas menonton televisi sekian jam per hari? 
 
Sekilas protes ibu ini terdengar konyol. Program belajar melalui TVRI dimaksudkan untuk memperluas akses materi belajar di masa wabah Corona. Sekolah ditutup dan murid diminta belajar dari rumah. Persoalannya, banyak siswa yang tidak memiliki koneksi internet atau perangkat digital. Bagi mereka, pembelajaran daring (online) adalah kemewahan yang tak terjangkau. Siaran televisi menjadi cara untuk membuka kesempatan belajar bagi semua kalangan. Program tersebut tidak diniatkan sebagai beban tambahan bagi para murid yang memiliki previlege akses pembelajaran daring.
 
Namun di sisi lain, protes tersebut juga masuk akal. Si ibu tampaknya sudah cukup banyak berurusan dengan guru dan sekolah di Indonesia. Ia bisa menduga bahwa tayangan televisi dari Kemdikbud rentan dianggap sebagai materi yang wajib diberikan kepada murid. Dan benar saja. Tak berselang lama, ada yang melaporkan bahwa guru-guru di sebuah kota diberi tugas - oleh dinas pendidikannya - untuk memastikan para murid menonton program belajar TVRI tersebut. 
 
Persepsi bahwa program belajar TVRI ini "wajib ditonton" mirip dengan persepsi bahwa seluruh konten buku teks "wajib dituntaskan". Keduanya adalah perwujudan dari konsepsi bahwa sekolah pertama-tama adalah sebuah organ negara yang bertugas menerapkan kebijakan pemerintah. Sebagai bagian dari konsepsi tersebut, guru dipandang - dan memandang diri - terutama sebagai pegawai yang bertugas menjalankan aturan dan petunjuk dari atasannya. 
 
Akibatnya, kebebasan justru melahirkan kegamangan bagi banyak guru dan pejabat dinas. Alih-alih melihat tayangan TVRI sebagai resource yang bebas diramu sesuai kebutuhan murid, mereka menunggu "juklak" dan "juknis". Tanpa petunjuk yang jelas, sebagian memutuskan untuk menerapkan praktik yang selama ini lazim: dinas memerintahkan guru untuk memastikan siswa belajar dari TVRI. Pada gilirannya, guru meminta orangtua, yang kemudian memerintahkan anaknya menonton.
Kegamangan atas kebebasan ini bukan hanya terjadi karena wabah. Betul bahwa wabah Corona mengamplifikasi ketidakpastian dan karena itu kebingungan pelaku pendidikan. Tapi kegamangan tersebut sudah terlihat dalam respon terhadap program merdeka belajar sebelum wabah. 
 
Masih ingat kebijakan "RPP satu halaman"? Selama beberapa tahun sebelumnya, RPP atau lesson plan menjadi beban yang tidak bermakna - kecuali untuk memenuhi syarat administratif akreditasi, pengawasan sekolah, dan sertifikasi. RPP dibuat berlembar-lembar, terkadang sampai puluhan halaman, demi memenuhi format yang "diwajibkan" oleh otoritas seperti pengawas, pejabat dinas, atau para instruktur dari kementerian. 
 
Kebijakan "RPP satu halaman" berusaha mengembalikan pembuatan RPP pada esensinya, yaitu sebagai proses refleksi dan perbaikan rencana pengajaran. Kebijakan tersebut mengingatkan bahwa RPP sejatinya membantu guru untuk berpikir tentang tiga hal: tujuan belajar, aktivitas untuk mencapai tujuan, dan cara mengetahui apakah tujuan itu telah tercapai. Poin "1 lembar" hanyalah untuk menegaskan bahwa RPP tidak harus rumit dan berlembar-lembar. 
 
Tapi apa yang terjadi? Tidak sedikit guru yang merespon dengan pertanyaan seperti "Formatnya seperti apa?", "Apakah surat edaran ini tidak menyalahi regulasi?", dan "Bagaimana kalau disalahkan oleh kepala sekolah atau pengawas?" Tak lama kemudian muncullah format-format "RPP satu halaman" yang sebagian diperjualbelikan. Respon yang sama sekali tidak mengejutkan jika sekolah dipahami terutama sebagai kepanjangan tangan dari negara dan guru sebagai pelaksana kebijakan pemerintah.
Pun demikian dengan kebijakan yang mengembalikan penilaian (asesmen) kelulusan sepenuhnya kepada sekolah. Sebelumnya, kelulusan masih ditentukan oleh USBN alias Ujian Sekolah Berstandar Nasional. Meski bernama ujian sekolah, USBN sebenarnya adalah versi lokal dari Ujian Nasional. Seperempat soal tesnya berasal dari Kemdikbud, dan sisanya dibuat di bawah koordinasi dinas pendidikan.
 
Pada akhir 2019, Kemdikbud menegaskan bahwa penilaian siswa sepenuhnya merupakan wewenang sekolah. Bukan Kemdikbud, dan bukan pula dinas pendidikan. Dengan kata lain, guru dan sekolah diberi kebebasan untuk merancang dan melakukan penilaian akhir jenjang yang menentukan kelulusan murid. Seperti bisa diduga, kebebasan ini menimbulkan kegamangan. Bagaimana cara saya menilai murid? Penilaian seperti apa yang boleh saya gunakan?
 
Memang, sebagian kegamangan menghadapi merdeka belajar bersumber pada keterbatasan pengetahuan dan keterampilan guru. Banyak guru yang belum terampil melakukan perencanaan pembelajaran. Tanpa format RPP yang jelas, mereka bingung harus melakukan dan menuliskan apa. Banyak guru yang belum terampil merancang dan melakukan penilaian. Tanpa USBN yang sudah disiapkan oleh pemerintah, mereka pun tidak tahu apa yang harus dilakukan.
 
Tapi keterbatasan pengetahuan dan keterampilan ini hanya sebagian dari persoalan. Bahkan, hal ini bisa dianggap sebagai akibat atau buah dari persoalan yang lebih mendasar tadi: konsepsi bahwa sekolah adalah organ negara dan guru adalah pelaksana kebijakan pemerintah. Konsepsi inilah yang membuat guru selama ini TIDAK DIBERI kesempatan untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan profesionalnya.
 
Konsepsi sekolah sebagai organ negara ini adalah warisan Orde Baru. Sistem pendidikan secara sistematis dibangun melayani fungsi konservasi status quo dan stabilitas politik. Hal ini tercermin dari berbagai aspek persekolahan, mulai dari seragam, ritual-ritual semacam upacara bendera, ektra kurikuler seperti baris berbaris, penataran P4, kewajiban guru menjadi anggota Golkar, konten kurikulum yang hampir sepenuhnya dibuat terpusat, pelatihan guru yang juga terpusat, dan banyak lagi.
 
Secara tidak sadar, warisan Orde Baru ini masih kuat berakar dalam cara berpikir banyak guru, kepala sekolah, dan pejabat pendidikan kita. Studi etnografi yang dilakukan Christopher Bjork menggambarkan mindset warisan Orde Baru ini dengan gamblang. Pada awal studinya, Bjork melihat bahwa para guru dan kepala sekolah (dan orangtua!) tidak melihat bahwa tugas utama mereka adalah meningkatkan mutu belajar murid. Alih-alih terfokus pada kualitas pembelajaran, sebagian besar guru dan kepala sekolah tampak lebih peduli pada ritual dan administrasi. Guru-guru yang kerap terlambat datang ke kelas, misalnya, ternyata selalu disiplin dalam mengikuti upacara bendera. 
 
Dari studinya, Bjork menyimpulkan bahwa penyebabnya terletak pada bagaimana para pelaku pendidikan melihat pekerjaan dan diri mereka dalam relasinya dengan negara: 
 
"It soon became clear to me that participants in the Indonesian education system did not conceive their work as an individual undertaking. Instead, their observations communicated a sense of acceptance of a status quo over which they had little influence." 
 
Dengan kata lain, para guru dan kepala sekolah yang ditemui Bjork tidak melihat diri mereka sebagai individu yang memiliki otonomi profesional. 
 
Studi Bjork dilakukan pada penghujung masa Orde Baru. Ketika itu, Kemendikbud sedang memulai upaya menumbuhkan otonomi sekolah dan dinas pendidikan. Inisiatif utamanya adalah pemberian ruang 20% untuk "muatan lokal" dalam kurikulum sekolah. Setelah reformasi, otonomi ini terakselerasi dan mewujud dalam bentuk desentralisasi pengelolaan sekolah. Guru tidak lagi menjadi "anak buah" Mendikbud, melainkan kepala daerah. Manajemen sekolah pun menjadi kewenangan dinas pendidikan.
 
Namun desentralisasi ini tampaknya berhenti pada tataran manajerial-administratif. Dari perspektif guru dan kepala sekolah, otoritas negara hanya berpindah tempat saja dari Jakarta ke kantor dinas pendidikan wilayahnya masing-masing. Perubahan tersebut tidak mengutak-atik mindset lawas guru sebagai pelaksana kebijakan pemerintah. 
 
Mindset inilah yang sedang berusaha diubah oleh Kemendikbud melalui merdeka belajar-nya. Tapi merdeka belajar - almost by definition - bukan sesuatu yang bisa diperintahkan. Perintah menteri atau presiden sekali pun tidak bisa membuat orang berpikir dan bertindak secara merdeka! Mau tak mau, Kemendikbud harus menemukan cara agar para pelaku pendidikan belajar untuk merdeka. 
 
Perubahan mindset, perubahan budaya kerja dalam sistem pendidikan Indonesia yang masif ini adalah contoh paripurna dari sebuah "wicked problem". Sebuah permasalahan ambigu dengan begitu banyak bagian yang saling mempengaruhi sehingga memerlukan solusi radikal dan sistemik. Apakah anda punya gagasan yang bisa menjadi bagian dari solusinya?

Wednesday, April 8, 2020

NALAR KRITIS ADALAH BAGIAN ESENSIAL DARI KARAKTER

Oleh: Anindito Aditomo 
 
 
Pagi ini diminta menjadi narasumber FGD pendidikan karakter yang diadakan Ayu Kartika Dewi, stafsus presiden, bersama Semua Murid Semua Guru (SMSG). Mau ngomong apa lagi kalau bukan soal pentingnya penalaran dalam pendidikan karakter. Topik lawas yang sudah hampir 10 tahun saya omongkan. Semoga belum bosan 🙂

Berbicara tentang pendidikan karakter dari perspektif psikologi, satu poin yang ingin saya sampaikan adalah bahwa sebenarnya tidak pemisahan tegas antara karakter dan kognisi. 
 
Dikotomi antara pendidikan karakter dan pendidikan akademik adalah dikotomi palsu. Lebih jauh lagi, ini dikotomi yang menyesatkan dan bisa menghambat reformasi pendidikan. 
 
Mengapa demikian? Pendidikan karakter kerap diasosiasikan dengan moral dan moralitas. Pendidikan karakter dianggap berhasil peserta didik menunjukkan perilaku yang bermoral. Ini tidak keliru.
 
Yang keliru adalah asumsi bahwa perilaku atau tindakan bermoral ini bisa dipisahkan dari kompetensi kognitif. Justru sebaliknya: sebuah tindakan bisa dikatakan bermoral hanya jika ia dilandasi penalaran (reasoning): pemikiran yang sadar dan sistematis tentang bagaimana prinsip-prinsip moral yang abstrak bisa diterapkan dalam situasi kompleks yang melibatkan pilihan-pilihan yang biasanya ambigu.
Saya ambil beberapa contoh sederhana.
  • Mengurangi penggunaan plastik hanya menjadi tindakan bermoral jika dilandasi pengetahuan tentang bagaimana pola konsumsi bisa berdampak pada ekonomi dan lingkungan. Jika dilakukan karena diharuskan sekolah, atau karena ikut-ikutan tren, maka apakah itu bisa dianggap sebagai perilaku yang bermoral? Bagi saya jawabannya tidak. 
  • Perilaku antri secara tertib hanya menjadi tindakan bermoral ketika dilakukan atas kesadaran bahwa memotong antrian sama saja dengan mengambil hak orang lain. Bahwa memotong antrian, pada tataran abstraksi tertentu, tak jauh beda dari mencuri: mengambil sesuatu yang menjadi hak orang lain. Jika antri sekadar karena diharuskan, karena takut dimarahi, apakah bisa dianggap perilaku bermoral? Menurut saya tidak.
Hal yang sama berlaku untuk berbagai perilaku yang kerap kita kaitkan dengan tujuan pendidikan karakter:
  • Tertib berlalu lintas: berhenti ketika lampu merah, parkir hanya di lokasi yang diperbolehkan, tidak menyerobot jalur antrian, dll.
  • Kejujuran di tempat kerja: tidak korupsi, menggunakan waktu kerja untuk keperluan kerja, menggunakan wewenang dan jabatan hanya untuk kepentingan profesional, bukan untuk kepentingan pribadi, dll.
 Kemampuan berpikir abstrak, berpikir sistematis, dan berpikir kritis adalah bagian esensial dari perilaku moral. Bagian esensial dari apa yang biasa disebut sebagai karakter. Pendidikan karakter tidak bisa dipisahkan dari pengembangan kompetensi berpikir. Justru sebaliknya, pendidikan karakter tidak mungkin berhasil jika tidak melibatkan pengembangan penalaran. 

Karena itu pendidikan karakter bisa dan seharusnya embedded dalam berbagai mata pelajaran. Pelajaran bahasa Indonesia, bahasa Inggris, IPA, IPS, dan matematika bisa meminta siswa melakukan analisis situasi dan problem yang kompleks. Sebagian besar mata pelajaran bisa melibatkan aktivitas debat yang mengasah kemampuan melihat sebuah isu dari berbagai perspektif. Juga membiasakan siswa menerima kritik dan menumbuhkan kerendahan hati untuk mengakui kesalahan. 
 
Sekali lagi, dikotomi antara pendidikan karakter dan pendidikan "kognitif" atau akademik adalah dikotomi yang menyesatkan. Tidak ada pengembangan karakter tanpa pengembangan kemampuan bernalar. Upaya apa pun untuk mengembangkan karakter siswa harus melibatkan pengembangan daya nalar.

Sunday, March 22, 2020

Belajar Mengenal Musuh: Bagaimana Virus Corona Menyebar

Oleh: Anindito Aditomo

Dalam perang, pengetahuan tentang musuh adalah prasyarat untuk menang. Demikian juga dengan perang melawan virus Corona. Kelangsungan hidup kita bergantung pada kemauan dan kemampuan kita semua untuk belajar dan memahami virus yang menjadi musuh bersama ini. Nah, apa yang sudah anda ketahui tentang virus Vorona dan Covid-19, penyakit yang ditimbulkannya?

Sunday, December 1, 2019

Antara Moral dan Nalar

Oleh: Anindito Aditomo

Dalam sebuah forum, Menteri Nadiem ditanya tentang pendidikan karakter. Jawabannya ringkas dan bagus. Intinya, pendidikan karakter dan pengembangan nalar itu sebenarnya bisa menjadi satu paket.
 
Jawaban tersebut mengingatkan saya pada komentar pendek yang pernah saya tulis saat Jokowi pertama mencetuskan revolusi mental-nya. Saya elaborasi sedikit di sini karena masih sangat relevan. Apalagi presidennya masih sama dan masih ingin mengembangkan pendidikan karakter 😛
 
Bagi banyak orang, pendidikan karakter adalah hal terpisah dari pendidikan akademik. Lebih dari itu, sekolah juga sering dituduh terlalu mengembangkan sisi kognitif siswa. Karena itu sekolah seharusnya mengurangi fokus pada kognisi, dan lebih banyak mengembangkan karakter siswa.
 
Pandangan semacam ini dilandasi salah kaprah tentang karakter dan moralitas. Juga salah kaprah tentang pendidikan akademik. Seolah-olah karakter dan kognisi itu bisa dipisahkan. Seolah-olah pelajaran akademik itu tidak bermoral, atau setidaknya devoid of moral values. Keliru! Moral vs nalar adalah dikotomi palsu.
 
Di satu sisi, pelajaran akademik mustinya tidak semata-mata mengembangkan pengetahuan, tapi juga tata nilai, sikap, dan keyakinan yang relevan dengan disiplin ilmunya. Ambil contoh sains. Ya, belajar sains adalah belajar memahami alam melalui konsep-konsep kimia, fisika, dan biologi. Tapi belajar sains seharusnya juga mengembangkan karakter ilmiah: nilai, sikap, kebiasaan, dan keyakinan yang menjadi ciri ilmuwan yang baik.
 
Misalnya, di antara watak ilmuwan adalah kerendahan hati intelektual. Ilmuwan yang baik akan mau - bahkan secara otomatis - menguji keyakinannya secara empiris. Ia juga akan mau merevisi keyakinan tersebut bila memang tidak terbukti. Asyik sekali kan kalau lebih banyak siswa, dan orang dewasa, yang punya kerendahan hati intelektual? Dunia medsos akan jauh lebih damai 😃
 
Di sisi lain, pelajaran moral seharusnya tidak sekadar menanamkan nilai, sikap, keyakinan, dan kebiasaan. Pelajaran moral mustinya juga mengembangkan daya nalar siswa tentang isu-isu moral. Siswa yang memahami dampak plastik pada lingkungan akan punya alasan untuk memilah sampah dan mungkin mengubah gaya hidupnya. Siswa yang mengerti kaitan antara perilaku korup, sekecil apa pun, dengan tatanan masyarakat akan lebih mungkin berpikir sekian kali sebelum ikut-ikutan mentoleransi korupsi.
 
Dalam pelajaran agama pun demikian. Siswa yang memahami apa itu riba dalam konteks sosial masyarakat Arab zaman Nabi akan lebih bijak dalam menyikapi sistem perbankan modern. Siswi muslim yang memahami keragaman pendapat ulama tentang batas aurat perempuan, serta fungsi jilbab dalam konteks sosial yang berbeda-beda, akan lebih mantap dengan pilihan personalnya dalam berbusana - apa pun pilihan tersebut dan di mana pun ia hidup.
 
Bukankah asyik jika lebih banyak siswa dan orang dewasa yang bisa bernalar tentang agama? Orang akan lebih mudah mengenali penipuan berkedok agama seperti paket umrah murah, investasi kebun kurma, sampai iming-iming utopia negara Islam di Irak-Suriah. [Maaf hanya mengambil contoh dari agama Islam, sekadar karena ini yang saya tahu. Saya yakin di agama lain pun ada isu-isu serupa.]
 
Kembali pada jawaban mas Menteri Nadiem. Menurutnya, pendidikan karakter adalah soal prinsip-prinsip dasar kehidupan. Semacam golden rules tentang bagaimana menjalani hidup. Dalam konteks Indonesia, Pancasila merupakan prinsip-prinsip dasar untuk bisa hidup bersama sebagai bangsa. Pancasila seharusnya tidak diajarkan sebagai doktrin semata. Siswa seharusnya diberi contoh dan pengalaman menghidupkan Pancasila di ruang-ruang kelas.
 
Mas menteri memberi contoh sederhana: rancang aktivitas belajar yang membuat siswa berkolaborasi dengan rekannya yang berbeda pendapat. Atau yang berbeda semangat dan gaya kerja. Aktivitas tersebut bisa menjadi kesempatan untuk belajar tentang cara menyikapi perbedaan pendapat dan mengelola konflik.
 
Semoga ini sudah cukup meyakinkan anda bahwa moral vs. nalar, atau karakter vs. kognisi, adalah dikotomi palsu. Saya tutup dengan pengingat tentang konsekuensi pemisahan antara pendidikan akademik dan pendidikan karakter. 
 
Inilah yang kita praktikkan selama ini: pendidikan akademik yang mengabaikan karakter intelektual, dan pendidikan moral yang mengabaikan daya nalar. Apa hasilnya? Kognisi jeblok, moralitas ambyar🤦‍♂️
 
Sudah saatnya guru-guru sains, matematika, bahasa, sejarah dll. belajar tentang karakter ilmiah yang menjadi ciri disiplin ilmunya. Sudah saatnya guru-guru pelajaran moral belajar mengajarkan nilai dan keyakinan dengan cara yang bernalar.
 
Keterangan gambar: soal karakter intelektual saya merujuk pada gagasan-gagasan Ron Ricthhart .

Monday, July 29, 2019

IMPOR REKTOR, JALAN PINTAS YANG SALAH ARAH

Oleh: Anindito Aditomo
 
Setelah wacana impor dosen, Menristekdikti juga berencana mengimpor rektor. Tampaknya strategi impor-imporan ini memang menjadi resep utama Kementerian untuk menempatkan universitas kita dalam papan atas ranking dunia. 
 
Seberapa efektifkah kira-kira strategi ini? Pak menteri menyebutkan kasus universitas-universitas di Singapura yang menerapkan strategi serupa sehingga berhasil menjadi yang terbaik di dunia. Dan betul, impor rektor dan dosen adalah bagian penting dari strategi Singapura dalam mereformasi universitasnya. 
 
Dalam beberapa tahun saja, NTU dan NUS sudah diperhitungkan sebagai universitas kelas dunia. Belakangan, Cina (dan mungkin Malaysia?) juga menerapkan hal serupa dan berhasil melejitkan beberapa universitasnya. Jadi, memang ada preseden bagi keberhasilan strategi dosen dan rektor ini. 
 
Pertanyaannya tentu adalah apakah strategi tersebut akan berhasil di Indonesia? Saya skeptis. Jika tidak menjadi bagian dari perombakan ekologi pendidikan tinggi secara mendasar, impor dosen dan rektor takkan banyak berdampak positif. 
 
Mari pelajari kasus Singapura secara sedikit lebih teliti. Pada 2006, Singapura merekrut Bertil Andersen sebagai penasehat pemerintah di bidang riset. Setahun kemudian, ia diminta memimpin transformasi NTU. Andersen adalah peneliti kawakan asal Swedia yang sebelumnya menjabat sebagai presiden European Science Foundation. 
 
Salah satu hal pertama yang dilakukan Andersen adalah mendatangkan profesor dan peneliti-peneliti muda berbakat dari berbagai universitas top dunia. Sepintas, yang dilakukan Andersen mirip dengan strategi yang hendak diterapkan Kemenristekdikti. Tapi simpulan ini terlalu simplistis. 
 
Pertama, untuk memberi tempat bagi para profesor dan peneliti asing itu, Andersen memecat banyak dosen lama. Ia tak mau repot berusaha mengubah orang-orang lama tersebut menjadi peneliti kelas dunia. Orang-orang dengan mindset lama adalah hambatan dalam proses menciptakan kultur riset dan sistem yang baru. Apakah rektor asing yang akan didapuk memimpin UI, UGM, atau ITB, misalnya saja, akan leluasa memecat para profesor dan dosen-dosen lama di sana? Coba saja kalau berani, dan lihat seberapa lama ia bisa bertahan 😁

Kedua, dan ini yang lebih penting, coba pikirkan mengapa para profesor dan peneliti dari institusi seperti MIT, Caltech, dan Imperial College mau pindah ke Singapura? Yang jelas, bukan karena mereka menikmati suhu dan kelembaban udara negeri tropis. Kebanyakan talenta akademik adalah orang-orang yang punya renjana kuat akan pengetahuan. Mereka ingin bisa meneliti, dan meneliti dengan sebaik-baiknya. 

Apakah orang-orang seperti itu akan mau datang ke Indonesia dan berjibaku dengan mekanisme pendanaan riset yang ajaib? Dengan kewajiban membuat laporan pertanggungjawaban yang lebih mementingkan kelengkapan bon dan meterei daripada substansi ilmiah? Dengan minim dan sulitnya mengimpor alat dan material eksperimen? Dengan tuntutan patuh pada aturan seperti cap jempol sehari dua kali?

Jawabannya adalah, tentu tidak. Mana ada peneliti kelas dunia yang ingin bekerja di lingkungan yang mematikan kreativitas dan daya pikir? Pendek kata, ekosistem akademik pendidikan tinggi kita tidak ramah pada penelitian dan pengembangan ilmu. Jika dipaksakan, strategi impor-imporan dosen/rektor paling banter hanya akan membuahkan hasil seperti liga sepakbola kita.

Yang akan datang hanyalah para pemain dan manajer medioker yang karirnya sudah mentok di tempat asalnya. Jangan mimpi bahwa orang-orang seperti itu bakal membawa klub bola kita ke liga internasional.

Tambahan: Saya diingatkan oleh
Ade soal penyetaraan ijazah. Di satu sisi, dosen-dosen Indonesia lulusan luar negeri diwajibkan untuk datang ke Jakarta untuk "menyetarakan" ijazahnya. Di sisi lain, orang-orang asing kini diundang sebagai penyelamat pendidikan tinggi kita. Sulit untuk tidak merasakan bau inferioritas inlander dalam strategi impor-imporan ini :(  
 
Sumber gambar: https://m.bisnis.com/amp/read/20190728/79/1129550/pemerintah-targetkan-perguruan-tinggi-yang-dipimpin-rektor-asing-capai-ranking-100-besar-dunia 
 
Soal Bertil Andersen, sila baca di sini: https://www.universityworldnews.com/post.php?story=20171215122350628

Tuesday, April 16, 2019

BELAJAR MEMILIH

Oleh: Anindito Aditomo

Anak saya sebenarnya ogah-ogahan diajak ke TPS hari Sabtu kemarin. Supaya dia lebih bersemangat, dalam perjalanan saya mengajaknya ngobrol tentang pemilu. 

"Kalau kamu sudah boleh memilih presiden, mau pilih pak Jokowi atau pak Prabowo?" saya membuka obrolan.
 
"Siapa yang lebih bagus?" dia bertanya balik. Saya memang sudah punya pilihan. Tapi kalau pertanyaan ini saya jawab dengan alasan-alasan pilihan saya, obrolan akan segera berhenti. Saya akan kehilangan kesempatan untuk mengetahui caranya berpikir, dan dia akan kehilangan kesempatan untuk berusaha merumuskan pendapatnya sendiri. 
 
"Nah, menurutmu apa yang ingin kamu tahu tentang keduanya? Orang seperti apa yang cocok menjadi presiden?" Saya berusaha mengarahkan obrolan pada topik kriteria seorang pemimpin. 
 
"Hmm ... let me think," katanya. Ini memang bukan pertanyaan yang mudah dijawab, dan karena itu saya memberinya waktu untuk berpikir.
 
"Orangnya seperti apa? Dan apa yang akan mereka lakukan kalau sudah jadi presiden?" dia balik bertanya lagi. 
 
"Pertanyaan yang bagus itu. Yang kamu tanyakan pertama itu soal kepribadian, dan memang itu relevan untuk memilih pemimpin. Yang kedua itu soal program. Itu lebih penting lagi."
 
Sekarang giliran saya yang harus berpikir. Bagi saya, tantangannya dua: bagaimana memberi jawaban yang mudah dipahami anak-anak, dan jawaban yang netral agar ia tetap perlu membentuk opininya sendiri. Soal netralitas ini yang sulit, hehehe. 
 
"Pak Prabowo itu tegas, keras. Boleh dibilang galak. Kalau pak Jokowi orangnya kalem, sabar. Kurang pinter pidato, tapi lebih disukai anak-anak," jawab saya. Tuh kan, sudah mulai nggak netral, hahaha. Tapi ternyata menurut anak saya, sifat-sifat itu bisa sama baiknya untuk seorang presiden. Ya sudah, lanjut ke soal program.
 
"Soal program, pak Jokowi nggak mau memberi subsidi untuk bensin. Dulu harga bensin murah karena pemerintah membelikan dulu, kemudian dijual ke masyarakat dengan harga lebih murah. Jadi pemerintah rugi. Harus keluar banyak uang. Pak Jokowi nggak mau lagi memberi subsidi. Dia lebih banyak membangun infrastruktur seperti jalan, rel kereta, bandara, pelabuhan, dan bendungan."
 
"Kalau pak Prabowo ingin memberi subsidi lagi, supaya semua orang bisa beli bensin lebih murah. Juga untuk listrik. Pembangunan jalan dll mungkin akan dikurangi. Mau dipilih mana saja proyek yang penting." 
 
"Gimana, menurutmu lebih bagus programnya siapa?"
 
"Aku nggak tahu. Dua-duanya kok sepertinya penting. Tapi aku lebih suka yang membangun kereta dan public transport sih. Nggak papa bensin mahal kalau ke mana-mana kita bisa naik kereta," jawabnya.
"Terus, pengalaman pak Jokowi dan pak Prabowo gimana? Maksudku sebagai kayak pemimpin gitu?" tanyanya lagi. 
 
"Oh, kalau itu gampang. Pak Jokowi pernah memimpin kota Solo dan provinsi Jakarta. Pak Prabowo belum pernah memimpin pemerintahan, tapi punya pengalaman memimpin pasukan perang," jawab saya. "Perang? Wah aku nggak suka perang," sahutnya. 
 
Ya sudah nduk, sepertinya pilihanmu akan sama dengan bapak, hahaha. Yang lebih penting lagi, kamu mau dan bisa berpikir sebelum membuat keputusan 😉

Monday, March 18, 2019

Menghapus Ujian Nasional


Oleh: Anindito Aditomo

Mumpung isunya sedang hangat, saya ingin membahas Ujian Nasional (UN) dan evaluasi pendidikan secara lebih umum. Banyak pemerhati pendidikan yang sudah sejak lama mengkritik UN, termasuk saya sendiri. Lantas apakah UN sebaiknya dihapus? Jawabannya bukan ya atau tidak, tapi tergantung. Tergantung pada apa? Saya coba uraikan secara singkat.

Yang pertama perlu diingat adalah mengapa UN banyak dikritik. Pada dasarnya, UN dikritik karena berdampak buruk pada proses belajar-mengajar. UN menyempitkan perhatian sekolah pada pelajaran-pelajaran tertentu. Pelajaran lain seperti seni dan olahraga sering menjadi anak tiri. UN juga cenderung mendorong penggunaan metode pengajaran yang dangkal dan berorientasi hafalan. Ini sebenarnya bukan hanya persoalan UN saja, tetapi soal terlalu luasnya materi kurikulum yang harus tercakup dalam UN. Karena cakupan materi yang sangat luas, UN mendorong guru untuk kebut-kebutan „menuntaskan materi“. Selain itu, sifat UN yang “high stakes” mendorong sebagian siswa, orangtua, guru, dan sekolah untuk melakukan kecurangan.

Dengan memahami alasan kritik terhadap UN ini, kita bisa mengajukan pertanyaan yang sedikit berbeda. Yang perlu dipikirkan bukan apakah UN harus dihapus atau tidak, melainkan apakah penghapusan UN akan membantu menghilangkan dampak-dampak buruk tersebut? Mari berkaca pada pengalaman. 

Pemerintah sebenarnya sudah pernah menghapus UN. Ya, UN pada level Sekolah Dasar baru beberapa tahun yang lalu dihapus. Apa yang terjadi? UN sekedar diganti dengan Ujian Daerah. Siswa dan guru SD tetap menghadapi ujian terstandar yang dibuat oleh pihak eksternal. Mutu ujiannya pun belum tentu lebih baik. Dugaan saya, justru menjadi lebih buruk karena kompetensi pembuat Ujian Daerah yang rata-rata di bawah kompetensi tim pembuat UN. Hasilnya, mutu belajar-mengajar SD tidak menjadi lebih baik.

Sunday, January 6, 2019

Bagaimana Seharusnya Sejarah Diajarkan?

Oleh: Anindito Aditomo 



Jerome Bruner, psikolog-pendidik-pemikir legendaris Amerika, pernah mendapat tamu dua orang petinggi departemen pendidikan Rusia. Bruner mengira para pejabat tersebut meminta bantuan untuk membuat materi pelajaran sains atau matematika - permintaan yang sering ia dapatkan. Ternyata bukan. Mereka datang untuk berdiskusi tentang beberapa pertanyaan mendasar tentang sejarah. Atau lebih tepatnya, tentang bagaimana seharusnya sejarah diajarkan.
 
Ketika itu tembok Berlin baru saja runtuh. Uni Soviet baru terpecah kembali menjadi negara-negara terpisah. Kedua tamu Bruner bertanya: "Bagaimanakah episode sejarah yang baru berakhir ini harus diajarkan pada siswa? Apakah cukup kita katakan bahwa Uni Soviet adalah sebuah percobaan yang gagal, sebuah kesalahan sejarah yang kini sudah kita lewatkan? Jika tidak, bagaimana kita bisa menjelaskan apa yang terjadi selama sekian puluh tahun ini?" Pertanyaan-pertanyaan yang sulit dan takkan bisa dijawab secara hitam-putih. Apapun jawabannya sangat mungkin bagian penting dari fondasi kurikulum dan pengajaran sejarah Rusia.
 
Cerita ini membuat saya bertanya-tanya, apakah para pengambil kebijakan pendidikan di Indonesia pernah memikirkan hal serupa? Kita sebagai bangsa telah beberapa kali mengalami perubahan mendasar. Yang terakhir adalah perubahan dari Orde Baru ke era reformasi. Bagaimanakah seharusnya perubahan tersebut dijelaskan di buku-buku sejarah yang dibaca anak-anak kita di sekolah? Bagaimana masa Orde Baru sebaiknya ditampilkan? Sisi gelap terang rezim Soeharto mana saja yang penting dibahas?
 
Pertanyaan-pertanyaan serupa bisa diajukan untuk periode-periode lain dalam sejarah bangsa kita. Yang ingin saya tahu, sekali lagi, adalah apakah pertanyaan-pertanyaan seperti ini pernah direfleksikan oleh para pengambil kebijakan pendidikan di Indonesia? Atau, kalau bukan para pengambil kebijakan, oleh para sarjana sejarah dan pendidikan sejarah?
 
Saya khawatir jawabannya adalah tidak. Jika memang benar demikian, saya kira perlu ada yang menggagas proses refleksi mendasar tentang pengajaran sejarah. Pelajaran sejarah tak kalah penting dari matematika dan sains. Pelajaran sejarah punya peran strategis dalam membangun nalar kritis sekaligus identitas kolektif. Syaratnya itu tadi, harus ada refleksi tentang pertanyaan-pertanyaan sulit mengenai bagaimana sejarah ditampilkan. Refleksi yang niscaya melibatkan perdebatan dan pertarungan beragam perspektif.
 
Tanpa proses ini, pelajaran sejarah akan tetap menjadi pemaparan fakta-fakta yang membosankan dan segera dilupakan setelah ujian. Tapi semoga saya salah.
 
Foto: AFP/malaymail.com

Saturday, January 5, 2019

Kurikulum Bencana, Bencana Kurikulum

Oleh: Anindito Aditomo

Materi seputar bencana diusulkan masuk kurikulum. Sepintas, usul semacam ini menunjukkan penghargaan dan harapan yang tinggi terhadap pendidikan. Lebih khususnya, pendidikan formal alias sekolah. Pendidikan dianggap obat mujarab untuk berbagai penyakit sosial. Radikalisme meluas? Perbaiki kurikulum agama. Hoaks merajalela? Masukkan critical thinking ke kurikulum. Korupsi masih gila-gilaan? Pengguna jalan raya tidak disiplin? Banyak orang yang nyampah sembarangan? Ancaman narkoba di sekolah? Buat kurikulum baru untuk menguatkan karakter siswa.

Membuat siswa lebih sadar tentang bencana memang perlu. Yang saya khawatirkan, usulan semacam ini seringkali dilandasi miskonsepsi tentang pendidikan. Pertama, kurikulum sering dianggap teacher proof alias tidak tergantung pada guru. Siapapun gurunya, mengajar di sekolah manapun, akan bisa menerjemahkan kurikulum sesuai maksud perancang kurikulum. Karena asumsi yang keliru ini, kebijakan sering berhenti pada utak-atik kurikulum tanpa upaya serius untuk meningkatkan kapasitas guru.
 
Kedua dan yang lebih mendasar, desain dan implementasi kurikulum seringkali memperlakukan pengetahuan sebagai barang abstrak. Kalaupun guru-guru sudah mampu mengajarkan materi kebencanaan, hasilnya nanti adalah siswa yang tahu tentang berbagai penyebab tsunami, tahu bahwa skala Richter adalah skala logaritmik, tahu bahwa respon yang tepat menghadapi gempa adalah bersembunyi di bawah meja yang kuat, dst. Sebagian mungkin akan bisa menjawab soal-soal ujian tentang kebencanaan. Tapi apakah pengetahuan itu berguna secara nyata? Tidak, jika pengetahuan itu diajarkan sekedar sebagai potongan-potongan informasi tanpa konteks. 
 
Yang diperlukan adalah kesadaran tentang perlunya pemikiran cermat dan landasan kuat untuk merancang kebijakan pendidikan. Termasuk perubahan kurikulum. Mengubah kurikulum sama sekali bukan perkara sederhana. Tidak bisa sekedar menambahkan konten dan membuat modul pelatihan. Kalau mau serius, tidak akan bisa dibuat dalam hitungan bulan, apalagi minggu. 
 
Tentang isu kebencanaan, misalnya, perubahan kurikulum perlu dimulai dari memikirkan makna bencana dan apa yang diperlukan agar masyarakat siap menghadapinya. Saya bukan ahli bencana, namun jelas bahwa ini adalah isu multidimensi. Ada dimensi yang gamblang terlihat, misalnya yang terkait substansi ilmiah seperti mekanisme terjadinya bencana atau prosedur penyelamatan diri yang paling efektif. Tapi ada juga yang lebih implisit namun tak kalah penting. Misalnya, sikap dan keyakinan mengenai sains vs. mitos. Masyarakat yang percaya bahwa tsunami terjadi karena upacara adat akan enggan mendukung alokasi biaya yang besar untuk mitigasi bencana yang berlandaskan sains. Ada juga dimensi teologis. Teologi yang menekankan kepasrahan mungkin berguna bagi penyintas bencana, tapi tidak akan mendukung upaya persiapan menghadapinya. 
 
Saya yakin ada banyak dimensi lain yang perlu dipikirkan untuk merancang kurikulum kebencanaan. Poinnya adalah kebijakan pendidikan tidak boleh dirancang dengan grusa grusu. Tanpa kesadaran ini, saya yakin usulan yang dilandasi niat baik ini hanya akan menghasilkan kurikulum yang semakin padat, tanpa hasil yang diharapkan. Hasilnya bukan kurikulum kebencanaan, tapi bencana kurikulum.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...