Sunday, December 1, 2019

Antara Moral dan Nalar

Oleh: Anindito Aditomo

Dalam sebuah forum, Menteri Nadiem ditanya tentang pendidikan karakter. Jawabannya ringkas dan bagus. Intinya, pendidikan karakter dan pengembangan nalar itu sebenarnya bisa menjadi satu paket.
 
Jawaban tersebut mengingatkan saya pada komentar pendek yang pernah saya tulis saat Jokowi pertama mencetuskan revolusi mental-nya. Saya elaborasi sedikit di sini karena masih sangat relevan. Apalagi presidennya masih sama dan masih ingin mengembangkan pendidikan karakter 😛
 
Bagi banyak orang, pendidikan karakter adalah hal terpisah dari pendidikan akademik. Lebih dari itu, sekolah juga sering dituduh terlalu mengembangkan sisi kognitif siswa. Karena itu sekolah seharusnya mengurangi fokus pada kognisi, dan lebih banyak mengembangkan karakter siswa.
 
Pandangan semacam ini dilandasi salah kaprah tentang karakter dan moralitas. Juga salah kaprah tentang pendidikan akademik. Seolah-olah karakter dan kognisi itu bisa dipisahkan. Seolah-olah pelajaran akademik itu tidak bermoral, atau setidaknya devoid of moral values. Keliru! Moral vs nalar adalah dikotomi palsu.
 
Di satu sisi, pelajaran akademik mustinya tidak semata-mata mengembangkan pengetahuan, tapi juga tata nilai, sikap, dan keyakinan yang relevan dengan disiplin ilmunya. Ambil contoh sains. Ya, belajar sains adalah belajar memahami alam melalui konsep-konsep kimia, fisika, dan biologi. Tapi belajar sains seharusnya juga mengembangkan karakter ilmiah: nilai, sikap, kebiasaan, dan keyakinan yang menjadi ciri ilmuwan yang baik.
 
Misalnya, di antara watak ilmuwan adalah kerendahan hati intelektual. Ilmuwan yang baik akan mau - bahkan secara otomatis - menguji keyakinannya secara empiris. Ia juga akan mau merevisi keyakinan tersebut bila memang tidak terbukti. Asyik sekali kan kalau lebih banyak siswa, dan orang dewasa, yang punya kerendahan hati intelektual? Dunia medsos akan jauh lebih damai 😃
 
Di sisi lain, pelajaran moral seharusnya tidak sekadar menanamkan nilai, sikap, keyakinan, dan kebiasaan. Pelajaran moral mustinya juga mengembangkan daya nalar siswa tentang isu-isu moral. Siswa yang memahami dampak plastik pada lingkungan akan punya alasan untuk memilah sampah dan mungkin mengubah gaya hidupnya. Siswa yang mengerti kaitan antara perilaku korup, sekecil apa pun, dengan tatanan masyarakat akan lebih mungkin berpikir sekian kali sebelum ikut-ikutan mentoleransi korupsi.
 
Dalam pelajaran agama pun demikian. Siswa yang memahami apa itu riba dalam konteks sosial masyarakat Arab zaman Nabi akan lebih bijak dalam menyikapi sistem perbankan modern. Siswi muslim yang memahami keragaman pendapat ulama tentang batas aurat perempuan, serta fungsi jilbab dalam konteks sosial yang berbeda-beda, akan lebih mantap dengan pilihan personalnya dalam berbusana - apa pun pilihan tersebut dan di mana pun ia hidup.
 
Bukankah asyik jika lebih banyak siswa dan orang dewasa yang bisa bernalar tentang agama? Orang akan lebih mudah mengenali penipuan berkedok agama seperti paket umrah murah, investasi kebun kurma, sampai iming-iming utopia negara Islam di Irak-Suriah. [Maaf hanya mengambil contoh dari agama Islam, sekadar karena ini yang saya tahu. Saya yakin di agama lain pun ada isu-isu serupa.]
 
Kembali pada jawaban mas Menteri Nadiem. Menurutnya, pendidikan karakter adalah soal prinsip-prinsip dasar kehidupan. Semacam golden rules tentang bagaimana menjalani hidup. Dalam konteks Indonesia, Pancasila merupakan prinsip-prinsip dasar untuk bisa hidup bersama sebagai bangsa. Pancasila seharusnya tidak diajarkan sebagai doktrin semata. Siswa seharusnya diberi contoh dan pengalaman menghidupkan Pancasila di ruang-ruang kelas.
 
Mas menteri memberi contoh sederhana: rancang aktivitas belajar yang membuat siswa berkolaborasi dengan rekannya yang berbeda pendapat. Atau yang berbeda semangat dan gaya kerja. Aktivitas tersebut bisa menjadi kesempatan untuk belajar tentang cara menyikapi perbedaan pendapat dan mengelola konflik.
 
Semoga ini sudah cukup meyakinkan anda bahwa moral vs. nalar, atau karakter vs. kognisi, adalah dikotomi palsu. Saya tutup dengan pengingat tentang konsekuensi pemisahan antara pendidikan akademik dan pendidikan karakter. 
 
Inilah yang kita praktikkan selama ini: pendidikan akademik yang mengabaikan karakter intelektual, dan pendidikan moral yang mengabaikan daya nalar. Apa hasilnya? Kognisi jeblok, moralitas ambyar🤦‍♂️
 
Sudah saatnya guru-guru sains, matematika, bahasa, sejarah dll. belajar tentang karakter ilmiah yang menjadi ciri disiplin ilmunya. Sudah saatnya guru-guru pelajaran moral belajar mengajarkan nilai dan keyakinan dengan cara yang bernalar.
 
Keterangan gambar: soal karakter intelektual saya merujuk pada gagasan-gagasan Ron Ricthhart .

Monday, July 29, 2019

IMPOR REKTOR, JALAN PINTAS YANG SALAH ARAH

Oleh: Anindito Aditomo
 
Setelah wacana impor dosen, Menristekdikti juga berencana mengimpor rektor. Tampaknya strategi impor-imporan ini memang menjadi resep utama Kementerian untuk menempatkan universitas kita dalam papan atas ranking dunia. 
 
Seberapa efektifkah kira-kira strategi ini? Pak menteri menyebutkan kasus universitas-universitas di Singapura yang menerapkan strategi serupa sehingga berhasil menjadi yang terbaik di dunia. Dan betul, impor rektor dan dosen adalah bagian penting dari strategi Singapura dalam mereformasi universitasnya. 
 
Dalam beberapa tahun saja, NTU dan NUS sudah diperhitungkan sebagai universitas kelas dunia. Belakangan, Cina (dan mungkin Malaysia?) juga menerapkan hal serupa dan berhasil melejitkan beberapa universitasnya. Jadi, memang ada preseden bagi keberhasilan strategi dosen dan rektor ini. 
 
Pertanyaannya tentu adalah apakah strategi tersebut akan berhasil di Indonesia? Saya skeptis. Jika tidak menjadi bagian dari perombakan ekologi pendidikan tinggi secara mendasar, impor dosen dan rektor takkan banyak berdampak positif. 
 
Mari pelajari kasus Singapura secara sedikit lebih teliti. Pada 2006, Singapura merekrut Bertil Andersen sebagai penasehat pemerintah di bidang riset. Setahun kemudian, ia diminta memimpin transformasi NTU. Andersen adalah peneliti kawakan asal Swedia yang sebelumnya menjabat sebagai presiden European Science Foundation. 
 
Salah satu hal pertama yang dilakukan Andersen adalah mendatangkan profesor dan peneliti-peneliti muda berbakat dari berbagai universitas top dunia. Sepintas, yang dilakukan Andersen mirip dengan strategi yang hendak diterapkan Kemenristekdikti. Tapi simpulan ini terlalu simplistis. 
 
Pertama, untuk memberi tempat bagi para profesor dan peneliti asing itu, Andersen memecat banyak dosen lama. Ia tak mau repot berusaha mengubah orang-orang lama tersebut menjadi peneliti kelas dunia. Orang-orang dengan mindset lama adalah hambatan dalam proses menciptakan kultur riset dan sistem yang baru. Apakah rektor asing yang akan didapuk memimpin UI, UGM, atau ITB, misalnya saja, akan leluasa memecat para profesor dan dosen-dosen lama di sana? Coba saja kalau berani, dan lihat seberapa lama ia bisa bertahan 😁

Kedua, dan ini yang lebih penting, coba pikirkan mengapa para profesor dan peneliti dari institusi seperti MIT, Caltech, dan Imperial College mau pindah ke Singapura? Yang jelas, bukan karena mereka menikmati suhu dan kelembaban udara negeri tropis. Kebanyakan talenta akademik adalah orang-orang yang punya renjana kuat akan pengetahuan. Mereka ingin bisa meneliti, dan meneliti dengan sebaik-baiknya. 

Apakah orang-orang seperti itu akan mau datang ke Indonesia dan berjibaku dengan mekanisme pendanaan riset yang ajaib? Dengan kewajiban membuat laporan pertanggungjawaban yang lebih mementingkan kelengkapan bon dan meterei daripada substansi ilmiah? Dengan minim dan sulitnya mengimpor alat dan material eksperimen? Dengan tuntutan patuh pada aturan seperti cap jempol sehari dua kali?

Jawabannya adalah, tentu tidak. Mana ada peneliti kelas dunia yang ingin bekerja di lingkungan yang mematikan kreativitas dan daya pikir? Pendek kata, ekosistem akademik pendidikan tinggi kita tidak ramah pada penelitian dan pengembangan ilmu. Jika dipaksakan, strategi impor-imporan dosen/rektor paling banter hanya akan membuahkan hasil seperti liga sepakbola kita.

Yang akan datang hanyalah para pemain dan manajer medioker yang karirnya sudah mentok di tempat asalnya. Jangan mimpi bahwa orang-orang seperti itu bakal membawa klub bola kita ke liga internasional.

Tambahan: Saya diingatkan oleh
Ade soal penyetaraan ijazah. Di satu sisi, dosen-dosen Indonesia lulusan luar negeri diwajibkan untuk datang ke Jakarta untuk "menyetarakan" ijazahnya. Di sisi lain, orang-orang asing kini diundang sebagai penyelamat pendidikan tinggi kita. Sulit untuk tidak merasakan bau inferioritas inlander dalam strategi impor-imporan ini :(  
 
Sumber gambar: https://m.bisnis.com/amp/read/20190728/79/1129550/pemerintah-targetkan-perguruan-tinggi-yang-dipimpin-rektor-asing-capai-ranking-100-besar-dunia 
 
Soal Bertil Andersen, sila baca di sini: https://www.universityworldnews.com/post.php?story=20171215122350628

Tuesday, April 16, 2019

BELAJAR MEMILIH

Oleh: Anindito Aditomo

Anak saya sebenarnya ogah-ogahan diajak ke TPS hari Sabtu kemarin. Supaya dia lebih bersemangat, dalam perjalanan saya mengajaknya ngobrol tentang pemilu. 

"Kalau kamu sudah boleh memilih presiden, mau pilih pak Jokowi atau pak Prabowo?" saya membuka obrolan.
 
"Siapa yang lebih bagus?" dia bertanya balik. Saya memang sudah punya pilihan. Tapi kalau pertanyaan ini saya jawab dengan alasan-alasan pilihan saya, obrolan akan segera berhenti. Saya akan kehilangan kesempatan untuk mengetahui caranya berpikir, dan dia akan kehilangan kesempatan untuk berusaha merumuskan pendapatnya sendiri. 
 
"Nah, menurutmu apa yang ingin kamu tahu tentang keduanya? Orang seperti apa yang cocok menjadi presiden?" Saya berusaha mengarahkan obrolan pada topik kriteria seorang pemimpin. 
 
"Hmm ... let me think," katanya. Ini memang bukan pertanyaan yang mudah dijawab, dan karena itu saya memberinya waktu untuk berpikir.
 
"Orangnya seperti apa? Dan apa yang akan mereka lakukan kalau sudah jadi presiden?" dia balik bertanya lagi. 
 
"Pertanyaan yang bagus itu. Yang kamu tanyakan pertama itu soal kepribadian, dan memang itu relevan untuk memilih pemimpin. Yang kedua itu soal program. Itu lebih penting lagi."
 
Sekarang giliran saya yang harus berpikir. Bagi saya, tantangannya dua: bagaimana memberi jawaban yang mudah dipahami anak-anak, dan jawaban yang netral agar ia tetap perlu membentuk opininya sendiri. Soal netralitas ini yang sulit, hehehe. 
 
"Pak Prabowo itu tegas, keras. Boleh dibilang galak. Kalau pak Jokowi orangnya kalem, sabar. Kurang pinter pidato, tapi lebih disukai anak-anak," jawab saya. Tuh kan, sudah mulai nggak netral, hahaha. Tapi ternyata menurut anak saya, sifat-sifat itu bisa sama baiknya untuk seorang presiden. Ya sudah, lanjut ke soal program.
 
"Soal program, pak Jokowi nggak mau memberi subsidi untuk bensin. Dulu harga bensin murah karena pemerintah membelikan dulu, kemudian dijual ke masyarakat dengan harga lebih murah. Jadi pemerintah rugi. Harus keluar banyak uang. Pak Jokowi nggak mau lagi memberi subsidi. Dia lebih banyak membangun infrastruktur seperti jalan, rel kereta, bandara, pelabuhan, dan bendungan."
 
"Kalau pak Prabowo ingin memberi subsidi lagi, supaya semua orang bisa beli bensin lebih murah. Juga untuk listrik. Pembangunan jalan dll mungkin akan dikurangi. Mau dipilih mana saja proyek yang penting." 
 
"Gimana, menurutmu lebih bagus programnya siapa?"
 
"Aku nggak tahu. Dua-duanya kok sepertinya penting. Tapi aku lebih suka yang membangun kereta dan public transport sih. Nggak papa bensin mahal kalau ke mana-mana kita bisa naik kereta," jawabnya.
"Terus, pengalaman pak Jokowi dan pak Prabowo gimana? Maksudku sebagai kayak pemimpin gitu?" tanyanya lagi. 
 
"Oh, kalau itu gampang. Pak Jokowi pernah memimpin kota Solo dan provinsi Jakarta. Pak Prabowo belum pernah memimpin pemerintahan, tapi punya pengalaman memimpin pasukan perang," jawab saya. "Perang? Wah aku nggak suka perang," sahutnya. 
 
Ya sudah nduk, sepertinya pilihanmu akan sama dengan bapak, hahaha. Yang lebih penting lagi, kamu mau dan bisa berpikir sebelum membuat keputusan 😉

Monday, March 18, 2019

Menghapus Ujian Nasional


Oleh: Anindito Aditomo

Mumpung isunya sedang hangat, saya ingin membahas Ujian Nasional (UN) dan evaluasi pendidikan secara lebih umum. Banyak pemerhati pendidikan yang sudah sejak lama mengkritik UN, termasuk saya sendiri. Lantas apakah UN sebaiknya dihapus? Jawabannya bukan ya atau tidak, tapi tergantung. Tergantung pada apa? Saya coba uraikan secara singkat.

Yang pertama perlu diingat adalah mengapa UN banyak dikritik. Pada dasarnya, UN dikritik karena berdampak buruk pada proses belajar-mengajar. UN menyempitkan perhatian sekolah pada pelajaran-pelajaran tertentu. Pelajaran lain seperti seni dan olahraga sering menjadi anak tiri. UN juga cenderung mendorong penggunaan metode pengajaran yang dangkal dan berorientasi hafalan. Ini sebenarnya bukan hanya persoalan UN saja, tetapi soal terlalu luasnya materi kurikulum yang harus tercakup dalam UN. Karena cakupan materi yang sangat luas, UN mendorong guru untuk kebut-kebutan „menuntaskan materi“. Selain itu, sifat UN yang “high stakes” mendorong sebagian siswa, orangtua, guru, dan sekolah untuk melakukan kecurangan.

Dengan memahami alasan kritik terhadap UN ini, kita bisa mengajukan pertanyaan yang sedikit berbeda. Yang perlu dipikirkan bukan apakah UN harus dihapus atau tidak, melainkan apakah penghapusan UN akan membantu menghilangkan dampak-dampak buruk tersebut? Mari berkaca pada pengalaman. 

Pemerintah sebenarnya sudah pernah menghapus UN. Ya, UN pada level Sekolah Dasar baru beberapa tahun yang lalu dihapus. Apa yang terjadi? UN sekedar diganti dengan Ujian Daerah. Siswa dan guru SD tetap menghadapi ujian terstandar yang dibuat oleh pihak eksternal. Mutu ujiannya pun belum tentu lebih baik. Dugaan saya, justru menjadi lebih buruk karena kompetensi pembuat Ujian Daerah yang rata-rata di bawah kompetensi tim pembuat UN. Hasilnya, mutu belajar-mengajar SD tidak menjadi lebih baik.

Sunday, January 6, 2019

Bagaimana Seharusnya Sejarah Diajarkan?

Oleh: Anindito Aditomo 



Jerome Bruner, psikolog-pendidik-pemikir legendaris Amerika, pernah mendapat tamu dua orang petinggi departemen pendidikan Rusia. Bruner mengira para pejabat tersebut meminta bantuan untuk membuat materi pelajaran sains atau matematika - permintaan yang sering ia dapatkan. Ternyata bukan. Mereka datang untuk berdiskusi tentang beberapa pertanyaan mendasar tentang sejarah. Atau lebih tepatnya, tentang bagaimana seharusnya sejarah diajarkan.
 
Ketika itu tembok Berlin baru saja runtuh. Uni Soviet baru terpecah kembali menjadi negara-negara terpisah. Kedua tamu Bruner bertanya: "Bagaimanakah episode sejarah yang baru berakhir ini harus diajarkan pada siswa? Apakah cukup kita katakan bahwa Uni Soviet adalah sebuah percobaan yang gagal, sebuah kesalahan sejarah yang kini sudah kita lewatkan? Jika tidak, bagaimana kita bisa menjelaskan apa yang terjadi selama sekian puluh tahun ini?" Pertanyaan-pertanyaan yang sulit dan takkan bisa dijawab secara hitam-putih. Apapun jawabannya sangat mungkin bagian penting dari fondasi kurikulum dan pengajaran sejarah Rusia.
 
Cerita ini membuat saya bertanya-tanya, apakah para pengambil kebijakan pendidikan di Indonesia pernah memikirkan hal serupa? Kita sebagai bangsa telah beberapa kali mengalami perubahan mendasar. Yang terakhir adalah perubahan dari Orde Baru ke era reformasi. Bagaimanakah seharusnya perubahan tersebut dijelaskan di buku-buku sejarah yang dibaca anak-anak kita di sekolah? Bagaimana masa Orde Baru sebaiknya ditampilkan? Sisi gelap terang rezim Soeharto mana saja yang penting dibahas?
 
Pertanyaan-pertanyaan serupa bisa diajukan untuk periode-periode lain dalam sejarah bangsa kita. Yang ingin saya tahu, sekali lagi, adalah apakah pertanyaan-pertanyaan seperti ini pernah direfleksikan oleh para pengambil kebijakan pendidikan di Indonesia? Atau, kalau bukan para pengambil kebijakan, oleh para sarjana sejarah dan pendidikan sejarah?
 
Saya khawatir jawabannya adalah tidak. Jika memang benar demikian, saya kira perlu ada yang menggagas proses refleksi mendasar tentang pengajaran sejarah. Pelajaran sejarah tak kalah penting dari matematika dan sains. Pelajaran sejarah punya peran strategis dalam membangun nalar kritis sekaligus identitas kolektif. Syaratnya itu tadi, harus ada refleksi tentang pertanyaan-pertanyaan sulit mengenai bagaimana sejarah ditampilkan. Refleksi yang niscaya melibatkan perdebatan dan pertarungan beragam perspektif.
 
Tanpa proses ini, pelajaran sejarah akan tetap menjadi pemaparan fakta-fakta yang membosankan dan segera dilupakan setelah ujian. Tapi semoga saya salah.
 
Foto: AFP/malaymail.com

Saturday, January 5, 2019

Kurikulum Bencana, Bencana Kurikulum

Oleh: Anindito Aditomo

Materi seputar bencana diusulkan masuk kurikulum. Sepintas, usul semacam ini menunjukkan penghargaan dan harapan yang tinggi terhadap pendidikan. Lebih khususnya, pendidikan formal alias sekolah. Pendidikan dianggap obat mujarab untuk berbagai penyakit sosial. Radikalisme meluas? Perbaiki kurikulum agama. Hoaks merajalela? Masukkan critical thinking ke kurikulum. Korupsi masih gila-gilaan? Pengguna jalan raya tidak disiplin? Banyak orang yang nyampah sembarangan? Ancaman narkoba di sekolah? Buat kurikulum baru untuk menguatkan karakter siswa.

Membuat siswa lebih sadar tentang bencana memang perlu. Yang saya khawatirkan, usulan semacam ini seringkali dilandasi miskonsepsi tentang pendidikan. Pertama, kurikulum sering dianggap teacher proof alias tidak tergantung pada guru. Siapapun gurunya, mengajar di sekolah manapun, akan bisa menerjemahkan kurikulum sesuai maksud perancang kurikulum. Karena asumsi yang keliru ini, kebijakan sering berhenti pada utak-atik kurikulum tanpa upaya serius untuk meningkatkan kapasitas guru.
 
Kedua dan yang lebih mendasar, desain dan implementasi kurikulum seringkali memperlakukan pengetahuan sebagai barang abstrak. Kalaupun guru-guru sudah mampu mengajarkan materi kebencanaan, hasilnya nanti adalah siswa yang tahu tentang berbagai penyebab tsunami, tahu bahwa skala Richter adalah skala logaritmik, tahu bahwa respon yang tepat menghadapi gempa adalah bersembunyi di bawah meja yang kuat, dst. Sebagian mungkin akan bisa menjawab soal-soal ujian tentang kebencanaan. Tapi apakah pengetahuan itu berguna secara nyata? Tidak, jika pengetahuan itu diajarkan sekedar sebagai potongan-potongan informasi tanpa konteks. 
 
Yang diperlukan adalah kesadaran tentang perlunya pemikiran cermat dan landasan kuat untuk merancang kebijakan pendidikan. Termasuk perubahan kurikulum. Mengubah kurikulum sama sekali bukan perkara sederhana. Tidak bisa sekedar menambahkan konten dan membuat modul pelatihan. Kalau mau serius, tidak akan bisa dibuat dalam hitungan bulan, apalagi minggu. 
 
Tentang isu kebencanaan, misalnya, perubahan kurikulum perlu dimulai dari memikirkan makna bencana dan apa yang diperlukan agar masyarakat siap menghadapinya. Saya bukan ahli bencana, namun jelas bahwa ini adalah isu multidimensi. Ada dimensi yang gamblang terlihat, misalnya yang terkait substansi ilmiah seperti mekanisme terjadinya bencana atau prosedur penyelamatan diri yang paling efektif. Tapi ada juga yang lebih implisit namun tak kalah penting. Misalnya, sikap dan keyakinan mengenai sains vs. mitos. Masyarakat yang percaya bahwa tsunami terjadi karena upacara adat akan enggan mendukung alokasi biaya yang besar untuk mitigasi bencana yang berlandaskan sains. Ada juga dimensi teologis. Teologi yang menekankan kepasrahan mungkin berguna bagi penyintas bencana, tapi tidak akan mendukung upaya persiapan menghadapinya. 
 
Saya yakin ada banyak dimensi lain yang perlu dipikirkan untuk merancang kurikulum kebencanaan. Poinnya adalah kebijakan pendidikan tidak boleh dirancang dengan grusa grusu. Tanpa kesadaran ini, saya yakin usulan yang dilandasi niat baik ini hanya akan menghasilkan kurikulum yang semakin padat, tanpa hasil yang diharapkan. Hasilnya bukan kurikulum kebencanaan, tapi bencana kurikulum.

Tuesday, November 13, 2018

Pandangan Guru dan Dosen tentang Keterampilan Abad 21

Untuk serial membaca riset pendidikan, kali ini saya berbagi tentang hasil survei mengenai belajar di abad 21 dari perspektif guru. Hasil survei ini dilaporkan oleh Mishra (dari Arizona State University) dan Mehta (dari Michigan State University) dalam sebuah artikel di Journal of Digital Learning in Teacher Education edisi 33(1) tahun 2017. Berikut rangkuman hasil pembacaan saya: 

Apa itu 21st century learning?
Dalam survei mereka, Mishra dan Mehta (2017) hendak memotret pandangan guru mengenai 21st century learning alias belajar di abad 21 (selanjutnya saya singkat "21-CL"). Menurut guru, apa yang penting dipelajari atau dikuasai oleh siswa di abad ke-21? Untuk membantu menjawab pertanyaan ini, mereka perlu merumuskan apa itu 21-CL terlebih dahulu. Rumusan tersebut diperoleh dari sintesis atas 15 dokumen kunci karya peneliti terkemuka (Howard Gardner, Yong Zhao), penulis populer (Daniel Pink), organisasi pendidikan (Partnership for 21st Century Skills, Center for Public Education), dan lembaga internasional (OECD, Uni Eropa).

Monday, November 12, 2018

Tantangan Publikasi Mahasiswa S3 di Cina


Kemarin saya membaca artikel menarik tentang dunia publikasi akademik di Cina. Artikel tersebut menceritakan pengalaman, atau lebih tepatnya kesulitan, yang dialami mahasiswa doktoral di negeri terpadat di dunia itu. Beberapa tahun yang lalu, sebagian besar universitas di Cina menjadikan publikasi artikel jurnal sebagai salah satu syarat kelulusan untuk tingkat doktoral. Jurnalnya pun harus yang terdaftar di "C-List" sebagai jurnal nasional Cina. [Catatan: Saya coba mencari C-List ini tapi masih belum menemukannya di internet.]

Menurut artikel yang saya kutip di atas, Cina mengakui sekitar 550 publikasi sebagai jurnal nasional. Jumlah mahasiswa doktoralnya ada lebih dari 362 ribu orang, yang masing-masing harus menerbitkan 2 artikel jurnal nasional untuk bisa lulus. Apa artinya? Untuk memaknai angka-angka ini, kita perlu membuat sejumlah asumsi.

Thursday, November 1, 2018

Membaca Riset Pendidikan: Pelajaran dari PISA Soal Kesenjangan Pendidikan

Kemarin Prof. Klieme, advisor postdoc saya, mengirimkan email yang merujuk pada sebuah artikel berjudul "Inequity and Excellence in Academic Performance: Evidence From 27 Countries." Artikel ini mencerminkan best practice dalam analisis data asesmen internasional skala besar seperti PISA, tulisnya di email. Tentu saja ini kode agar saya bukan hanya membaca, tapi juga mempelajari lebih dalam metode yang digunakan penelitian tersebut.

Berikut beberapa hal menarik yang saya dapatkan dari pembacaan awal:

1.HIPOTESIS: HARUSKAH SELALU SEJALAN DENGAN TEORI?

Penelitian yang baik selalu merujuk pada teori yang relevan. Dalam hal ini, teori yang dirujuk berbicara mengenai perbaikan mutu pendidikan pada level sistem/negara. (Mutu di sini diartikan secara sempit sebagai rata-rata prestasi akademik siswa di sebuah negara.) Menurut teori tersebut, proses belajar-mengajar perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan siswa. Untuk siswa yang lebih berbakat akademik (berpikir abstrak, konseptual, dst.), sekolah perlu memberi tantangan akademik yang tinggi. Siswa yang kurang berbakat akademik sebaiknya fokus pada bidang-bidang yang lebih praktis. Dalam praktik, gagasan ini kerap diterjemahkan menjadi pemisahan jalur sekolah akademik dan vokasi.

Yang menarik, artikel tidak menyajikan penelitian yang hendak mencari bukti pendukung bagi teori tersebut. Sebaliknya, penelitian dalam artikel ini dilakukan untuk menggugurkan teori tersebut. Ini dilakukan dengan "menembak" salah satu asumsi kunci yang melandasi teori tersebut, yakni asumsi adanya trade off antara mutu/excellence (prestasi rata-rata) dan kesenjangan (variasi prestasi antar siswa). Prestasi akademik yang tinggi mau tak mau harus dicapai dengan berfokus pada siswa yang memang punya potensi akademik baik. Dengan demikian, peningkatan prestasi akademik akan meningkatkan kesenjangan alias jarak antara kelompok siswa yang berprestasi tinggi dengan kelompok di bawahnya. Asumsi inilah yang diuji, dan diharapkan (dihipotesiskan) keliru. 

Jadi, riset tidak selalu harus berupaya mengkonfirmasi teori. Niat untuk menggugurkan teori itu sah-sah saja sebagai tujuan penelitian. Justru di sinilah kekhasan ilmu pengetahuan (sains). Dalam sains, teori memang harus bisa dibuktikan keliru, dan penelitian ilmiah justru perlu membuka kemungkinan terjadinya falsifikasi. Ketika ini terjadi, maka tugas selanjutkan adalah mengembangkan teori baru yang dapat menjelaskan data dan fenomena.

2. DATA SEKUNDER LEBIH RENDAH DERAJATNYA DIBANDING DATA PRIMER?

Artikel ini menganalisis data dari PISA (Program for International Student Assessment), survei tiga-tahunan yang dilakukan pada siswa kelas 9-10 di puluhan negara sejak tahun 2000. Indonesia termasuk negara yang menjadi peserta setia survei PISA. Untuk artikel ini, para peneliti menggunakan data PISA tahun 2000, 2003, 2006, 2009, dan 2012 dari 30 negara maju. Data PISA disediakan oleh OECD (penyelenggara PISA) secara daring di laman yang bisa diakses oleh siapa pun. Artinya, para penulis artikel ini menggunakan data yang dikumpulkan oleh peneliti/lembaga lain, alias data sekunder.

Apakah penggunaan data sekunder mengurangi nilai penelitian dan artikel ini? Menurut saya sih, tidak serta merta demikian. Penelitian dengan data sekunder memiliki plus dan minus, tapi demikian juga dengan penelitian data primer. Yang jelas, disertasi doktor berbagai universitas top dunia cukup banyak yang menggunakan data sekunder. Jurnal-jurnal ilmiah kelas dunia tidak alergi dengan penelitian data sekunder (artikel ini contohnya). Ini berbeda dengan praktik banyak program studi di perguruan tinggi Indonesia yang kerap mengharuskan mahasiswanya menggunakan data primer untuk riset akhir mereka.

3.  METODE ANALISIS 

Ini bagian yang paling sulit dipahami dari artikel ini. Analisis data skala besar seperti PISA, apalagi jika melibatkan perbandingan puluhan negara dan beberapa periode waktu, menuntut statistik yang canggih. Ini sebagian saja dari metode dan teknik statistik tersebut: item-response theory untuk mendapatkan skor laten, sampling weight untuk mengkoreksi bias pengambilan sampel, pemodelan multi-jenjang (multilevel modelling) untuk data yang memang terklaster (siswa dalam sekolah, dan sekolah dalam negara), dll. Saya sendiri baru mulai belajar dan hanya menguasai sebagian kecil dari teknik yang digunakan artikel ini. Kompleksitas teknik statistik ini yang menjadi penghalang utama penggunaan data survei internasional seperti PISA. Meski bebas diakses siapa pun, tak semua orang punya keahlian yang diperlukan untuk mengolahnya.

Pada level yang lebih umum, pelajaran yang saya petik dari artikel ini adalah soal penggunaan beragam analisis untuk menjawab pertanyaan (menguji hipotesis) yang sama. Para penulis artikel ini berpandangan bahwa sebuah hipotesis perlu diuji dengan berbagai cara. Misalnya, salah satu hipotesis mereka adalah bahwa peningkatan kesenjangan TIDAK berhubungan positif dengan peningkatan prestasi. Hipotesis ini diuji dengan merumuskan 3 indikator kesenjangan dan 3 indikator prestasi (yang masing-masing diwakili oleh 10 skor). Mengapa tidak cukup satu indikator saja? Sebagaimana semua variabel dalam riset, "kesenjangan" adalah konstruk teoretis. Barang gaib, nggak kelihatan. Ia bisa mewujud dalam berbagai bentuk (inilah yang kita sebut sebagai indikator). Pengujian dengan 1 indikator mungkin menghasilkan pola yang berbeda dari indikator lain. Jika hasil pengujian dengan berbagai indikator yang berbeda mengarah pada simpulan yang sama, ketika itulah temuannya disebut "robust" alias kokoh, memiliki derajat kepercayaan yang tinggi.

4. TEMUAN SOAL KESENJANGAN MUTU 

Analisis yang super rumit dalam artikel ini menghasilkan temuan yang konsisten dan simpel. Peningkatan kesenjangan justru berkorelasi dengan penurunan prestasi. Negara-negara yang prestasinya meningkat justru sekaligus mengalami penurunan kesenjangan. Dengan kata lain, peningkatan prestasi dan pengurangan kesenjangan berjalan beriringan.

Studi kasus pada negara-negara yang paling besar peningkatan prestasinya, seperti Jerman dan Polandia, menunjukkan bahwa perubahan tersebut dicapai dengan cara menaikkan prestasi siswa yang tadinya berprestasi rendah. Bukan dengan cara membantu siswa yang sudah berpotensi menjadi semakin tinggi prestasinya (seperti diprediksi oleh teori yang hendak digugurkan oleh artikel ini). Di sisi lain, penurunan prestasi rata-rata seperti yang terjadi di Swedia dan Islandia terjadi karena turunnya skor siswa yang tadinya memang lemah. Siswa pada persentil atas tetap menunjukkan prestasi yang tinggi.

Implikasi praktis temuan ini sangat jelas. Jika ingin meningkatkan prestasi, fokus pada mereka yang tadinya berprestasi rendah. Program-program seperti sekolah unggulan, perlombaan antar sekolah, dan pembinaan tim-tim elit untuk mengikuti olimpiade internasional tidak akan efektif untuk mengangkat prestasi secara keseluruhan.

5. TEKNIK PENULISAN   

Artikel ini tidak hanya kuat secara metodologis. Penulisannya pun ciamik. Mengingat kompleksitas data dan analisis yang digunakan, sebenarnya tak mudah untuk menuliskan hasilnya agar bisa dipahami pembaca. Para penulisnya berhasil menyajikan temuan dengan sederhana. Abstraknya pun sangat singkat, tidak berpanjang-panjang dengan jargon teknis yang takkan dimengerti 99% pembacanya:

"Research suggests that a country does not need inequity to have high performance. However, such research has potentially suffered from confounders present in between-country comparative research (e.g., latent cultural differences). Likewise, relatively little consideration has been given to whether the situation may be different for high- or low-performing students. Using five cycles of the Programme for International Student Assessment (PISA) database, the current research explores within-country trajectories in achievement and inequality measures to test the hypothesis of an excellence/equity tradeoff in academic performance. We found negative relations between performance and inequality that are robust and of statistical and practical significance. Follow-up analysis suggests a focus on low and average performers may be critical to successful policy interventions." (Parker et al., 2018, p.836-7)

Cara penulisan bagian pengantarnya juga bisa menjadi model untuk ditiru:

"Educational policy aims to maximize educational excellence and reduce inequity. The need to balance these demands is an ongoing concern in social mobility (Burger, 2016), educational attainment (Goldthorpe, 2007), and to a lesser degree, concerns about performance in standardized tests (Checchi, 2006). Our paper is primarily concerned with issues relating to the association between national performance in standardized tests (educational excellence) and the degree of variation in performance within a nation (our measure of educational inequity). It is our hypothesis that greater variance in test scores—greater inequality—will be negatively associated with higher average educational achievement—or higher excellence. We seek to directly challenge views that a country’s educational policies must incorporate some inequality to produce higher average test scores. To test this hypothesis, we consider a range of inequality measures. Unlike previous research, we focus on (a) changes that occur within countries over time and (b) where in the academic achievement distribution the changes occur. In the following sections, we first position our research within the broader domain of educational inequity before outlining competing positions on the excellent/equity tradeoff in educational ability. Finally, we consider what empirical research currently suggests about this debate and the limitations with the existing evidence base that we seek to overcome."
(Parker et al., 2018, p.837)

Untuk mengapresiasi cara penulisan paragraf pengantar ini, silakan bandingkan dengan bagian pengantar kebanyakan artikel di jurnal dan tugas akhir yang pernah anda baca.


Ini tautan menuju artikelnya: https://doi.org/10.3102/0002831218760213

Ingin baca tapi tidak punya akses? Be creative :D

Tuesday, October 16, 2018

Debat Medsos dan Karakter Intelektual

Media sosial memang penuh kegaduhan. Kapan lalu ribut soal drama hoaks Ratna Sarumpaet. Lalu soal gempa Palu dan pertemuan IMF. Kemarin tentang dukungan Gojek terhadap karyawan LGBT-nya. Dan karena ini tahun politik, kita akan terus disuguhi berbagai isu panas yang pasti "maknyus" dijadikan bahan keributan baru. 

Apakah ini hal yang buruk? Perdebatan di medsos memang kerap menguras energi. Berita bohong, separuh bohong, dan teori-teori konspirasi tak jarang disebarkan di medsos. Dicampur dengan fakta, dibumbui narasi masuk akal, membuat kita mudah percaya. Demikian juga dengan rasisme dan ujaran kebencian, bebas diumbar. Pertengkaran di kolom komentar bisa berlanjut di lapangan atau kamar tidur 😃  

Tapi di sisi lain, kegaduhan medsos juga bisa menjadi sarana belajar yang luar biasa. Dari debat tentang penyebab gempa, kita bisa belajar tentang apa itu sesar bumi, tentang kaitan gempa dan tsunami, tentang kearifan lokal dan mengapa hal itu banyak dilupakan. Dari gaduh soal LGBT, kita bisa belajar tentang perbedaan L, G, B, dan T, tentang apa itu orientasi seksual, tentang mengapa homoseksualitas tak lagi digolongkan sebagai gangguan. Dari geger hoaks Ratna Sarumpaet, kita jadi tahu bahwa oplas itu singkatan dari operasi plastik dan biayanya enggak murah 😃  

Persoalannya memang harus diakui bahwa berbagai debat seringkali sekedar memuaskan ego dengan mengejek mereka yang pendapatnya tak kita sukai. Kalau pun belajar, maka itu belajar dalam arti menambah informasi yang menguatkan pandangan kita saja. Tidak benar-benar belajar dalam arti menjadi punya cara pandang yang berbeda dan lebih kaya tentang apa yang diperdebatkan. 

Ini tidak mengherankan sebenarnya. Belajar dari guru yang memberikan pelajaran terstruktur saja kadang sulit, apalagi dari medsos yang chaotic dan barbar.

Untuk bisa benar-benar bisa belajar dari medsos, salah satu yang mutlak diperlukan adalah apa yang disebut karakter intelektual. Ini adalah sifat-sifat terkait cara menyikapi informasi dan pengetahuan. Misalnya, salah satu karakter intelektual yang penting adalah keinginan mencari dan mempertimbangkan informasi yang bertentangan dengan pendapat kita. Karakter lainnya adalah toleransi terhadap ketidakpastian dan ambiguitas. Karakter lain lagi adalah kemauan mencermati sesuatu sebelum mengambil simpulan.
 
Perlu tulisan panjang tersendiri untuk menjabarkan masing-masing karakter intelektual. Yang ingin saya sampaikan di sini adalah bahwa karakter intelektual ini bukan sifat alami manusia. Manusia tidak terlahir dengan sifat-sifat tersebut. Kita mungkin punya bahan-bahan dasarnya, tapi jika tidak diasah dan dilatih lebih lanjut, karakter intelektual tidak akan terbentuk.
 
Pertanyaannya, apakah sekolah mengajarkan karakter intelektual? Apakah pelajaran sains, ilmu sosial, sejarah, bahasa, agama, dll. secara sengaja dirancang untuk membiasakan siswa menghargai opini yang berseberangan, membuat dan mengakui kesalahan, menganalisis argumen tanpa menyerang pribadi? Sepertinya jarang. Demikian juga dengan institusi sosial lain seperti keluarga dan media.
 
Untuk mengembangkan karakter intelektual, kita perlu perubahan paradigma. Saat ini sekolah masih menjadi tempat di mana siswa diharapkan untuk belajar menyerap apa yang dikatakan guru dan buku teks, atau bisa meniru dan melakukan apa yang diajarkan oleh sumber-sumber tersebut. Berbagai metode pengajaran dan strategi belajar dirancang untuk membuat proses tersebut lebih efektif. Tapi pada dasarnya sekolah masih menjadi sarana untuk membentuk isi pikiran alias keyakinan siswa. Selama itu tujuannya, sulit berharap siswa memiliki karakter intelektual.
 
Untuk mulai menumbuhkan karakter intelektual, kita perlu melihat sekolah sebagai tempat untuk melatih siswa mengevaluasi dan membentuk keyakinannya secara mandiri. Hanya dengan begitu mereka akan mampu untuk benar-benar belajar dari belantara medsos dan Internet secara lebih luas.

Ilustrasi: beberapa teknik mengenali hoaks. Karakter intelektual menjadi penentu apakah seseorang mau dan mampu menerapkan masing-masing teknik tersebut.
 
 No photo description available.
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...