Monday, November 12, 2018

Tantangan Publikasi Mahasiswa S3 di Cina


Kemarin saya membaca artikel menarik tentang dunia publikasi akademik di Cina. Artikel tersebut menceritakan pengalaman, atau lebih tepatnya kesulitan, yang dialami mahasiswa doktoral di negeri terpadat di dunia itu. Beberapa tahun yang lalu, sebagian besar universitas di Cina menjadikan publikasi artikel jurnal sebagai salah satu syarat kelulusan untuk tingkat doktoral. Jurnalnya pun harus yang terdaftar di "C-List" sebagai jurnal nasional Cina. [Catatan: Saya coba mencari C-List ini tapi masih belum menemukannya di internet.]

Menurut artikel yang saya kutip di atas, Cina mengakui sekitar 550 publikasi sebagai jurnal nasional. Jumlah mahasiswa doktoralnya ada lebih dari 362 ribu orang, yang masing-masing harus menerbitkan 2 artikel jurnal nasional untuk bisa lulus. Apa artinya? Untuk memaknai angka-angka ini, kita perlu membuat sejumlah asumsi.


Kita asumsikan dulu bahwa masa studi normal program doktoral adalah 4 tahun, sehingga jumlah yang perlu lulus tiap tahun adalah 360 ribu dibagi 4 alias 90 ribu mahasiswa. Jika masing-masing perlu menerbitkan 2 artikel, maka kebutuhan jumlah artikel yang perlu terbit adalah 90 ribu mahasiswa kali 2 artikel/mahasiswa, alias 180 ribu artikel.

Selanjutnya kita perlu membuat asumsi tentang ketersediaan jurnalnya. Bila kita anggap tiap jurnal terbit rata-rata 4 kali setahun, dan tiap terbit memuat rata-rata 10 artikel, maka tiap tahun tersedia 550 jurnal kali 4 terbitan kali 10 artikel, alias 22 ribu slot artikel per tahun. Dengan demikian, rasio antara jumlah artikel yang perlu terbit dan slot yang tersedia adalah 180 ribu dibagi 22 ribu, atau sekitar 8.2 artikel.

Artinya, setiap naskah yang dikirim perlu mengalahkan lebih dari 7 naskah lain untuk bisa terbit. Sangat mungkin seorang mahasiswa perlu mengirim naskah berkali-kali sebelum mendapat lampu hijau untuk bisa terbit dari editor jurnal. Mengingat bahwa proses review sampai penerbitan artikel jurnal perlu waktu berbulan-bulan, bisa dibayangkan dampaknya pada masa studi! Artikel di atas menceritakan seorang mahasiswa doktoral yang sudah 50 kali mengirim naskah ke berbagai jurnal.

Dalam situasi yang begitu menekan, godaan untuk mengambil jalan pintas pun otomatis meningkat. Tawaran jasa "membantu" penerbitan artikel jurnal pun mudah sekali ditemukan di Baidu, Google-nya Cina. Praktik curang dan ilegal juga mulai terkuak. Tahun lalu, seorang editor jurnal ilmu sosial dipenjara karena menerima suap dari penulis yang ingin artikelnya terbit di jurnalnya. Jumlah akumulasi suapnya pun tidak tanggung-tanggung: lebih dari 1.1 juta USD!

Bagi civitas akademika Indonesia, publikasi sebagai syarat kelulusan ini tentu bukan berita baru. DIKTI malah lebih hebat lagi: publikasi di jurnal nasional saja tidak cukup sebagai syarat kelulusan doktor. Level S3 harus terbit di jurnal internasional yang "terindeks dan bereputasi" dong! Kalau hanya jurnal nasional, itu sih levelnya S2 😄😏😏. Dan konon kabarnya, banyak universitas di Indonesia yang sudah atau akan mulai menerapkan aturan ini dengan lebih ketat.

Bagaimana dampak kebijakan ini di Indonesia? Cek saja jumlah mahasiswa doktoral dan jurnal nasional kategori SINTA 1 dan 2 yang ada. Tak sulit membayangkan bahwa yang terjadi di sini takkan jauh berbeda dari kisah di atas.

Sumber gambar: https://twitter.com/petervikesland

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...