Oleh: Anindito Aditomo | Pertama terbit 19 Mei 2014 di MEDIA INDONESIA 
PEKAN lalu seorang pelajar SMA dari Surabaya menulis sebuah surat 
terbuka untuk M Nuh, menteri pendidikan dan kebudayaan. Surat itu berisi
 kritik yang tajam, dengan logika yang baik, tetapi dalam bahasa yang 
santun. Substansi kritik surat tersebut sudah cukup banyak dibahas dan 
tidak akan saya ulang di sini. Yang saya soroti dalam tulisan ini ialah 
jawaban M Nuh ketika ditanya wartawan tentang surat tersebut. Alih-alih 
memberi apresiasi, ia justru tidak percaya bahwa seorang pelajar SMA 
bisa menulis surat seperti itu. 
Respons M Nuh tentu mengecewakan, tetapi tidak mengejutkan. 
Ketidakpercayaan Pak Menteri sudah bisa diduga karena konsisten dengan 
arah kebijakan mendasar yang dipilih kementeriannya. Yang pertama ialah 
penguatan fungsi ujian nasional sebagai penentu kelulusan siswa SMP dan 
SMA. Yang kedua ialah penggantian kurikulum tingkat satuan pendidikan 
dengan kurikulum 2013. Kedua kebijakan itu pada dasarnya mencerminkan 
ketidakpercayaan akut terhadap kapasitas profesional guru sebagai ujung 
tombak pendidikan. Bila terhadap guru saja M Nuh sangsi, apalagi pada 
siswa-siswanya?
Profesionalitas tanpa otonomi
Secara resmi, pemerintah telah mengakui guru sebagai profesional. Hal
 itu berarti kerja guru diakui sebagai aktivitas yang padat pengetahuan 
(knowledge-intensive), yang memerlukan keahlian khusus yang diperoleh 
melalui rangkaian pengalaman belajar sistematis dan ekstensif. Salah 
satu implikasinya ialah bahwa guru, sebagaimana dokter dan akuntan, 
seyogianya dipercaya untuk bekerja secara otonom/ mandiri berdasarkan 
professional judgment mereka.
Kewenangan untuk bekerja secara otonom itu sesuai dengan kerangka 
kualifikasi nasional yang ditetapkan pemerintah (PP No 8 Tahun 2012). 
Dalam kerangka itu, kompetensi seorang profesional mencakup kemampuan 
merencanakan dan mengelola sumber daya dalam lingkup tanggung jawabnya, 
serta mengevaluasi secara komprehensif hasil kerjanya. Secara finansial,
 pengakuan profesionalitas guru juga tecermin pada pemberian tunjangan 
profesional bagi yang telah lulus sertifikasi.
Yang menjadi masalah ialah pengakuan formal dan penghargaan finansial
 tersebut tidak diikuti dengan pemberian kepercayaan (trust). Justru 
sebaliknya, pemerintah mengebiri kewenangan guru dalam melaksanakan 
aktivitas profesionalnya. Salah satu aspek kunci aktivitas mengajar 
ialah melakukan assessment hasil belajar siswa. Namun, melalui kebijakan
 ujian nasional pada SMP dan SMA (serta ujian daerah untuk tingkat SD), 
pemerintah pada dasarnya mengatakan guru tidak bisa dipercaya melakukan 
evaluasi hasil belajar siswanya sendiri.
Sebaliknya, evaluasi pembelajaran hanya bisa dilakukan tim pakar dari
 pusat, melalui ujian yang isinya dijadikan rahasia negara. Paket soal 
pun dibuat sampai 20 jenis, untuk memastikan siswa (dan para gurunya) 
tidak bisa saling menyontek. Bahkan ada daerah yang sampai menyadap 
telepon seluler para guru agar mereka tidak membocorkan soal ujian.
Pesan yang disampaikan implisit, tapi gamblang: pemerintah tidak 
percaya bahwa guru bisa mampu merancang soal ujian yang baik, atau dapat
 menilai muridnya sendiri dengan objektif. Ini ibarat pemerintah, 
melalui Departemen (Kementerian) Kesehatan, ngotot menguji hasil 
diagnosis dan pengobatan setiap orang yang mendapat pelayanan dari 
dokter di Indonesia. Tentu itu pemikiran yang absurd. Namun, itulah yang
 terjadi pada di dunia pendidikan.
Namun, bukan hanya itu. Pemerintah juga mencabut kurikulum tingkat 
satuan pendidikan (KTSP) yang belum genap 10 tahun diterapkan. Salah 
satu landasan filosofis KTSP ialah yang mengetahui konteks dan kebutuhan
 bela jar siswa ialah guru dan sekolah. Dengan demikian, sekolah diberi 
kewe nangan untuk menyusun kuri kulumnya sendiri, dengan mengacu ke 
beberapa capaian belajar nasional. Guru juga harus membuat rencana ajar 
(lesson plan) mereka sendiri. Tentu itu menuntut keahlian profesional 
tersendiri.
Otonomi itu dicabut dengan berlakunya kurikulum 2013. Sekolah tidak 
lagi boleh menyusun kurikulumnya sendiri. Guru pun diminta untuk sekadar
 melaksanakan lesson plan yang telah disiapkan tim dari pusat. Bahkan 
buku ajar dan materi lain juga dipasok. Materi dan proses pengajaran 
dari Aceh sampai Papua, untuk kota megapolitan Jakarta sampai desa 
pelosok terpencil, diharapkan sama. Guru pun berhenti menjadi 
profesional dan beralih menjadi tukang penyampai informasi.
Mencari presiden yang pro-guru
Apakah keadaan ini menunjang proses pembelajaran? Apakah dalam 
keadaan seperti ini, guru dapat mengajar dengan inovatif? Apakah siswa 
menjadi bersemangat untuk belajar dan haus pengetahuan? Tak dimungkiri, 
ada sebagian guru yang lebih senang dengan pengebirian otonomi 
profesionalnya. Apalagi disertai dengan reward finansial berupa 
tunjangan profesi yang relatif besar bagi mereka.
Namun, untuk sebagian besar yang lain, uang saja tidak akan 
menumbuhkan keinginan intrinsik untuk menjadi kreatif dan inovatif. 
Sebuah teori psikologi klasik mengatakan uang hanyalah faktor yang 
mencegah seseorang untuk berhenti kerja. Uang tidak dapat membuat 
seseorang menyenangi dan mau mencurahkan segenap jiwa untuk 
pekerjaannya. Untuk itu, ada kebutuhan-kebutuhan psikologis yang mesti 
dipenuhi, seperti otonomi dan kompetensi. Kebutuhan akan otonomi 
terpenuhi ketika seseorang diberi kepercayaan dan kesempatan untuk 
berpikir dan kemudian bertindak mandiri. Kebutuhan kompetensi terpenuhi 
ketika pekerjaan seseorang memungkinkannya untuk terus tumbuh, menguasai
 pengetahuan dan keterampilan baru.
Momentum pemilu tahun ini membuka harapan bahwa presiden baru akan 
terbuka untuk melakukan reformasi mendasar di bidang pendidikan. Apa 
yang harus dilakukan? Solusi jangka pendeknya sebenarnya amat jelas. 
Pertama, hentikan penggunaan ujian nasional sebagai komponen penentu 
kelulusan siswa dan kembalikan wewenang evaluasi kepada guru dan 
sekolah. Itu sejalan dengan Pasal 58 UU No 20/2003 yang menyatakan 
evaluasi hasil belajar siswa dilakukan pendidik, serta Pasal 61 yang 
menegaskan ujian diselenggarakan satuan pendidikan.
Kedua, cabut kurikulum 2013, dan kembali berlakukan KTSP. Ini juga 
sejalan dengan UU No 20/2003 Pasal 36 sampai 38, yang menjelaskan bahwa 
pengembangan kurikulum dilakukan satuan pendidikan berdasarkan prinsip 
`diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan 
peserta didik’. Kurikulum yang seluruh perangkat pendukungnya dibuat 
secara terpusat jelas melanggar prinsip itu. Kedua kebijakan korektif 
itu ialah langkah awal yang memungkinkan guru untuk mengajar secara 
lebih bermakna, bukan sekadar untuk menuntaskan materi dan mengejar 
nilai ujian.
Untuk jangka menengah dan panjang, pemerintah harus serius 
meningkatkan kualitas guru serta menutup kesenjangan antardaerah. Hal 
itu dimulai dengan reformasi lembaga pendidikan guru dan sistem 
pengembangan kompetensi berkelanjutan untuk guru yang sudah mengajar. 
Sediakan bank soal untuk topik-topik penting, latih para guru untuk 
merakit tes yang diperlukan, kemudian percayakan pada mereka untuk 
mengevaluasi muridnya. Tanpa kepercayaan kepada guru, sampai kapan pun 
pendidikan kita akan jalan di tempat, atau bahkan mundur teratur.