Wednesday, December 25, 2013

Pentingnya Mindset yang Tepat tentang Kecerdasan


Update: Hasil penelitian saya tentang peran mindset telah diterbitkan oleh International Journal of Educational Psychology (Vol. 4, No. 2, tahun 2015)

Bayangkan seseorang bernama Antok. Ketika SD, ia tidak begitu pandai di sekolah. Ia dianggap lambat belajar dan nilai-nilai rapornya pun sekedar cukup untuk naik kelas. Ketika ada pengukuran IQ, ternyata memang skor Antok sedikit di bawah rata-rata anak seusianya. Tidak ada guru yang menanggap bahwa Antok adalah anak yang akan punya prestasi akademik bagus di masa mendatang.

Kemudian bayangkan Budi, kawan sekelas Antok. Budi adalah tipikal siswa yang disayang guru karena dianggap mudah memahami pelajaran di kelas. Nilai-nilai rapornya memang bagus, dan ia beberapa kali menjadi juara kelas. Guru-gurunya tidak ragu bahwa Budi akan punya prestasi akademik bagus di masa mendatang.

Nah, bagaimana masa depan akademik Antok menurut Anda? Seberapa mungkin ia, misalnya saja, memperoleh nilai rapor yang di atas rata-rata kelasnya? Atau menjadi juara kelas ketika SMP dan SMA? Atau meningkatkan skor IQ-nya menjadi di atas rata-rata?Atau mendapat beasiswa untuk masuk universitas karena prestasi akademiknya? Sebaliknya, seberapa mungkin Budi menjadi tidak berprestasi ketika SMP dan SMA? Tidak naik kelas, misalnya? Atau gagal menembus tes masuk perguruan tinggi yang ia inginkan?

Jawaban Anda atas pertanyaan-pertanyaan di atas ini mencerminkan asumsi Anda tentang apakah kecerdasan akademik dapat berubah secara mendasar. Ini yang disebut oleh Carol Dweck, ahli psikologi Universitas Stanford, sebagai mindset tentang kecerdasan. Di antara para pembaca, tentu akan ada perbedaan pendapat. Sebagian di antara Anda akan merasa bahwa kecil kemungkinan si Antok akan menjadi juara kelas. Asumsinya, kecerdasan adalah bakat yang dibawa sejak lahir. Bahwa kecerdasan tidak bisa berubah secara drastis. Carol Dweck menyebut pandangan ini sebagai fixed mindset. Saya dahulu termasuk orang yang berpandangan seperti ini.

Sebaliknya, sebagian dari Anda akan mengatakan bahwa mungkin saja si Antok menjadi juara kelas dan mendapat beasiswa masuk universitas. Sebaliknya, si Budi juga bisa melorot prestasinya. Asumsinya di sini adalah bahwa kecerdasan akademik bukan bakat yang tak bisa diubah. Kecerdasan lebih seperti otot yang bisa dan perlu untuk terus-menerus dilatih. Carol Dweck menyebut pandangan ini sebagai growth mindset.

Nah, apa pengaruhnya pandangan atau mindset kita tentang kecerdasan? Bukankah ini hanya sekedar pendapat saja, dan tiap orang boleh saja kan berbeda pendapat? Benar demikian. Tapi benar juga bahwa cara kita memandang realitas menentukan pengalaman subjektif kita akan realitas tersebut. Pada gilirannya, persepsi subjektif akan menentukan cara kita menghadapi realitas. Dalam hal ini, mindset tentang kecerdasan ternyata bisa berpengaruh pada motivasi dan perilaku belajar.

Bertahun-tahun yang lalu, Carol Dweck dan rekan-rekannya melakukan eksperimen yang menunjukkan pentingnya mindset kecerdasan. Subjek eksperimen mereka adalah anak-anak kelas 5 dan 6 yang diberi serangkaian teka-teki. Delapan teka-teki yang pertama sengaja dibuat cukup mudah, sedangkan empat teka-teki terakhir dibuat sangat sulit dipecahkan oleh anak seusia mereka. Sambil mengerjakan teka-teki, anak-anak tersebut diminta untuk mengekspresikan perasaan dan pikiran mereka.

Seperti diduga, semua anak berhasil menyelesaikan teka-teki yang mudah. Mereka mengerjakan dengan gembira. Perbedaan mulai muncul ketika menghadapi teka-teki yang sulit. Sebagian anak tiba-tiba bermuka masam, merasa malas mengerjakan teka-teki itu. Pikiran mereka diliputi kecemasan akan kegagalan. Mereka juga seolah lupa dengan strategi-strategi problem solving yang baru saja terapkan pada teka-teki mudah.

Sebagian anak yang lain justru merasa senang dan tertantang untuk menyelesaikan teka-teki sulit itu. Mereka optimis bisa memecahkannya, meski perlu usaha ekstra. Mereka tidak cemas dan tidak memikirkan kegagalan.

Yang membedakan kedua kelompok ini adalah mindset mereka tentang kecerdasan. Kelompok pertama – yang menjadi malas dan cemas – percaya bahwa kecerdasan itu bakat yang tak bisa diubah. Bagi mereka, kegagalan menandakan kebodohan. Situasi eksperimen itu ibarat sekolah: yang bodoh akan gagal, yang pintar akan berhasil. Ketika menghadapi soal yang sulit, mereka merasa terancam dianggap sebagai orang bodoh (dan terancam merasa bodoh). Karena itulah mereka menjadi cemas.

Sebaliknya, kelompok kedua adalah mereka yang percaya bahwa kecerdasan itu merupakan buah dari usaha. Bila kecerdasan merupakan buah dari usaha, maka gagal menandakan kurangnya usaha. Kegagalan bukan tanda bahwa seseorang itu bodoh (dan tidak bisa menjadi lebih pintar). Menghadapi teka-teki yang sulit, mereka tidak merasa terancam dianggap bodoh. Justru sebaliknya, teka-teki sulit adalah kesempatan untuk belajar meningkatkan kecerdasan.

Dinamika motivasional ini berlaku juga di situasi nyata (di luar laboratorium eksperimen). Baru-baru ini saya mengajukan kasus “Antok” di atas kepada lebih dari seratus mahasiswa pada awal semester di sebuah mata kuliah yang sulit. Setelah ujian tengah semester, saya menanyakan apakah hasil ujian mereka sesuai harapan, lebih dari harapan, atau kurang dari harapan. Saya juga menanyakan apakah mereka menjadi lebih termotivasi untuk belajar, atau justru lebih malas dan tidak tertarik dengan materi kuliah tersebut.

Bagi mahasiswa yang memiliki fixed mindset (yang merasa Antok tidak akan bisa menjadi cerdas), kegagalan di ujian menurunkan minat dan motivasi untuk belajar. Mereka yang berhasil di ujian menjadi lebih termotivasi. Dengan kata lain, mahasiswa dengan fixed mindset sangat rentan terhadap kegagalan. Sebaliknya, bagi mahasiswa dengan growth mindset (yang percaya bahwa Antok bisa menjadi lebih cerdas), kegagalan atau keberhasilan ujian tidak terkait dengan motivasi belajar.

Hasil penelitian kecil ini kembali menunjukkan pentingnya mindset kecerdasan. Kabar gembiranya adalah bahwa mindset ini mudah untuk diubah. Bagi Anda yang belum percaya bahwa kecerdasan bisa berubah secara mendasar, ada banyak bacaan yang bisa meyakinkan Anda untuk berubah pikiran!

Referensi: 
Aditomo, A. (2015). Students' response to academic setback: Growth mindset as a buffer against demotivation. International Journal of Educational Psychology, 4(2), 198-222.
Dweck, C. S. (2006). Mindset: How You can Fulfil Your Potential.

Sumber gambar: 
http://www.123rf.com/photo_12496301_abstract-cognitive-intelligence.html

1 comment:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...