Sunday, November 27, 2016

Belajar Menjadi Guru: Resensi Buku “Mendidik Pemenang Bukan Pecundang”


Dalam bab pembuka buku “Mendidik Pemenang Bukan Pecundang”, bu Dhitta Puti dan pak Sumardianta menggambarkan besarnya tantangan yang dihadapi pendidik zaman ini. Mengutip Rhenald Kasali, para penulis buku ini mengatakan bahwa zaman mutakhir ini memiliki empat ciri: vitality (penuh energy dan cepat berubah), uncertainty (penuh ketidakpastian), complexity (rumit, saling berkait kelindan) dan ambiguity (serba tak jelas). Bagaimanakah sekolah, dan kita sebagai masyarakat, bisa membantu generasi muda untuk hidup dan menjadi pemenang di zaman ini?

Saturday, September 24, 2016

Dunia Publikasi Ilmiah Tidak Sehitam-putih SCOPUS dan Daftar Beall

Behind the scenes proses editorial sebuah jurnal abal-abal. Image source: https://peregrinationsdeso.files.wordpress.com
Menanggapi tulisan saya sebelumnya, ada yang bertanya tentang cara mengenali jurnal predator alias abal-abal. Cara paling gampang tentu dengan menengok daftar hitam yang ada di blog Scholarly Open Access milik Dr. Jeffrey Beall (https://scholarlyoa.com). Blog ini tersebut memuat daftar penerbit dan judul jurnal yang dianggap “meragukan”. Kalau jurnal dan/atau penerbit yang anda ingin tuju ternyata ada di daftar Beall, sebaiknya kaji ulang rencana anda!

Tuesday, September 20, 2016

Antara Scopus, Jurnal Predator, dan Pengembangan Ilmu


Pendaratan di Bandara Ahmad Yani, Semarang, kemarin pagi terasa mulus. Di area kedatangan yang kemeruyuk, bu Ika Zenita bergegas menyapa dan menunjukkan arah ke mobil penjemput. Syukurlah, meski penerbangan sempat tertunda satu jam di Bandara Juanda, kami sampai di kampus Psikologi Universitas Diponegoro beberapa menit menjelang jam 10. Masih sempat beramah-tamah dengan dekan dan rehat sejenak sebelum mulai memfasilitasi lokakarya penulisan artikel jurnal rekan-rekan dosen di sini.

Pada sesi pertama, saya diminta memandu peserta untuk memilih jurnal internasional. Ya, urusan memilih jurnal yang cocok sebagai wahana publikasi ini ternyata tidak sederhana. Yang membuatnya pelik bukan hanya pilihan yang semakin banyak, tapi juga adanya jurnal-jurnal “predator” yang semakin pintar menipu para akademisi yang (dibuat) haus publikasi internasional.

Thursday, June 9, 2016

Oleh-oleh dari Aurangabad #1



Enam hari terakhir sungguh mengasyikkan. Atas sponsor beberapa lembaga, saya bersama peserta dari belasan negara mengikuti sebuah lokakarya tentang citizen-led assessment (CLA) yang diadakan ASER Centre, serta tentang beberapa program pembelajaran berbasis komunitas oleh Pratham Institute (induk organisasi ASER). Soal CLA sendiri akan kapan-kapan akan saya tulis tersendiri; untuk sementara, sila tengok website asercentre.org.

Lokakarya diadakan luar di Aurangabad, sebuah kota di tengah-tengah negara bagian Maharasta, India. Aurangabad dipilih karena kedekatannya dengan banyak desa yang menjadi lokasi berbagai program pembelajaran berbasis komunitasnya Pratham. Kunjungan lapangan ke desa-desa tersebut menjadi bagian penting lokakarya. Kami bisa melihat dan merasakan penerapan konsep pembelajaran dalam konteks nyatanya.

Saturday, April 30, 2016

Insting Bahasa dan Kesenjangan Akademik

The Language Instinct (Steven Pinker, 1994) adalah salah satu dari sekian banyak buku yang saya beli semata karena tidak tahan melihat buku (yang sepertinya) bagus dan dijual dengan harga obral. Pagi tadi secara kebetulan saya menemukannya lagi ketika membongkar almari untuk mencari buku lain. Membaca beberapa bab awal membuktikan bahwa insting saya waktu membelinya tidak keliru. Ini memang buku bagus. Kok nggak dari dulu saya baca ya, hahaha.

Karya ahli psikolog dari Harvard University ini bercerita tentang tentang kemampuan berbahasa. Bagi Steven Pinker bahasa, pertama dan terutama, merupakan produk dari biological make-up kita sebagai spesies. Pinker tidak bermaksud menyangkal adanya pengaruh budaya pada bahasa. Yang ia maksud adalah bahwa bahasa tumbuh dari "predisposisi" alias kesiapan biologis setiap manusia normal. Bayi manusia memiliki bakat alami untuk dengan cepat menyerap dan kemudian menggunakan struktur dari bahasa lisan yang digunakan oleh orang lain di sekitarnya.

Pandangan ini sebenarnya tidak baru atau mengejutkan. Noam Chomsky, sang begawan dari MIT, telah mengungkapkan hal tersebut dengan sangat meyakinkan pada 1960an. Dan memang, gagasan-gagasan Chomsky setengah abad yang lalu itu turut melahirkan bidang interdisipliner bernama ilmu-ilmu kognitif (cognitive sciences). Yang tadinya merupakan gagasan revolusioner dan ditentang oleh status quo keilmuan, sekarang ditekuni oleh ribuan ilmuwan. Buku Steven Pinker ini merupakan rajutan temuan ilmiah tentang bahasa yang dihasilkan oleh ilmuwan dari berbagai disiplin.

Di sini saya hanya mengulas salah satu poin menarik Pinker berdasarkan temuan-temuan dari bidang antropologi. Para antropolog, menurut Pinker, belum pernah menemukan komunitas atau kelompok manusia yang TIDAK memiliki bahasa. Setiap suku terpencil yang pernah dijumpai manusia modern memiliki bahasa. Bukan itu saja. Yang penting dicatat adalah bahwa bahasa yang dimiliki suku-suku terpencil itu ternyata sama kompleksnya dengan bahasa yang digunakan masyarakat modern. Ini menunjukkan bahwa bahasa bukan semata produk peradaban modern.

Berangkat dari kenyataan itu, Pinker menyatakan bahwa tidak ada bahasa yang inferior atau superior. Pandangan ini punya implikasi penting untuk pendidikan. Di Amerika dan negara berbahasa Inggris, siswa dari keluarga miskin kerap dianggap punya kemampuan berbahasa yang inferior. Tata bahasa (grammar) yang mereka gunakan kacau balau. Kosakata mereka lebih terbatas dan kurang canggih. Dan karena itulah banyak siswa miskin yang perkembangan literasinya terhambat. Mereka lebih sering menemui kesulitan dalam membaca dan menulis dibanding siswa dari keluarga berada.

Bila bahasa merupakan produk insting yang universal, sebagaimana dikatakan Pinker, maka ketertinggalan akademik siswa miskin tadi bukan karena karena mereka lebih rendah kecerdasan berbahasanya. Pinker menceritakan penelitian William Labov tentang bahasa (lisan) anak muda kulit hitam di Harlem. Labov menemukan bahwa bahasa anak muda kulit hitam - yang secara umum miskin dan jarang berhasil secara akademik - memiliki grammar tersendiri yang tidak kalah sistematis atau rasionalnya dibanding bahasa Inggris "standar".

Dengan demikian, kesulitan akademik siswa miskin, seperti anak-anak muda kulit hitam dari Harlem tersebut, adalah karena mereka harus menggunakan bahasa yang berbeda di sekolah. Bayangkan kalau anda harus menggunakan bahasa asing di sekolah. Atau jika semua buku pelajaran anda ditulis dalam bahasa asing.

Dus, bisa dikatakan bahwa salah satu sumber kesenjangan akademik adalah penggunaan bahasa yang kebetulan dikuasai oleh kelompok masyarakat tertentu. Jadi bagaimana seharusnya? Entahlah. Saya menduga bahwa kesenjangan akademik di Indonesia tidak terlalu dipengaruhi oleh perbedaan bahasa, seperti halnya di Amerika dan dunia berbahasa Inggris. Meski begitu, ada baiknya orang tua dan pendidik merenungkan ajakan bijak Nelson Mandela agar berusaha untuk berbicara dalam bahasa anak-anak dan siswa kita, atau setidak-tidaknya, berbicara dalam bahasa yang mereka mengerti.


Thursday, March 31, 2016

Objektivitas Sains dan Nilai-nilai Moral



== Dalam “Science, Truth, and Democracy” (2001), filsuf sains Philip Kitcher menjabarkan visinya tentang peran yang seharusnya dimainkan sains dalam masyarakat demokratis. Ini adalah bagian dari catatan dan tanggapan saya dalam membaca bab pengantar dari karya tersebut. ==

Mengawali diskusinya tentang sains dan demokrasi, Kitcher (2001) menjabarkan dua imaji atau angan-angan mengenai sains. Dalam imaji yang pertama, sains adalah puncak pencapaian peradaban manusia. Sains modern membebaskan manusia dari berbagai tahayul dan dogma lama yang mengukung rasionalitas. Petir yang menyambar bukan lagi pertanda Zeus atau dewa Indra yang sedang murka. Panen yang melimpah tidak lagi dianggap kemurahan hati dewi Sri atau Demeter. Penyakit, kecelakaan, dan kematian tak lagi dianggap sebagai akibat melanggar tabu atau lalai memberi persembahan bagi para dewa.

Friday, November 27, 2015

Membongkar Mitos Gaya Belajar (2)


Baca juga: Membongkar mitos gaya belajar (1)

Andaikan anda seorang guru. Suatu ketika, atas saran seorang kawan, anda mensurvei gaya belajar siswa di kelas anda. Sebagian besar ternyata pembelajar visual: mereka mengaku lebih senang melihat gambar dan diagram daripada membaca teks atau mendengar ceramah suara. 

Apa yang sebaiknya anda lakukan? Menurut para pelopor teori gaya belajar, guru yang baik seharusnya menyesuaikan cara mengajar dengan gaya belajar siswanya. Tapi bagaimana caranya? Jangan kuatir, kalau anda belum bisa melakukannya, ada berbagai seminar dan pelatihan yang bisa anda ikuti! Tentu dengan sedikit biaya investasi :)

Seperti saya tulis sebelumnya, gagasan gaya belajar ini sangat populer. Produk yang dijual para pencetusnya laris manis. Ini industri bernilai jutaan dolar. Yang jadi masalah adalah gagasan ini tidak punya fondasi yang kokoh. Dengan kata lain, penyesuaian antara pengajaran dan gaya belajar masih berstatus mitos!

Thursday, November 26, 2015

Membongkar Mitos Gaya Belajar (1)


Baca juga: Membongkar mitos gaya belajar (2)

Apakah anda lebih suka belajar dengan melihat? Bagaimana kalau dibandingkan belajar dengan mendengarkan orang bicara? Atau sambil bergerak dan melakukan aktivitas secara fisik? 

Sebagian besar dari Anda mungkin sudah pernah mendengar pertanyaan-pertanyaan ini. Sebagian mungkin sudah pernah mencoba mengisi kuesioner atau kuis yang memuat pertanyaan-pertanyaan serupa. Di balik pertanyaan-pertanyaan semacam ini adalah gagasan bahwa tiap individu memiliki "gaya belajar" yang unik. 

Monday, September 28, 2015

SATU KELAS, BERPULUH LINTASAN BELAJAR

Melbourne skyline dari gedung psikologi, Melbourne University.

Setelah dimanjakan cuaca cerah hari Minggu di Melbourne, agenda pertama rombongan Balitbang pada Senin pagi adalah mengunjungi Australian Council for Educational Research (ACER). Karena datang sedikit lebih awal dari jadwal, kami dipersilakan menunggu di toko buku yang berada di bagian depan kantor ACER. Bagi kutu buku dan orang pendidikan macam kami, koleksi toko buku tersebut sungguh menggoda iman. Tak butuh waktu lama sebelum pak Fasli dan pak Nizam terlihat menenteng beberapa buku. (Karena uang saku terbatas, saya sendiri hanya bisa menelan ludah, hahaha.)

Tepat jam 9, kami diterima oleh CEO ACER, Geoff Masters, direktur bidang internasionalnya, Peter McGukian, dan beberapa peneliti senior. Status ACER sebagai lembaga riset pendidikan yang murni swasta sudah saya bahas di tulisan lain. Di sini saya akan membahas sebuah makalah karya Geoff Masters (2013) yang beberapa kali dirujuk dalam diskusi tersebut. Makalah berjudul "Reforming Educational Assessment" tersebut memuat banyak gagasan segar tentang asesmen, dan  bisa diunduh gratis! Saya akan fokuskan pada gagasan tentang kaitan antara variasi antar-siswa dan peran asesmen dalam pengajaran. 

Semua guru, dan mungkin semua orang yang pernah harus mengajar lebih dari satu murid dalam kelas yang sama, tahu bahwa tiap siswa berbeda. Pun demikian dalam hal penguasaan materi ajar: ada yang sudah menguasai cukup banyak materi sejak awal, tapi ada juga yang pada akhir pelajaran masih belum mencerna materi yang dibahas. Tapi seberapa besar sebenarnya variasi tersebut? Seberapa jauh jarak antara siswa yang tertinggal dengan yang terdepan? Jawaban atas pertanyaan ini, menurut saya, cukup mencengangkan. Simaklah grafik berikut:

Friday, September 25, 2015

Kemampuan Generik dan Irisannya dengan Mata Pelajaran

Oleh: Anindito Aditomo



Dalam struktur kurikulum nasional Australia, terlihat adanya tujuh “general capabilities” yang memotong sebelas disiplin atau “learning areas”. “Learning areas” bisa diterjemahkan sebagai mata pelajaran. “General capabilities” tidak punya padanan istilah yang sudah lazim kita gunakan, namun dalam tulisan ini akan saya terjemahkan sebagai kemampuan generik. Istilah lain yang dekat dan mungkin lebih populer di sini adalah “soft skills.”
 
Saya sendiri lebih suka menggunakan kata “kemampuan” daripada “skill” atau keterampilan. Istilah keterampilan mudah disalahtafsirkan sebagai konstruk yang semata-mata bersifat “motorik” atau perilaku fisik. Keterampilan seringkali dianggap tidak mencakup ranah kognitif dan afektif. Padahal sebenarnya keterampilan apa pun melibatkan pengetahuan dan emosi.
 
Sebagai contoh, keterampilan membuat sketsa pasti dilandasi pengetahuan tentang jenis-jenis pensil, kertas, cara menggores, dan bentuk-betuk dasar. Membuat sketsa juga memerlukan kepercayaan diri dan kemauan untuk mencoba-coba. Pun demikian dengan keterampilan olah raga, bermusik, merakit komputer, bersosialisasi, dan seterusnya.
 
Karena pemahaman umum terhadap istilah keterampilan yang seperti itulah, istilah kapabilitas atau kemampuan menjadi lebih pas. Definisi resminya pun menyebutkan adanya empat elemen (pengetahuan, keterampilan, perilaku, dan disposisi) sebagai pembentuk kemampuan generik. Ini menegaskan bahwa kemampuan generik bukanlah “keterampilan” dalam arti sempit.
 
Konsekuensinya adalah bahwa pengembangan kemampuan generik ini tidak bisa hanya fokus pada prosedur (knowing how), tapi juga pemahaman (knowing why) dan disposisi (kemauan bertindak).
 
Dalam diskusi dengan Balitbang Kemendikbud minggu lalu, ACARA (pengembang kurikulum ini) menegaskan bahwa tiap kemampuan umum memiliki “pijakan alami” pada pelajaran tertentu. Misalnya, literasi menemukan pijakan paling natural di pelajaran bahasa, numerasi di pelajaran matematika, dan pemahaman lintas-budaya di pelajaran-pelajaran ilmu sosial dan bahasa asing. Dengan demikian, tidak semua pelajaran diharuskan mengembangkan tujuh kemampuan umum. Guru juga tidak dituntut menilai siswa dalam tujuh kemampuan tersebut.
 
Sampai di sini sebenarnya tidak ada yang terlalu baru dalam konsep kemampuan generik yang ditampilkan dalam kurikulum nasional Australia. Menurut saya yang perlu dicatat adalah bahwa kemampuan generik ini sebenarnya sepadan dengan empat kompetensi inti (KI) dalam Kurikulum 2013 kita. Perbedaan mendasarnya adalah tiap kemampuan generik punya deskripsi achievement standard-nya sendiri, yang lepas dari deskripsi untuk mata pelajaran. Demikian juga sebaliknya, tiap mata pelajaran memiliki achievement standard-nya sendiri, yang lepas dari kemampuan generik.
 
Sebagai contoh, berikut achievement standards untuk kemampuan “bernalar dalam bertindak dan membuat keputusan”, yang merupakan salah satu dimensi dari “pemahaman etis”:
 
Tingkat 1 (taman kanak-kanak): identify examples from stories and experiences that show ways people make decisions about their actions; identify links between emotions and behaviours; identify and describe the influence of factors such as wants and needs on people’s actions.
 
Tingkat 2 (akhir kelas 2): discuss how people make decisions about their actions and offer reasons why people’s decisions differ; describe the effects that personal feelings and dispositions have on how people behave; give examples of how understanding situations can influence the way people act.
 
Tingkat 3 (akhir kelas 4): explain reasons for acting in certain ways, including the conflict between self-respect and self-interest in reaching decisions; examine the links between emotions, dispositions and intended and unintended consequences of their actions on others; consider whether having a conscience leads to ways of acting ethically in different scenarios.
 
Dalam Kurikulum 2013, keempat kompetensi inti tidak memiliki deskripsi tingkat pencapaian. Alih-alih demikian, tiap kompetensi inti dikawin-paksakan dengan kompetensi dasar untuk semua mata pelajaran. Inilah yang menghasilkan kalimat-kalimat ajaib semacam “Memiliki sikap disiplin dan rasa cinta tanah air terhadap sistem pemerintahan serta layanan masyarakat daerah melalui pemanfaatan bahasa Indonesia” sebagai kompetensi yang harus dicapai melalui pelajaran Bahasa Indonesia.
 
Menurut saya, perbandingan ini menunjukkan salah satu kesalahan paling mendasar dalam desain Kurikulum 2013 kita. Perwakinan paksa antara kemampuan generik dan kompetensi disiplin ilmu justru merusak kedua-duanya.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...