Tuesday, August 5, 2014

Disiplined Pursuit of Less (1)


Biasanya saya malas membaca buku psikologi populer atau self-help. Bukan karena buku-buku genre itu tidak berguna, atau sekedar pengalaman personal yang kemudian dianggap akan berlaku pada semua orang. Saya tahu ada buku-buku psikologi populer yang bagus, ditulis oleh orang yang ahli, dan tidak melulu berdasarkan pengalaman personal yang sempit. Mungkin keengganan saya membaca buku psikologi populer memang irasional. Entahlah, lain kali saya akan menulis tentang sentimen ini.

Tapi apapun alasannya, beberapa waktu yang lalu saya terpikat pada sebuah buku berjudul “Essentialism: The Disciplined Pursuit of Less”. Dan mungkin karena persekongkolan beberapa faktor – seperti terbatasnya kesempatan membuka laptop dan tidak ramahnya koneksi internet selama mudik lebaran – saya berhasil membaca buku tersebut dengan tuntas. Sesuatu yang semakin jarang bisa saya lakukan, gara-gara padatnya jadwal mengajar dan aktivitas kerja rutin lainnya. 

Monday, May 19, 2014

Otonomi Profesional Guru dan Kualitas Pendidikan

Oleh: Anindito Aditomo | Pertama terbit 19 Mei 2014 di MEDIA INDONESIA

PEKAN lalu seorang pelajar SMA dari Surabaya menulis sebuah surat terbuka untuk M Nuh, menteri pendidikan dan kebudayaan. Surat itu berisi kritik yang tajam, dengan logika yang baik, tetapi dalam bahasa yang santun. Substansi kritik surat tersebut sudah cukup banyak dibahas dan tidak akan saya ulang di sini. Yang saya soroti dalam tulisan ini ialah jawaban M Nuh ketika ditanya wartawan tentang surat tersebut. Alih-alih memberi apresiasi, ia justru tidak percaya bahwa seorang pelajar SMA bisa menulis surat seperti itu.

Respons M Nuh tentu mengecewakan, tetapi tidak mengejutkan. Ketidakpercayaan Pak Menteri sudah bisa diduga karena konsisten dengan arah kebijakan mendasar yang dipilih kementeriannya. Yang pertama ialah penguatan fungsi ujian nasional sebagai penentu kelulusan siswa SMP dan SMA. Yang kedua ialah penggantian kurikulum tingkat satuan pendidikan dengan kurikulum 2013. Kedua kebijakan itu pada dasarnya mencerminkan ketidakpercayaan akut terhadap kapasitas profesional guru sebagai ujung tombak pendidikan. Bila terhadap guru saja M Nuh sangsi, apalagi pada siswa-siswanya?

Profesionalitas tanpa otonomi

Secara resmi, pemerintah telah mengakui guru sebagai profesional. Hal itu berarti kerja guru diakui sebagai aktivitas yang padat pengetahuan (knowledge-intensive), yang memerlukan keahlian khusus yang diperoleh melalui rangkaian pengalaman belajar sistematis dan ekstensif. Salah satu implikasinya ialah bahwa guru, sebagaimana dokter dan akuntan, seyogianya dipercaya untuk bekerja secara otonom/ mandiri berdasarkan professional judgment mereka.
Kewenangan untuk bekerja secara otonom itu sesuai dengan kerangka kualifikasi nasional yang ditetapkan pemerintah (PP No 8 Tahun 2012). Dalam kerangka itu, kompetensi seorang profesional mencakup kemampuan merencanakan dan mengelola sumber daya dalam lingkup tanggung jawabnya, serta mengevaluasi secara komprehensif hasil kerjanya. Secara finansial, pengakuan profesionalitas guru juga tecermin pada pemberian tunjangan profesional bagi yang telah lulus sertifikasi.

Yang menjadi masalah ialah pengakuan formal dan penghargaan finansial tersebut tidak diikuti dengan pemberian kepercayaan (trust). Justru sebaliknya, pemerintah mengebiri kewenangan guru dalam melaksanakan aktivitas profesionalnya. Salah satu aspek kunci aktivitas mengajar ialah melakukan assessment hasil belajar siswa. Namun, melalui kebijakan ujian nasional pada SMP dan SMA (serta ujian daerah untuk tingkat SD), pemerintah pada dasarnya mengatakan guru tidak bisa dipercaya melakukan evaluasi hasil belajar siswanya sendiri.

Sebaliknya, evaluasi pembelajaran hanya bisa dilakukan tim pakar dari pusat, melalui ujian yang isinya dijadikan rahasia negara. Paket soal pun dibuat sampai 20 jenis, untuk memastikan siswa (dan para gurunya) tidak bisa saling menyontek. Bahkan ada daerah yang sampai menyadap telepon seluler para guru agar mereka tidak membocorkan soal ujian.

Pesan yang disampaikan implisit, tapi gamblang: pemerintah tidak percaya bahwa guru bisa mampu merancang soal ujian yang baik, atau dapat menilai muridnya sendiri dengan objektif. Ini ibarat pemerintah, melalui Departemen (Kementerian) Kesehatan, ngotot menguji hasil diagnosis dan pengobatan setiap orang yang mendapat pelayanan dari dokter di Indonesia. Tentu itu pemikiran yang absurd. Namun, itulah yang terjadi pada di dunia pendidikan.

Namun, bukan hanya itu. Pemerintah juga mencabut kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang belum genap 10 tahun diterapkan. Salah satu landasan filosofis KTSP ialah yang mengetahui konteks dan kebutuhan bela jar siswa ialah guru dan sekolah. Dengan demikian, sekolah diberi kewe nangan untuk menyusun kuri kulumnya sendiri, dengan mengacu ke beberapa capaian belajar nasional. Guru juga harus membuat rencana ajar (lesson plan) mereka sendiri. Tentu itu menuntut keahlian profesional tersendiri.

Otonomi itu dicabut dengan berlakunya kurikulum 2013. Sekolah tidak lagi boleh menyusun kurikulumnya sendiri. Guru pun diminta untuk sekadar melaksanakan lesson plan yang telah disiapkan tim dari pusat. Bahkan buku ajar dan materi lain juga dipasok. Materi dan proses pengajaran dari Aceh sampai Papua, untuk kota megapolitan Jakarta sampai desa pelosok terpencil, diharapkan sama. Guru pun berhenti menjadi profesional dan beralih menjadi tukang penyampai informasi.

Mencari presiden yang pro-guru

Apakah keadaan ini menunjang proses pembelajaran? Apakah dalam keadaan seperti ini, guru dapat mengajar dengan inovatif? Apakah siswa menjadi bersemangat untuk belajar dan haus pengetahuan? Tak dimungkiri, ada sebagian guru yang lebih senang dengan pengebirian otonomi profesionalnya. Apalagi disertai dengan reward finansial berupa tunjangan profesi yang relatif besar bagi mereka.

Namun, untuk sebagian besar yang lain, uang saja tidak akan menumbuhkan keinginan intrinsik untuk menjadi kreatif dan inovatif. Sebuah teori psikologi klasik mengatakan uang hanyalah faktor yang mencegah seseorang untuk berhenti kerja. Uang tidak dapat membuat seseorang menyenangi dan mau mencurahkan segenap jiwa untuk pekerjaannya. Untuk itu, ada kebutuhan-kebutuhan psikologis yang mesti dipenuhi, seperti otonomi dan kompetensi. Kebutuhan akan otonomi terpenuhi ketika seseorang diberi kepercayaan dan kesempatan untuk berpikir dan kemudian bertindak mandiri. Kebutuhan kompetensi terpenuhi ketika pekerjaan seseorang memungkinkannya untuk terus tumbuh, menguasai pengetahuan dan keterampilan baru.

Momentum pemilu tahun ini membuka harapan bahwa presiden baru akan terbuka untuk melakukan reformasi mendasar di bidang pendidikan. Apa yang harus dilakukan? Solusi jangka pendeknya sebenarnya amat jelas. Pertama, hentikan penggunaan ujian nasional sebagai komponen penentu kelulusan siswa dan kembalikan wewenang evaluasi kepada guru dan sekolah. Itu sejalan dengan Pasal 58 UU No 20/2003 yang menyatakan evaluasi hasil belajar siswa dilakukan pendidik, serta Pasal 61 yang menegaskan ujian diselenggarakan satuan pendidikan.

Kedua, cabut kurikulum 2013, dan kembali berlakukan KTSP. Ini juga sejalan dengan UU No 20/2003 Pasal 36 sampai 38, yang menjelaskan bahwa pengembangan kurikulum dilakukan satuan pendidikan berdasarkan prinsip `diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik’. Kurikulum yang seluruh perangkat pendukungnya dibuat secara terpusat jelas melanggar prinsip itu. Kedua kebijakan korektif itu ialah langkah awal yang memungkinkan guru untuk mengajar secara lebih bermakna, bukan sekadar untuk menuntaskan materi dan mengejar nilai ujian.

Untuk jangka menengah dan panjang, pemerintah harus serius meningkatkan kualitas guru serta menutup kesenjangan antardaerah. Hal itu dimulai dengan reformasi lembaga pendidikan guru dan sistem pengembangan kompetensi berkelanjutan untuk guru yang sudah mengajar. Sediakan bank soal untuk topik-topik penting, latih para guru untuk merakit tes yang diperlukan, kemudian percayakan pada mereka untuk mengevaluasi muridnya. Tanpa kepercayaan kepada guru, sampai kapan pun pendidikan kita akan jalan di tempat, atau bahkan mundur teratur.

Wednesday, December 25, 2013

Pentingnya Mindset yang Tepat tentang Kecerdasan


Update: Hasil penelitian saya tentang peran mindset telah diterbitkan oleh International Journal of Educational Psychology (Vol. 4, No. 2, tahun 2015)

Bayangkan seseorang bernama Antok. Ketika SD, ia tidak begitu pandai di sekolah. Ia dianggap lambat belajar dan nilai-nilai rapornya pun sekedar cukup untuk naik kelas. Ketika ada pengukuran IQ, ternyata memang skor Antok sedikit di bawah rata-rata anak seusianya. Tidak ada guru yang menanggap bahwa Antok adalah anak yang akan punya prestasi akademik bagus di masa mendatang.

Kemudian bayangkan Budi, kawan sekelas Antok. Budi adalah tipikal siswa yang disayang guru karena dianggap mudah memahami pelajaran di kelas. Nilai-nilai rapornya memang bagus, dan ia beberapa kali menjadi juara kelas. Guru-gurunya tidak ragu bahwa Budi akan punya prestasi akademik bagus di masa mendatang.

Nah, bagaimana masa depan akademik Antok menurut Anda? Seberapa mungkin ia, misalnya saja, memperoleh nilai rapor yang di atas rata-rata kelasnya? Atau menjadi juara kelas ketika SMP dan SMA? Atau meningkatkan skor IQ-nya menjadi di atas rata-rata?Atau mendapat beasiswa untuk masuk universitas karena prestasi akademiknya? Sebaliknya, seberapa mungkin Budi menjadi tidak berprestasi ketika SMP dan SMA? Tidak naik kelas, misalnya? Atau gagal menembus tes masuk perguruan tinggi yang ia inginkan?

Prinsip Dasar Pembelajaran

Prinsip paling mendasar dalam ilmu pembelajaran amatlah sederhana: pembelajaran adalah buah dari apa yang dilakukan oleh si pembelajar. Atau, dalam kata-kata Hebert Simon, peraih Nobel yang juga pelopor psikologi kognitif: “Learning results from what the student does and thinks, and only from what the student does and thinks.” Prinsip ini begitu sederhana sehingga mudah dianggap angin lalu. Tentu saja proses belajar tergantung pada si pembelajar! Apa yang baru atau mengejutkan tentang pernyataan ini?

Sebenarnya prinsip ini punya konsekuensi radikal pada cara kita memandang tugas seorang guru. Saya akan mencoba meyakinkan Anda melalui sebuah ilustrasi situasi yang kerap kita jumpai di kelas. Pak Budi sedang mengajar tentang konsep yang abstrak. Ia memberi ceramah tentang makna konsep tersebut, diikuti dengan contoh-contoh konkret. Di akhir pelajaran, pak Budi menguji pemahaman beberapa siswa dengan meminta mereka menyarikan definisi dari konsep itu. Ternyata bahwa siswa yang tampaknya menyimak dengan baik pun tidak bisa memberi jawaban yang memuaskan. Karena konsep tersebut penting, pak Budi merasa ia tidak bisa melanjutkan ke materi lain.

Dalam situasi pak Budi, kebanyakan guru (termasuk saya) akan berpikir tentang cara menjelaskan yang lebih mudah dicerna. Mungkin dengan analogi dengan kehidupan sehari-hari. Mungkin dibumbui humor. Mungkin contoh lain yang lebih konkret. Intinya, bila siswa belum paham, solusinya adalah penjelasan yang lebih sistematis, lebih konkret, lebih menyenangkan. Pemikiran seperti ini tentu baik. Namun secara tak sadar, pemikiran ini dilandasi oleh asumsi bahwa pengetahuan bisa kita “transfer” kepada siswa.

Namun justru asumsi intuitif inilah yang digugurkan oleh ilmu pembelajaran. Pemahaman baru tidak bisa ditransfer dari satu kepala ke kepala yang lain. Tidak seperti uang yang bisa ditransfer dari satu rekening ke rekening lain, atau air yang bisa dituang dari satu cawan ke cawan yang lain! Saya kutip lagi frase Herbert Simon, kali ini dengan sedikit penekanan: “Learning results from what the student does and thinks, and ONLY from what the student does and thinks.” Pemahaman baru hanya bisa dibentuk oleh siswa sendiri, melalui apa yang ia lakukan dan pikirkan. Apa pun yang dilakukan guru (memberi caramah, misalnya), hanya berdampak secara tak langsung pada proses belajar siswa.

Dengan demikian, esensi dari pengajaran bukanlah bagaimana cara menyampaikan penjelasan yang baik pada siswa. Persoalan inti pengajaran adalah bagaimana merancang aktivitas yang membuat siswa berpikir secara aktif, sehingga berbuah pada pemahaman baru. Dengan kata lain, prinsip pembelajaran ini mengundang kita untuk beralih dari pandangan “teaching as telling” ke pandangan “teaching as design.” Proses berpikir guru sebagai desainer mirip dengan proses berpikir arsitek yang merancang sebuah bangunan. Perbedaannya adalah, seorang guru harus “menghidupkan” dan memodifikasi sendiri rancangannya di kelas secara real time.

Apakah berarti memberi penjelasan (dengan kata lain, ceramah) yang lebih sistematis, konkret, dan menyenangkan itu percuma? Tidak juga. Ceramah yang baik bisa memicu proses berpikir yang mendalam, sehingga berbuah pada pemahaman baru. Namun biasanya hal ini hanya berlaku pada sebagian kecil siswa, yakni mereka yang sudah terbiasa “menginterogasi” informasi baru yang didengar.

Referensi:
1. National Research Council (2000). How People Learn: Brain, Mind, Experience, and School (Expanded Edition). National Academy Press: Washington.
2. Ambrose, S.A. et. al. (2010. How Learning Works: Seven Research-Based Principles for Smart Teaching. San Fransisco: Jossey-Bass.





Buruknya Kemampuan Bernalar Siswa Indonesia

Memperingati Hari Guru Nasional (27/11/2013), Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan bangga mengumumkan kemajuan signifikan dalam pembangunan bidang pendidikan. Tak lama kemudian, kita disentakkan oleh hasil Programme for International Student Assessment (PISA).

Tanpa keraguan, hasil PISA menunjukkan gagalnya kebijakan pendidikan nasional. Yang sudah banyak disorot oleh media adalah posisi siswa Indonesia yang menempati rangking 64 dari 65 negara peserta. Namun ini fokus yang keliru, karena rangking bisa naik atau turun bergantung pada model statistik yang digunakan untuk menghasilkan skor akhir. Yang jauh lebih penting adalah apa yang ditunjukkan PISA mengenai daya nalar siswa kita.

PISA adalah survei tiga-tahunan pada siswa usia 15 tahun (SMP kelas 2) di bidang matematika, bahasa, dan sains. Tes yang hasilnya diumumkan mingu lalu diikuti sekitar 510 ribu siswa dari dari 65 negara/teritori yang menjadi peserta. Untuk Indonesia, ada lebih dari 5500 siswa yang ikut serta, dipilih secara acak dari populasi sekitar 3,5 juta siswa.

Tuesday, December 24, 2013

Sintesis Sebagai Keterampilan Berpikir

Dalam bukunya “5 Minds for the Future”, Howard Gardner berbicara tentang lima keterampilan berpikir yang diperlukan untuk dapat berkontribusi secara positif pada kehidupan modern. Salah satunya adalah apa yang ia sebut the synthesizing mind: kemampuan menghasilkan sintesis – integrasi yang bermakna – dari informasi yang beragam jenis. Semakin berbeda jenis informasinya, semakin sulit merangkai sintesis yang baik.

Menghasilkan sintesis adalah bagian esensial dari kerja ilmuwan. Perumusan masalah riset biasanya mensyaratkan sintesis atas berbagai data awal dan penelitian terdahulu yang relevan. Dalam pendidikan doktoral, masalah yang diteliti biasanya menuntut mahasiswa untuk menelaah informasi yang mencakup dua atau lebih sub-disiplin ilmu. Pada puncaknya, produk sintesis dari ilmuwan adalah pengetahuan baru, sebuah “kacamata” yang membuat kita lebih memahami sebuah fenomena atau memungkinkan kita melihat dunia dengan cara yang berbeda.

Selain ilmuwan, banyak profesi lain yang juga memerlukan kemampuan sintesis. Seorang guru, misalnya, perlu memahami tidak saja topik yang diajarkan, tapi juga proses pembelajaran, kurikulum, peraturan pemerintah lain yang relevan, dan teknologi yang menjadi alat bantu pembelajaran. Dengan kata lain, untuk mengajar dengan baik, seorang guru perlu mensintesis pengetahuan bidang studi, psikologi, dan pedagogi. Produk sintesis dari seorang guru yang berhasil adalah kelas yang hidup, kelas yang menumbuhkan segenap potensi dari tiap siswa.

Penulis fiksi dan jurnalis, terutama ketika membuat tulisan feature, juga perlu keterampilan sintesis tingkat tinggi. Mereka perlu mensintesis pengetahuan kepenulisan dengan pengetahuan mengenai apa pun yang menjadi bahan tulisannya. Semakin kompleks topiknya, semakin banyak pula jenis informasi yang perlu dirangkai. Jurnalis yang menulis tentang konflik sosial yang terkait agama, misalnya, perlu pemahaman tentang kondisi sosial, budaya, dan sejarah masyarakat setempat, tentang nilai dan sistem keyakinan dari agama-agama yang terlibat konflik, sekaligus karakteristik target pembaca. Produk sintesis yang baik dari jurnalis dan penulis fiksi adalah narasi yang utuh, yang tidak saja menggoda pembaca untuk terus bertahan membaca sampai akhir, tapi juga memberi rasa tercerahkan setelahnya.

Di samping pada profesi-profesi spesifik, sintesis adalah kemampuan esensial seorang pemimpin. Semakin kompleks organisasi yang dipimpin, semakin beragam pula jenis informasi yang perlu disintesis. Seorang pemimpin harus memahami berbagai dimensi dari suatu masalah, namun tanpa terbelenggu oleh kompleksitas tersebut. Hal ini menuntut pemahaman atas lebih dari satu bidang ilmu, kemampuan mengenali dan menangguhkan asumsi, serta mengintegrasikan untuk menghasilkan keputusan strategis. Tidak berhenti di sana, keputusan strategis itu perlu disampaikan sebagai narasi yang persuasif.

Anyway, bagi yang tertarik dengan masa depan pendidikan, buku Gardner ini sangat layak untuk dibaca.

Friday, December 20, 2013

Apakah Sekolah Meningkatkan Skor IQ?

Flynn Effect di lima negara. Sumber gambar: http://www.highiqpro.com/fluidintelligence/?p=206

Dalam penelitian inteligensi, ada temuan menarik tentang peningkatan skor IQ antar generasi, paling tidak di negara-negara maju yang memiliki data IQ semenjak awal abad 20. Dibandingkan 100 tahun sebelumnya, saat ini norma atau patokan penyekoran IQ telah bergeser sekitar 30 poin. Ini setara dengan 2 simpangan baku.

Apa artinya ini? Sebagai gambaran, bila kita menggunakan norma modern untuk menyekor hasil tes generasi awal abad 20, maka rata-rata skor IQ mereka akan berada pada kisaran 70. Perlu diketahui bahwa dalam norma modern, angka 70 adalah ambang batas retardasi mental. Apakah berarti orang zaman itu memang berinteligensi rendah, bahkan mendekati retardasi mental? Mengapa kemampuan kognitif kita mengalami peningkatan dahsyat dalam kurun waktu sekitar satu abad terakhir? Apakah karena memang otak kita telah menjadi semakin canggih?

Fenomena ini sering disebut sebagai "Flynn effect", mengikuti nama penemunya, James Flynn. Menurut Flynn, penjelasan tentang fenomena ini bukanlah perubahan pada level fisiologis (otak), karena evolusi biologis sulit terjadi dalam kurun waktu sesingkat itu. Penjelasan yang lebih masuk akal adalah semakin canggihnya alat-alat konseptual yang kita gunakan sebagai kerangka berpikir.

Salah satu ciri zaman modern, kata Flynn, adalah kompleksitas kognitifnya. Manusia modern dituntut untuk bisa berpikir abstrak, memanipulasi simbol dan mengecek konsistensi logisnya. Kita dituntut untuk berpikir menggunakan analogi dan berpikir hipotetis ("seandainya X benar, maka ..."). Seabad yang lalu, sebagian besar orang hanya perlu menggunakan pikirannya untuk memanipulasi benda konkret atau dunia empiris.

Untuk menggambarkan perbedaan kemampuan berpikir abstrak-konseptual ini, Flynn bercerita tentang kakeknya, seorang Irlandia yang bermigrasi ke Amerika. Sang kakek, sebagaimana kebanyakan orang kulit putih ketika itu, rasis dan percaya bahwa orang kulit hitam memang bodoh, pantas menjadi budak, tidak boleh sekolah, dll.

Bila sang kakek ditanya: "Bagaimana jika kakek terbangun suatu hari sebagai orang kulit hitam? Bagaimana perasaan kakek? Bukankah kakek akan berpikir sebaliknya?" Jawaban sang kakek: "Itu pertanyaan paling bodoh yang pernah kudengar! Mana ada orang yang tidur kemudian warna kulitnya berubah?" Jawaban ini menandakan bahwa berpikir abstrak adalah hal yang asing bagi si kakek. Ia tidak mampu mengandaikan suatu keadaan yang tidak ada dalam pengalaman empirisnya.

Kalau Flynn benar bahwa peningkatan IQ adalah merupakan efek jangka panjang dari pendidikan, menarik untuk dilihat apakah hal ini terjadi secara universal. Bagaimana dengan di Indonesia? Jangan-jangan skor IQ kita stagnan?

Monday, October 28, 2013

Pendidikan Guru dan Praktik Pengajaran

Ketika menyiapkan materi pelatihan pembelajaran untuk dosen baru di kampus, saya kebetulan menemukan wawancara singkat yang menarik dengan Dylan William. Beliau adalah seorang profesor emiritus di Universitas London yang telah meneliti tentang asesmen formatif sejak pertengahan 1980an. Namun yang menarik dari wawancara ini bukan tentang asesmen formatif, melainkan refleksinya tentang pendidikan guru dan praktik pengajaran.

Prof. William mengatakan bahwa sebagian besar guru sudah selesai belajar tentang cara mengajar sebelum menginjak usia 18 tahun. Dengan kata lain, semua calon guru sebenarnya sudah menjalani “magang” atau kerja praktik selama mereka menjadi siswa. Tentu, sebagian besar guru pernah mengenyam 4-5 tahun kuliah di fakultas keguruan. Namun bandingkan pengetahuan yang didapat dari kuliah itu dengan pengetahuan (implisit namun konkret) tentang proses belajar mengajar sebagai hasil dari “magang” sebagai siswa selama 12-13 tahun. Menurut Prof. William, pengetahuan yang kedua inilah yang lebih berpengaruh pada cara mengajar seorang guru.

Pengetahuan yang didapat guru melalui kuliah keguruan bersifat deklaratif – kumpulan pernyataan yang eksplisit sekaligus abstrak. Misalnya, bahwa proses belajar bersifat aktif, bahwa tiap siswa memiliki bakat dan minat masing-masing, dan seterusnya. Pengetahuan deklaratif semacam ini mudah diuji, namun sulit diterapkan karena biasanya dipelajari bukan dalam konteks problem atau situasi nyata. Pengetahuan deklaratif mudah “dilaporkan” secara sadar (dalam ujian, misalnya), namun kerap mandul dalam situasi pemecahan masalah yang nyata.

Sebaliknya, pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman langsung sebagai siswa bersifat implisit sekaligus kontekstual. Sebagai contoh, sebagai siswa kita terbiasa melihat guru ketika mengajar melontarkan pertanyaan tertutup yang bisa dengan mudah dijawab dengan satu atau dua kata. Bila siswa yang ditunjuk memberi jawaban, guru kemudian biasanya merespon dengan evaluasi singkat (“bagus”, “betul”), sebelum beralih ke pertanyaan atau topik lain. Bila siswa yang semula ditunjuk tidak menjawab, guru biasanya dengan sangat segera mengalihkan pertanyaan pada siswa lain. Pola interaksi seperti ini terekam secara implisit sebagai skrip perilaku yang dapat digunakan pada situasi serupa. Inilah pengetahuan yang saya sebut sudah “mendarah daging”. Dalam situasi mengajar yang memerlukan respon atau keputusan cepat, pengetahuan implisit seperti ini jauh lebih mudah digunakan ketimbang pengetahuan abstrak tentang pedagogi yang didapat melalui kuliah.

Poin yang disampaikan Prof. William ini relevan untuk perancangan pelatihan pembelajaran untuk dosen atau guru. Sekedar tahu prinsip pembelajaran atau teknik pengajaran sama sekali tidak cukup. Misalnya, kita bisa memberitahu seorang guru tahu bahwa ia perlu memberi waktu lebih lama bagi siswa untuk memikirkan dan merumuskan jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan. Atau bahwa ia perlu lebih sering melontarkan pertanyaan terbuka. Cukup sampaikan saja informasi ini, beserta argumen bahwa pertanyaan terbuka dan waktu tunggu yang lebih lama akan membuat dialog lebih hidup dan menuntut siswa berpikir lebih mendalam. Sebagian besar guru akan setuju dengan hal ini, bahkan mungkin sudah mengetahuinya. Namun yang sulit adalah membantu guru untuk menerapkan strategi tersebut. Kata Prof. William, ini sama sulitnya dengan meminta seorang pemain golf mengubah caranya mengayun tongkat di tengah sebuah pertandingan.

Konsekuensinya, perbaikan kualitas pembelajaran tidak sulit dilakukan melalui pelatihan-pelatihan yang sekedar membuat guru mengetahui prinsip-prinsip dasar dan teknik-teknik pembelajaran. Apalagi bila pelatihan tersebut dilakukan di ruang pertemuan sebuah hotel dengan puluhan peserta, dan disampaikan melalui ceramah konvensional.

Referensi: wawancara Dylan William di http://www.youtube.com/watch?v=hiu-jY-xaPg

Thursday, May 23, 2013

Kecerdasan bisa Dikembangkan!


Update: Hasil penelitian saya mengenai mindset tentang kecerdasan telah terbit di International Journal of Educational Psychology (Vol. 4, No. 2, tahun 2015)

Bila diminta membayangkan sosok yang cerdas, siapa yang muncul di benak Anda? Banyak orang akan membayangkan ilmuwan terkenal seperti Albert Einstein atau B.J. Habibie, atau kenalan dan saudarayang punya prestasi cemerlang di sekolah. Gambaran ini tidak salah. Kecerdasan memang identik dengan kemampuan intelektual yang tercermin dalam prestasi dibidang ilmu pengetahuan.

Pertanyaannya, apakah kemampuan intelektual bisa berubah? Kita semua pasti pernah punya temanyang dianggap kurang cerdas, yang kerap kesulitan mengikuti pelajaran disekolah. Atau mungkin kita sendiri pernah dianggap sebagai orang dengan kemampuan intelektual yang kurang. Dapatkah orang seperti ini menjadi lebih cerdas melalui usaha dan proses belajar? Bertambah cerdas di sini bukan hanya bertambah pengetahuan, melainkan benar-benar menjadi punya kemampuan intelektual yang lebih daripada sebelumnya.

Sebagian darikita mungkin ragu bahwa siswa yang tadinya terseok-seok mencerna pelajaran, di kemudian hari bisa menjadi “berotak encer” dan bersinar di sekolah. Bukankah kecerdasan itu potensi dasar yang terberi, yang ditentukan sejak lahir? Seseorang bisa saja mempelajari hal-hal baru, tapi kapasitas dasarnya untuk belajar itu sendiri tidak akan banyak berubah. Mungkin Anda merasa bahwa kecerdasan adalah semacam bakat untuk bidang akademik. Dan sebagaimana bakat-bakat bidang lain, kecerdasan adalah potensi yang bisa diolah, namun “volumenya” tidak bertambah. Seseorang dengan kecerdasan pas-pasan perlu usaha lebih keras untuk mencapai prestasi akademik yang baik, dibandingkan seseorang yang memang dari "sononya" sudah cerdas!

Namun apakah asumsi-asumsi ini sejalan dengan hasil penelitian tentang kecerdasan? Untuk menjawabnya, pertama-tama kita perlu menilik dahulu apa yang dimaksud dengan kecerdasan. Dalam ilmu psikologi, istilah yang kerap dikaitkan dengan kecerdasan adalah “inteligensi”. Pada awal abad ke-20, pemerintah Perancis meminta seorang ahli psikologi bernama Alfred Binet membuat tes guna mengidentifikasi siswa yang kemungkinan besar akan mengalami kesulitan mengikuti pelajaran sekolah. Tes buatan Binet ini kemudian disebut sebagai tes inteligensi, dan hasilnya disebut sebagai skor IQ (intelligence quotient).

Setelah Binet, banyak ahli psikologi yang juga mengembangkan tes inteligensi. Pada umumnya, tes-tes inteligensi mengukur kemampuan berpikir secara analitik dengan angka (numerik), kata-kata (verbal), dan/atau visual (ruang dan gambar). Berpikir analitik merujuk pada proses mencari relasi, mengidentifikasi pola, dan menggolong-golongkan objek secara efisien (cepat) dan sistematis. Salah satu cara mengukur kemampuan berpikir analitik adalah memberi seseorang serangkaian bentuk, kemudian memintanya menebak bentuk apa yang secara logis menjadi kelanjutan dari rangkaian tersebut. Cara lain adalah dengan menanyakan kesamaan antara dua konsep, misalnya “pena” dan“pensil”.

Skor IQ memang memprediksi keberhasilan siswa di sekolah. Tampaknya skor IQ juga sulit untuk ditingkatkan secara signifikan. Selain itu, pengaruh faktor keturunan pada skor inteligensi cukup kuat. Kembali ke pertanyaan utama esai ini, apakah berarti kecerdasan kita tidak bisa diubah? Apakah keberhasilan seseorang di sekolah semata-mata masalah “nasib”? Untungnya, jawabannya tidaklah sesuram itu!

Pertama, skor IQ memang memprediksi prestasi sekolah (dan juga prestasi kerja di berbagai bidang), tapi daya prediksinya tidaklah sebesar yang kerap diasumsikan. Untuk prestasi di sekolah, keterampilan belajar seperti cara mencerna bacaan atau kuliah, cara menyiapkan ujian, serta kemampuan menyampaikan gagasan punya andil yang sama atau bahkan lebih besar daripada IQ. Demikian juga untuk prestasi kerja, faktor-faktor seperti seperti kemampuan interpersonal, kemahiran berkomunikasi, dan pengetahuan memiliki sumbangan yang lebih besar daripada IQ.

Kedua, skor IQ hanya mencerminkan bagian kecil dari kecerdasan, yakni aspek kecerdasan yang berguna untuk sekolah. Ahli-ahli kognitif seperti Robert Sternberg dan Keith Stanovich menyatakan bahwa aspek-aspek kecerdasan yang berguna dalam kehidupan justru tidak diukur oleh tes IQ. Stanovich menyebutkan dua keterampilan berpikir yang berguna untuk problem solving di banyak konteks, namun tidak diukur oleh IQ.

Yang pertama adalah kebiasaan mencermati dan mendefinisikan masalah secara menyeluruh dan seksama. Kebanyakan orang, termasuk mereka yang ber-IQ tinggi, kerap terjebak untuk memilih jalan singkat dan cepat untuk menyelesaikan persoalan. Padahal, cara cepat dan singkat itu seringkali tidak optimal. Kecenderungan ini tampak dalam cara orang menyelesaikan problem-problem sederhana seperti ini:

“Dina membeli sepatu dan kaus kaki.Ia membayar $110 untuk kedua hal itu. Harga sepatu $100 lebih mahal daripadakaus kaki. Berapa harga sepatu tersebut?”

Kalau Anda seperti saya dan banyak orang lain, maka jawaban yang terpikir pertama adalah angka $100. Tapi ini keliru. Cobalah pikirkan dengan lebih hati-hati. Poin saya adalah bahwa kekeliruan ini merupakan hasil dari kecenderungan alami manusia untuk tergesa-gesa dalam merumuskan masalah yang dihadapi.

Kedua, aspek kecerdasan yang tidak diukur oleh IQ adalah kemampuan untuk menangguhkan asumsi, preferensi, dan keyakinan personal ketika menghadapi masalah. Kebanyakan orang, termasuk yang ber-IQ sangat tinggi, sering bias dalam mengevaluasi pendapat/situasi dan karena itu kerap mengambil keputusan berdasarkan evaluasi tersebut. Ambil contoh berita yang akhir-akhir marak mengenai korupsi yang melibatkan petinggi sebuah partai politik cukup besar. Banyak simpatisan partai tersebut yang menilai bahwa Komisi PemberantasanKorupsi (KPK) "berlebihan" dalam menyidik yang terlibat, dan lunak pada partai lain yang juga tersandung kasus korupsi. Namun mereka yang bukan simpatisan dapat menilai bahwa KPK sudah bertindak dalam koridor hukum.

Kedua keterampilan berpikir di atas ini tidak berkorelasi (atau berkorelasi lemah) dengan inteligensi (IQ). Berita bagusnya, keduanya dapat dilatih dan ditingkatkan. Dengan demikian, kecerdasan dan prestasi sekolah bukanlah masalah nasib semata!

Referensi:
1. Stanovich, K. E. (2009,Nov/Dec). The thinking that IQ tests miss. Scientific American Mind, 20(6), 34-39.
2. Sternberg, R. (1984). Beyond IQ: A Triarchic Theory of Intelligence. Cambridge: University of Cambridge Press.
x

Monday, April 22, 2013

Ujian Nasional dan Hakekat Pendidikan

Misalkan ada momok di sekolah yang membuat anak Anda cemas berkepanjangan, malas berpikir mendalam tentang banyak mata pelajaran, enggan membaca buku-buku yang meluaskan wawasannya, dan tak punya waktu untuk mempelajari apa yang ia minati, apa yang akan Anda lakukan? Yang paling mudah tentu berharap hal ini hanyalah sebuah perumpamaan. Sayang seribu sayang, momok tersebut sungguh nyata. Ia hadir dalam bentuk hajat tahunan bangsa ini: Ujian Nasional.

Anda yang membaca koran dan melihat TV pasti sudah mahfum bahwa runyamnya pelaksanaan Ujian Nasional (UN) tahun ini telah menggegerkan seantero negeri. Distribusi soal yang amburadul membuat belasan provinsi menunda ujian. Jumlah lembar soal yang kurang membuat sebagian siswa terpaksa menggunakan lembar soal hasil fotokopi. Di beberapa daerah, rumitnya sistem paket ujian mengakibatkan tertukarnya lembar soal. Muncul pula isu jual beli kunci ujian – meski hal ini lebih banyak dibicarakan di bawah radar, melalui bisik-bisik antar guru dan keluh kesah di media sosial. Inkompetensi pemerintah dalam pelaksaan UN ini membuat banyak orang marah. Sebagian mendesak menteri pendidikan untuk mundur, sebagian lagi menduga ada korupsi dalam tender pencetakan soal dan kebocoran ujian.

UN Sebagai Asesmen Pendidikan 

Di tengah kehebohan ini, ada baiknya kita berpikir lebih mendasar tentang UN. Andaikan UN dilaksanakan dengan profesional, dan andaikan semua yang terlibat bisa dibuat jujur sehingga tidak ada kebocoran soal, apakah UN sebaiknya diselenggarakan secara rutin di kelas 6, 9 dan 12 seperti saat ini? Jawabannya tidak. Sistem UN yang sekarang diterapkan – sesempurna apapun teknis pelaksanaannya – telah dan akan terus merusak pendidikan.

Untuk memahami mengapa UN justru merusak, kita perlu menengok kedudukannya sebagai sistem asesmen. Berdasar fungsinya, asesmen bisa dibagi menjadi dua: asesmen formatif yang membantu proses belajar, dan asesmen sumatif untuk mengevaluasi hasil belajar. Mudah diduga, UN tergolong asesmen sumatif. Hasilnya (seharusnya) digunakan oleh pemerintah guna memetakan kualitas sekolah, dan oleh stakeholder lain yang akan menggunakan lulusan sekolah (seperti perusahaan yang mencari tenaga kerja atau panitia seleksi perguruan tinggi).

Poin pentingnya, UN memang tidak dirancang untuk memperbaiki proses belajar-mengajar di kelas. Luaran UN hanya berupa angka, tanpa deskripsi pemahaman dan kesalahpahaman siswa. Ujian juga diselenggarakan di akhir tahun ajaran, sehingga tak memungkinkan guru memperbaiki cara pengajarannya. UN bisa dianggap sebagai ukuran kasar dari tingkat pemahaman siswa tentang beberapa mata pelajaran di sekolah. Dan karena terstandar, hasilnya bisa digunakan untuk pemetaan, untuk membandingkan kualitas sekolah secara kasar. Tapi ia tidak bisa digunakan secara langsung untuk memperbaiki kualitas proses pembelajaran.

Dengan kata lain, pemetaan dan peningkatan kualitas pendidikan adalah dua hal yang harus dipisahkan. Pemetaan dengan data UN bisa digunakan sebagai informasi untuk perbaikan kualitas. Namun perbaikan kualitas itu sendiri harus dicapai melalui faktor lain seperti kompetensi guru dan iklim akademik sekolah.

Efek Samping High-stakes Test

Para pendukung UN mungkin akan menyangkal: bukankah UN membuat guru mengajar lebih serius dan memotivasi siswa untuk belajar? Sepintas argumen ini masuk akal, tapi mari kita dicermati. Benarkah UN membuat siswa bergairah belajar, memuaskan rasa ingin tahu, dan meluaskan wawasan? Apakah UN mendorong guru menjadi inovatif dalam mengajar, untuk mengembangkan kemampuan siswa berpikir analitik dan kreatif?

Atau sebaliknya, jangan-jangan yang dilecut oleh UN adalah ketakutan akan ketidaklulusan? Jangan-jangan guru justru melihat UN sebagai momok yang memaksa mereka hanya mengajarkan materi yang akan diujikan? Sayangnya, kemungkinan kedua inilah yang terjadi. Tak perlu menjadi ahli pendidikan untuk melihat gejala-gejalanya: lihat saja betapa maraknya lembaga bimbingan belajar, dramatisnya doa-doa bersama, beragamnya upaya klenik untuk meningkatkan nilai, banyaknya siswa yang stres menghadapi UN, dan berbagai cerita kebocoran kunci jawaban.

Semua ini terkait dengan sifat UN sebagai asesmen dengan pertaruhan besar (high-stakes). Nilai UN menentukan persepsi atas kompetensi guru, yang pada gilirannya menentukan jumlah dan kualitas siswa yang memilih sekolah tersebut. Bagi siswa, nilai UN menentukan tidak saja kelulusan, tapi juga kemungkinan masuk sekolah dan universitas favorit. Bagi banyak siswa – terutama dari keluarga miskin – kegagalan UN akan menutup kesempatan untuk memperbaiki keadaan ekonomi keluarga. Singkat kata, yang dipertaruhkan dalam UN adalah masa depan itu sendiri!

Dengan demikian, respon-respon negatif terhadap high-stakes test tidaklah mengejutkan. Penjelasannya sederhana: bila pertaruhannya begitu besar, siswa dan guru yang merasa tidak mampu untuk memenuhi standar yang ditetapkan akan menempuh segala cara untuk lulus. Dan banyak hal berkonspirasi untuk membuat banyak siswa merasa tak mampu lulus: mulai dari infrastruktur fisik yang tak layak, latar belakang sosial ekonomi, dan rendahnya kompetensi banyak guru. Sekali lagi, sesungguhnya tidak mengherankan bila banyak yang berpaling pada cara-cara praktis, mistik, dan bahkan ilegal untuk meningkatkan nilai UN.

Hakekat Pendidikan

Tapi bagaimana jika pemerintah bisa membuat semua orang jujur sehingga tidak ada kecurangan sedikit pun dalam UN? Paling tidak, bukankah ini akan memaksa siswa untuk mempelajari materi yang diujikan? Memang betul. Tapi bukan ini hakekat pendidikan. Tujuan utama sekolah bukanlah membuat siswa tahu tentang sekumpulan topik yang ditetapkan oleh pemerintah. Ada hal-hal yang lebih penting daripada itu.

Yang pertama dan sudah kerap disebut adalah kemampuan untuk belajar sepanjang hayat. Ini mencakup kecakapan untuk mendeteksi keterbatasan pengetahuan diri sendiri, untuk mencari dan mensintesis informasi baru, dan untuk memotivasi diri untuk melakukannya. Yang kedua, dan yang masih jarang disinggung, terkait dengan nilai-nilai intelektual seperti apresiasi akan ilmu, penghargaan akan proses merumuskan pertanyaan dan mencari jawaban secara sistematis, kekaguman terhadap buah pemikiran cerdik cendekia kontemporer ataupun yang hidup di masa lalu, kepuasan yang spontan terasa ketika mata batin terbuka untuk memahami hal baru.

Bagi saya, kedua hal ini lebih dekat pada hakekat pendidikan: pendewasaan personal serta pencerahan pikiran dan hati melalui ilmu pengetahuan. Dan pengembangan nilai-nilai intelektual ini adalah tugas unik yang diemban sekolah: tak ada institusi sosial lain yang bisa atau bertugas melakukannya. Bila ini yang kita kehendaki bersama, maka momok bernama UN harus dihapus.

(Keterangan: pertama dipublikasikan di http://jakartabeat.net/kolom/konten/ujian-nasional-dan-hakikat-pendidikan)
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...