Sunday, July 29, 2018

Peran Teori dalam Merancang Penelitian Kuantitatif


Langkah awal merancang riset kuantitatif adalah mempelajari teori. Bukan memilih variabel-variabel penelitian dan mencari-cari hubungannya. Ini penting untuk diperhatikan, karena riset kuantitatif yang diawali dari upaya menghubung-hubungkan variabel biasanya hanya akan menghasilkan angka-angka yang tidak bermakna. Angka-angka tersebut mungkin saja signifikan secara statistik. Tapi signifikansi statistik jelas beda dari signifikansi alias arti penting secara substansi.

Demikian intisari tulisan (bahan kuliah) minggu lalu. Dalam tulisan kali ini, saya akan mencoba memberi gambaran lebih jelas tentang tahap awal perancangan riset kuantitatif. Contoh-contoh yang akan saya paparkan terbatas pada bidang keahlian saya, ilmu kognitif dan psikologi pendidikan. Namun sebagian yang saya sampaikan seharusnya masih relevan untuk bidang lain, setidaknya dalam ranah ilmu-ilmu sosial empiris.

Nah, mengapa teori? Jawaban singkatnya, teori menyediakan konsep-konsep yang bisa menjelaskan apa, bagaimana, dan mengapa sesuatu terjadi. Sebagai ilustrasi, katakanlah anda tertarik meneliti mengapa sebagian siswa gagal sedangkan sebagian yang lain berhasil di sekolah. Variasi antar individu (individual differences) semacam ini adalah fenomena yang sering menarik perhatian ahli psikologi. Dari pengalaman, kita bisa menduga bahwa kegagalan dan keberhasilan di sekolah terkait dengan malas-rajin atau kepintaran/kebodohan. Siswa yang malas dan bodoh akan terancam gagal, sedangkan mereka yang rajin dan pintar akan berhasil di sekolah.

Malas, rajin, pintar, dan bodoh sebenarnya juga konsep, tapi konsep-konsep awam. Konsep yang kita kenal dari percakapan dan pengalaman sehari-hari. Karena bukan hasil pemikiran yang sistematis, makna konsep awam biasanya tidak presisi. Maknanya kabur dan seringkali tumpang tindih. “Rajin belajar”, misalnya, bisa punya beragam makna. Apakah siswa yang selalu mengerjakan PR pelajaran bahasa Indonesia, tapi jarang membaca novel dan puisi, bisa dikatakan rajin belajar bahasa?

Konsep “pintar” juga demikian. Kepintaran sering dilihat dari prestasi sekolah. Siswa yang pintar adalah mereka yang nilainya bagus atau juara kelas. Tapi ini mengacaukan antara dua hal yang berbeda: atribut individu (tingkat “kepintaran”) dan keberhasilan akademik (“prestasi”). Pintar kadang disamakan dengan inteligensi yang dilihat dari tes IQ. Tapi apa arti inteligensi? Orang awam akan menjawab, inteligensi ya kepintaran atau kecerdasan. Definisinya menjadi circular alias hanya berputar-putar saja.

Di sinilah kita mulai perlu bantuan teori ilmiah. Dengan teori “determinasi diri” (self determination theory), misalnya, kita bisa membedakan antara motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi ekstrinsik pun masih bisa dibagi menjadi empat jenis berdasarkan sumbernya. Teori ini juga mendefinisikan tiap jenis motivasi secara eksplisit. Dengan begitu, peneliti tidak mudah mencampuradukkan hal-hal yang sebenarnya berbeda. Makna temuan penelitian pun akan lebih jernih.

Selain menyediakan cara mendefinisikan hal-hal yang akan kita teliti, teori ilmiah juga menguraikan mekanisme yang memunculkan fenomena. Untuk fenomena perilaku belajar, misalnya, teori determinasi diri akan menjelaskan bahwa jenis motivasi yang diadopsi seorang siswa akan tergantung pada lingkungan. Lebih spesifiknya, teori tersebut menjelaskan bahwa manusia punya tiga kebutuhan psikologis mendasar: kebutuhan akan otonomi, kebutuhan mengembangkan kompetensi, dan kebutuhan untuk merasa menjadi bagian berharga dari sebuah komunitas. Dalam lingkungan kelas/sekolah memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, siswa akan terdorong untuk belajar secara intrinsik, tanpa perlu diberi janji-janji hadiah atau ancaman.

Singkat kata, teori ilmiah menyediakan definisi dan penjelasan tentang sebuah fenomena. Dalam konteks metodologi kuantitatif, teori ilmiah menyediakan variabel-variabel yang bisa kita pilih sebagai fokus penelitian. Dengan memahami teori, secara otomatis kita akan disodorkan pada pilihan variabel penelitian beserta penjelasan teoretis mengenai dinamika yang menghubungkan variabel-variabel tersebut.

Karena realitas sosial cenderung kompleks, berlapis-lapis, dan dipengaruhi subjektivitas, biasanya ada banyak teori yang saling berkompetisi untuk menjelaskan sebuah fenomena. Untuk fenomena perilaku belajar dan keberhasilan akademik, misalnya, ada teori determinasi diri dari Ryan dan Deci, teori sosial kognitif-nya Albert Bandura, teori sosial-kognitifnya Carol Dweck, teori orientasi tujuan, dll. Itu baru rumpun teori yang berfokus pada dinamika motivasional. Ada lagi rumpun teori yang berfokus pada proses kognitif, termasuk berbagai turunan dari teori konstruktivisme Piaget dan turunan teori konstruktivisme-sosialnya Vygotsky.

Banyaknya pilihan ini memang bisa menjadi masalah juga, terutama bagi pemilih pemula. Bagi peneliti pemula, dunia teori bisa terlihat seperti hutan belantara yang mengerikan. Tapi bagaimanapun, mengenali teori adalah langkah awal untuk meneliti. Anggap saja beragam teori itu sebagai pilihan sajian di meja buffet. Pilih saja yang paling menarik bagi anda dan mulailah mengunyah!

(Materi kuliah Metode Riset Kuantitatif, oleh Anindito Aditomo, Fakultas Psikologi Universitas Surabaya)

Wednesday, July 25, 2018

Meluruskan Konsepsi tentang Penelitian Kuantitatif



“Saya sudah dapat satu variabel untuk proposal skripsi/tesis, tapi masih bingung mencari variabel lainnya. Kalau saya tertarik meneliti variabel X, sebaiknya dihubungkan dengan variabel apa ya?”

Banyak mahasiswa yang menulis proposal skripsi/tesis dipandu oleh konsepsi yang keliru mengenai penelitian kuantitatif. Konsepsi salah kaprah tersebut tercermin pada kutipan di atas. Pernah kan, mendengar mahasiswa berkata demikian? Atau mungkin pernah mengalaminya sendiri? 

Pada intinya, kutipan di atas menunjukkan bahwa penelitian kuantitatif dianggap bertujuan mencari hubungan antar variabel. Berbekal pandangan seperti ini, mahasiswa biasanya mulai merancang proposal dengan mencari sebuah variabel. Setelah menemukan satu variabel - yang biasanya dipilih berdasar minat pribadi - mahasiswa kemudian berusaha mencari variabel lain yang bisa dihubungkan. Dengan demikian, perancangan proposal tesis menjadi proses menghubung-hubungkan variabel. 

Pada akhirnya nanti, penelitian kuantitatif semacam ini hanya akan menghasilkan beberapa angka korelasi atau koefisien regresi. Jika korelasinya signifikan dan sesuai teori, penelitian seolah berhasil. Bab 5 alias Diskusi dan Simpulan menjadi lebih mudah ditulis, karena bisa mengambil saja dari teori yang sebagian sudah dituliskan di Bab II alias Kajian Pustaka. Tapi jika korelasi atau regresinya tidak signifikan, penelitian kerap dianggap gagal. Atau setidaknya, mahasiswa akan kesulitan menulis bagian diskusi dan simpulan. 

Ketika menyajikan penelitiannya dalam “sidang” tesis, mahasiswa yang menjalani proses seperti ini biasanya tidak terlalu memahami fenomena yang ia teliti. Diskusi selama sidang seringkali terjebak pada kritisisme soal teknis terkait penulisan maupun analisis data. Diskusi jarang menyentuh substansi penelitian, soal kontribusi ilmiah dan insight konseptual mengenai topik yang dibahas. 

Proses seperti ini sering membuat saya sedih. Bayangkan, setelah satu, dua, atau tiga semester (atau bahkan lebih) mengerjakan sebuah project, yang dihasilkan sekedar simpulan ada tidaknya hubungan antar variabel. Problemnya, persepsi semacam ini sudah mengakar kuat. Meski sudah diberitahu, mahasiswa sering takut keluar dari pakem sebenarnya keliru ini.

Lantas, seperti apa seharusnya kita memahami penelitian kuantitatif? Pada level yang paling mendasar, penelitian adalah upaya untuk memahami sebuah fenomena. Dalam penelitian kuantitatif, upaya memahami ini dipandu secara ketat oleh teori. Teori inilah yang menentukan apanya (bagian mana saja) dari sebuah fenomena yang penting untuk ditelaah dan bagaimana hal itu diobservasi/diukur. 

Jika fenomenanya adalah perilaku belajar, misalnya, teori self-determination akan mengarahkan peneliti pada apa yang disebut “regulasi motivasi”. Dari teori tersebut, kita bisa mendefinisikan jenis-jenis regulasi motivasi, cara mengukurnya, dan apa saja yang terkait dengannya. Fenomena yang sama (perilaku belajar) akan terlihat berbeda jika kita memilih teori lain sebagai acuan penelitian.


Dengan demikian, langkah awal dalam merancang penelitian kuantitatif adalah mempelajari teori. Bagi peneliti pemula, ini memang tidak mudah. Di sinilah peran pembimbing atau mentor akademik. Pembimbing seharusnya membantu mahasiswa mengarungi medan teori. Menunjukkan alternatif-alternatif teori yang relevan dengan fenomena yang hendak ditelaah. Memberi petunjuk tentang plus minus tiap opsi. Memperingatkan mahasiswa tentang jalan buntu atau opsi yang terlalu terjal. 

Yang jelas, penelitian kuantitatif tidak diawali dari memilih variabel-variabel penelitian. Variabel tak lain adalah cara sebuah teori mendefinisikan atau mendekati sebuah fenomena. Karena itu, variabel seharusnya lahir dari pemahaman teoretis. Penelitian kuantitatif yang diawali dengan menghubung-hubungkan variabel terancam menghasilkan angka-angka yang tak bermakna.

Thursday, June 28, 2018

Agar Riset Pendidikan lebih Berdampak

Oleh: Anindito Aditomo
 
 

Kemarin beruntung bisa mendengarkan presentasi menarik Profesor Catherine Snow dari Harvard Graduate School of Education yang sedang menjadi peneliti tamu di Goethe-Universität. Prof. Snow seorang pakar multi (atau lintas?) disiplin. Ia belajar psikologi eksperimen di Amerika, sebelum mendalami psikologi perkembangan di Kanada, dan kemudian mengajar linguistik di Amsterdam. Sekembali ke Amerika, ia berganti haluan menjadi peneliti pendidikan. Ia tergolong penulis yang amat produktif. 20 halaman tidak cukup untuk mencetak daftar publikasi ilmiahnya!
 

Kemitraan Riset-Praktik

Kemarin Prof. Snow membagikan pengalamannya melakukan "research-practice partnership" (RPP) atau, kalau dialihbahasakan, Kemitraan Riset-Praktik (KRP). Gagasan ini relatif baru, dikembangkan awal 2000an untuk mengatasi problem minimnya dampak riset pendidikan terhadap praktik.
 
Menurut Prof. Snow, riset pendidikan di Amerika tidak memberi dampak signifikan pada perbaikan praktik pendidikan. Salah satu penyebabnya adalah soal relevansi. Kebanyakan riset dilakukan untuk menjawab pertanyaan ilmiah yang seringkali penting/menarik bagi peneliti, namun terasa tak relevan bagi praktisi. KRP digagas untuk meningkatkan relevansi riset pendidikan terhadap praktik.
 
Pendidik di Indonesia sebenarnya sudah mengenal konsep yang mirip dengan KRP, yaitu Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang merupakan terjemahan dari “action research”. Dalam PTK, guru diposisikan menjadi peneliti yang mengeksplorasi kelasnya sendiri sebagai kancah riset. Dengan demikian, guru diharap menjadi lebih reflektif dan bisa menerapkan inovasi berbasis risetnya sendiri. 
 
Terdengar ideal, bukan?
 
Tapi menurut Prof. Snow, PTK adalah konsep yang terbukti gagal. Sebagian besar PTK gagal menghasilkan pengetahuan yang bermutu, atau pun inovasi yang berkelanjutan. Dan ini wajar saja. Tak masuk akal berharap guru untuk merangkap sebagai peneliti. Ini seperti meminta guru melakukan dua pekerjaan kompleks pada saat yang sama. Ibarat mengharap seorang pemain sepakbola untuk merangkap sebagai staf litbang klub tempatnya bekerja.
 
Tidak seperti PTK, dalam konsep KRP guru tetap berposisi sebagai praktisi. Peran sebagai peneliti dipegang oleh akademisi yang ahli meneliti. Yang membedakan dengan riset akademik adalah KRP menempatkan guru sebagai pemegang otoritas yang setara dengan peneliti. Misalnya, KRP mengutamakan problem yang dianggap urgen oleh praktisi. Pertanyaan riset dirumuskan bersama-sama dari problem tersebut. Pemaknaan terhadap data juga dilakukan bersama-sama. Selain itu, orientasi utama KRP bukan untuk menghasilkan publikasi ilmiah. Orientasinya lebih untuk menghasilkan knowledge-based tools: perangkat praktis yang bisa memperbaiki pengajaran atau kebijakan secara langsung.
 

Kurikulum “Word Generation”

Contoh KRP yang diuraikan Prof. Snow kemarin adalah proyek “Word Generation” (WG). Proyek ini berawal dari problem rendahnya literasi siswa SMP-SMA di seputar Boston. Siswa di sana bukannya tidak bisa membaca. Yang mereka sulit lakukan adalah membaca secara kritis dan mendalam, untuk kemudian belajar dari bacaan tersebut. Menurut survei PISA, hanya sekitar 8% siswa kelas 9/10 di Amerika yang memiliki kemampuan literasi tingkat tinggi. [Di Indonesia, angkanya sekitar 2% atau malah kurang!]
 
 
Karena proyek WG dilakukan dalam paradigma KRP, yang dikerjakan pertama adalah menggali masalah literasi dari perspektif guru. Bukan hanya guru bahasa, tapi guru berbagai mata pelajaran. Ternyata, para guru tidak berbicara tentang literasi tingkat tinggi, melainkan soal kosakata. Banyak siswa yang tidak paham makna berbagai kosakata penting yang digunakan di pelajaran dan buku teks. Karena itu, agenda pertama tim WG adalah membuat kurikulum yang memberi kesempatan siswa untuk menggunakan kosakata akademik secara otentik, dalam konteks yang bermakna.
 
Selama 3 tahun kemudian, Prof. Snow bersama tim kecilnya (ia menyebut 2 staf peneliti, plus mahasiswa) bekerjasama dengan guru dari 3 atau 4 sekolah untuk membuat sebuah kurikulum baru. Kurikulum yang kemudian mereka namai “Word Generation” ini tidak semata-mata terfokus pada membaca. Intisari dari kurikulum WG justru pada aktivitas diskusi dan argumentasi. Konsep dasarnya adalah siswa diberi pertanyaan besar tentang isu kontroversial. Pertanyaan ini harus terbuka dan kompleks, dalam arti tidak ada jawaban tunggal yang benar secara absolut, semacam “Siapa yang berkewajiban melindungi remaja dari predator online?” atau “Apakah dokter seharusnya diperbolehkan membantu pasien sekarat yang ingin mengakhiri hidupnya?”
 
Topik semacam ini tentu menuntut waktu. Dalam kurikulum WG, tiap topik dibahas selama 1 sampai 2 minggu, pada berbagai mata pelajaran. Contoh tipikalnya begini: pada hari Senin, topik diperkenalkan di kelas bahasa. Siswa diberi bacaan inti yang menyampaikan pendapat dan bukti dari berbagai sisi (1-2 jam pelajaran). Pada hari Selasa, pelajaran matematika disampaikan menggunakan soal-soal cerita yang memuat kosakata kunci dari bacaan kemarin. Hari Rabu, dalam konteks pelajaran IPS, siswa berdebat tentang pro dan kontra tiap posisi mengenai isu minggu itu. Hari Kamis, hal yang sama diulang dalam konteks pelajaran IPA. Hari Jumat, siswa diminta menulis esai berisi argumentasi pribadinya tentang isu tersebut.
 

Relevansi dan dampak praktis

Data evaluasi randomised control trial menunjukkan efektivitas kurikulum WG dibanding kurikulum konvensional. Ini tidak mengherankan, karena riset sebelumnya secara konsisten menunjukkan bahwa diskusi antar rekan (peer discussion) adalah metode yang sangat potensial. 
 
Masalahnya, seberapa banyak guru dan sekolah yang mau menerapkan kurikulum WG? Dari yang mau, berapa yang bisa menerapkannya dengan baik? Dampak praktis inilah yang menjadi tujuan utama proyek KRP seperti WG.

Monday, May 28, 2018

Riset Pendidikan Berbasis Data Tes Internasional (Annotated Bibliography)

Tulisan ini berisi catatan bacaan alias reading notes. Semacam annotated bibliography tentang studi-studi pendidikan, khususnya yang didasarkan pada tes-tes internasional berskala besar seperti PISA, TIMSS, dan PIRLS. Tulisan saya perbarui secara periodik (yang artinya, belum tentu secara rutin!).

The Role of Schooling in Perpetuating Educational Inequity: An International Perspective (Schmidt, dkk., 2015).

Artikel ini mengkaji peran "kesempatan belajar" (opportunity to learn, OTL) sebagai variabel perantara yang menjelaskan kaitan antara status ekonomi sosial (SES) dengan prestasi matematika. Para penulis menyatakan bahwa kaitan antara SES dan prestasi akademik sudah bisa dianggap sebagai fenomena yang well-established. Secara rata-rata, siswa dari keluarga kaya cenderung lebih tinggi prestasinya di sekolah. Dalam artikel ini, Schmidt dkk ingin menunjukkan bahwa salah satu mekanisme pengaruh SES terhadap prestasi adalah melalui kesempatan belajar yang tersedia bagi siswa.

Metode. Schmidt dkk memanfaatkan data PISA 2012 untuk menjawab pertanyaan penelitiannya. OTL dioperasionalkan sebagai "intensitas paparan (exposure) terhadap topik-topik matematika", yang diukur pada level individu siswa. Dalam bahasa yang lebih sederhana, OTL dalam riset ini adalah apakah siswa pernah diperkenalkan pada topik-topik matematika (khususnya aljabar dan geometri). SES dioperasionalkan sebagai komposit (paduan) dari tiga indikator: profesi orangtua, tingkat pendidikan orangtua, dan harta benda di rumah. Beberapa variabel juga dimasukkan untuk dikontrol secara statistik: gender, usia, kelas, dan apakah siswa mengerjakan tes dalam bahasa ibunya. Analisis dilakukan dengan berbagai teknik, termasuk regresi multijenjang dan pemodelan struktural.

Temuan. Secara keseluruhan, hasil analisis menunjukkan adanya kaitan erat antara SES, OTL, dan prestasi matematika. Pemodelan struktural menunjukkan bahwa OTL menjadi variabel perantara bagi kaitan antara SES dan prestasi. Ini terjadi pada level individu, sekolah, maupun negara.

  • Pada level individu, siswa dari keluarga SES tinggi cenderung lebih sering diperkenalkan pada berbagai topik matematika, dan cenderung lebih tinggi pula prestasi matematikanya (dibanding siswa SES rendah di sekolah yang sama). 
  • Pada level berikutnya, siswa yang bersekolah di sekolah ber-SES tinggi cenderung lebih banyak mendapat paparan pada berbagai topik matematika, dan cenderung lebih tinggi pula prestasinya (dibanding siswa dari latar belakang keluarga yang mirip, tapi bersekolah di sekolah dengan SES rendah). 
  • Pada level negara, kesenjangan OTL berasosiasi dengan kesenjangan prestasi. Dengan kata lain, semakin besar kesenjangan OTL (antar sekolah di sebuah negara), semakin besar pula kesenjangan prestasi (antar sekolah di negara itu).

Sumber: Schmidt, Burroughs, Zoido, dan Houang (2015), halaman 375.
Selain itu, ada temuan menarik tentang perbedaan antar negara. Kesenjangan kesempatan belajar (dan kesenjangan prestasi) paling besar ada di negara-negara seperti Belanda dan Jerman yang menerapkan pemisahan jalur sekolah (tracking, misalnya akademik vs. vokasional). Tapi kesenjangan cukup besar juga terlihat di negara-negara yang secara formal ingin memberi kesempatan belajar yang sama pada semua siswa (seperti di Amerika, Inggris, Selandia Baru, dan Australia). Kesenjangan ini muncul karena di dalam sekolah yang sama, siswa cenderung mendapat kesempatan belajar yang berbeda, yang sebagian tergantung pada latar belakang SES siswa tersebut.

Implikasi. Temuan-temuan Schmidt dkk menunjukkan bahwa kesenjangan prestasi (matematika) mungkin bisa dikurangi melalui pemberian kesempatan belajar yang lebih setara/seragam. Schmidt dkk mengatakan bahwa mengubah kebijakan pendidikan (untuk mengurangi kesenjangan kesempatan belajar) relatif lebih mudah dibanding intervensi untuk mengurangi SES secara langsung. Tapi saya kok tidak sepakat, mengingat sistem pendidikan tidak kalah kompleksnya dibanding sistem ekonomi. In any case, artikel ini cukup meyakinkan dalam argumen utamanya: perbedaan SES berujung pada kesempatan belajar yang berbeda, yang kemudian membuahkan prestasi yang berbeda pula. 

Saturday, May 19, 2018

Asingnya Dunia Ilmu Pengetahuan: Obrolan Sabtu Pagi

"Why Schools Matter. Ini buku apa, Daddy?" tanya Little A ketika melihat buku yang tergeletak di meja dapur.


Buku yang ia baca judulnya ini adalah salah satu referensi klasik mengenai pengaruh kurikulum terhadap hasil belajar siswa. Terbit tahun 2001 dan ditulis oleh pakar-pakar pendidikan dari Michigan State University (Schmidt dan kawan-kawan), "Why School Matters" didasarkan pada analisis dokumen kurikulum serta hasil tes matematika dan sains pada siswa dari hampir 50 negara.

Merangkumkan isi buku semacam ini untuk siswa kelas 4 bukan hal mudah. Tapi saya juga tidak ingin membuang kesempatan ngobrol tentang buku ini. Karena itulah saya bertanya balik: "What do you think? Menurutmu apa kira-kira isinya?"

Saturday, May 12, 2018

Analisis Data dengan MPlus: Menyiapkan Data dari SPSS

Catatan: tulisan ini adalah bagian materi kuliah saya di program S2 dan S3 Fakultas Psikologi Universitas Surabaya. Jika anda ingin mengutip atau mereproduksinya, jangan lupa menyertakan sitasi dan link ke halaman blog ini. Terima kasih dan selamat membaca!
__________________________________________

MPlus perlu file data dalam bentuk "Tab Delimited" (ekstensinya .dat). [Baca pengantar tentang MPlus di sini.] Seperti saya tulis di posting sebelumnya, file data ini bisa disiapkan menggunakan spreadsheet editor seperti Open Calc atau Excel.

Bagaimana jika anda sudah memiliki data yang tersimpan dalam format SPSS (.sav)? Mudah saja. Di SPSS, cukup gunakan perintah "Save As" di sebagai file .dat. Seperti terlihat di gambar, klik menu File, kemudian cari tombol Save As ...


Thursday, May 10, 2018

Analisis Data dengan MPlus: Menyiapkan Data dari Excel

Catatan: tulisan ini adalah bagian materi kuliah saya di program S2 dan S3 Fakultas Psikologi Universitas Surabaya. Jika anda ingin mengutip atau mereproduksinya, jangan lupa menyertakan sitasi dan link ke halaman blog ini. Terima kasih dan selamat membaca!
__________________________________________

OK, anda sudah menginstal MPlus di komputer. Jika belum, baca posting saya sebelumnya.

Hal berikutnya yang perlu dilakukan adalah menyiapkan file data yang hendak dianalisis. Ada beberapa cara untuk menyiapkan file data. Bagi yang terbiasa menggunakan SPSS, penyiapan file data agar sesuai permintaan MPlus ini terasa sedikit "ribet".

Jika data anda masih berupa kuesioner tertulis yang harus diinput ke bentuk digital, maka cara paling mudah barangkali adalah menggunakan aplikasi spreadsheet seperti Open Office Calc (gratis!) atau MS Excel. Berikut langkah-langkahnya:

Wednesday, May 9, 2018

Analisis Data dengan MPlus: Pengantar

Catatan: tulisan ini adalah bagian materi kuliah saya di program S2 dan S3 Fakultas Psikologi Universitas Surabaya. Jika anda ingin mengutip atau mereproduksinya, jangan lupa menyertakan sitasi dan link ke halaman blog ini. Terima kasih dan selamat membaca!
__________________________________________

Seperti kebanyakan orang yang belajar psikologi, sebelum ini saya hanya menggunakan SPSS untuk analisis statistik. Tapi untuk sebuah project saya harus menerapkan MLM. Ini bukan MLM yang itu lho ya, tapi multilevel linear modeling alias pemodelan linier multijenjang.

MLM sangat berguna (atau bahkan mutlak diperlkan) ketika kita berhadapan dengan data dari sampel berjenjang. Ini terjadi ketika, misalnya saja, seorang peneliti sosial melakukan sampling pada level wilayah geografis (kota, desa, dll.), sebelum memilih responden di wilayah-wilayah yang terpilih tersebut. Atau ketika peneliti pendidikan memilih sejumlah sekolah, sebelum mengambil sampel siswa dari tiap sekolah tersebut.

Ilustrasi sampel dua-jenjang: sekolah dan siswa (sumber: https://www.methods.manchester.ac.uk)

Tuesday, November 21, 2017

Sekolah Bukan Tempat Menimba Ilmu


“Jadi teori gaya belajar ini salah, pak?” tanya salah satu peserta mata kuliah psikologi pendidikan yang saya asuh. “Lebih tepatnya begini: klaim-klaim utama yang diajukan oleh teori tersebut tidak didukung oleh hasil penelitian,” jawab saya. “Kalau begitu, mengapa teori itu diajarkan di kuliah?” mahasiswa tersebut melanjutkan. “Lho, mengapa tidak boleh menjadi bahan kuliah?” saya balik bertanya. “Begini pak. Kuliah kan seharusnya menyampaikan yang benar, kok pak Nino malah membahas teori yang salah? Bingung saya pak,” katanya dengan nada menggugat.

Memang, meski populer, teori gaya belajar tidak memiliki landasan ilmiah kuat. Dan justru itulah yang menjadi fokus kuliah tersebut: mengevaluasi kuat lemahnya landasan ilmiah sebuah teori yang populer di kalangan pendidik maupun orang awam. Kuliah saya awali dengan menyampaikan klaim sentral teori gaya belajar, yakni bahwa proses belajar akan lebih efektif jika materi disampaikan sesuai dengan gaya belajar tiap siswa. Saya menanyakan apakah mereka percaya pada klaim tersebut. Mahasiswa kemudian saya ajak merefleksikan pengalaman belajar mereka sendiri. Saya juga membuat simulasi kecil dan merangkumkan hasil-hasil penelitian tentang gaya belajar. Di akhir pertemuan, saya menanyakan lagi apakah mereka percaya klaim teori gaya belajar.

Thursday, October 19, 2017

Ngobrolin Kematian di Meja Makan

Oleh: Anindito Aditomo

Kemarin saya makan malam berdua saja dengan anak ragil. Di meja makan, bukannya mulai menyantap cap cay masakan ibunya, ia malah mengajukan pertanyaan bertopik horor: "Dad, enaknya mati itu umur berapa?"
 

"Maksudmu gimana?" saya tanya balik sambil berusaha memahami apa yang ada di benaknya. Entah mengapa, ia sedang galau memikirkan kematian. "Mati kan menakutkan. Setelah itu kita nggak bisa hidup lagi." Betul, saya jawab.
 

"Kita ada di mana setelah mati?" Saya jawab bahwa kalau menurut ilmu biologi, kematian adalah akhir kehidupan. Tidak ada kelanjutannya. Tapi justru karena sudah mati, kita tidak bisa merasakan apa-apa. Tidak takut, tidak khawatir soal apa-apa lagi.


"Enggak masuk surga?" kejarnya lagi. Saya jawab bahwa menurut keyakinan agama Islam, ruh orang-orang yang baik akan masuk surga setelah mati. 


"Di surga ada sungai susu ya? Tapi kalau ruh, apa masih bisa minum? Dan kalau nggak suka susu gimana?" Saya jawab bahwa itu mefatora. Intinya, surga adalah tempat yang menentramkan dan menyenangkan. 


"Apa nggak bisa kembali hidup setelah mati? Jadi binatang atau orang lain?" Saya jawab, itu yang terjadi menurut keyakinan sebagian agama Budha. Rupanya konsep reinkarnasi - kemungkinan untuk hidup kembali di dunia yang ia ketahui bentuknya ini - lebih menarik baginya. Tapi saya katakan bahwa tapi saya nggak tahu banyak tentang ajaran itu. 


"Jadi yang benar yang mana? Apa yang terjadi setelah kita mati?" Saya bilang, kita nggak bisa tahu pasti apa yang akan terjadi setelah mati. Tapi yang lebih penting adalah apa yang kita lakukan ketika masih hidup. Memikirkan bagaimana supaya hidup kita bahagia dan membuat orang lain bahagia.
 

Untunglah, jawaban itu membuat anakku berhenti bertanya. Sambil mulai makan, saya mikir kalau jawaban itu sepertinya lebih pantas menjadi nasehat untukku sendiri, hahaha.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...