Saturday, February 23, 2013

Belajar tentang Bentuk Bumi: Pengaruh Pengetahuan Intuitif



Sumber: Siegal, Nobes, & Panagiotaki (2011). http://www.nature.com/ngeo/journal/v4/n3/full/ngeo1094.html

Kita kerap berasumsi bahwa siswa tak punya ide atau pengetahuan mengenai topik-topik yang akan mereka pelajari di sekolah. Pikiran siswa kita anggap sebagai kertas kosong yang bisa ditulisi dengan informasi yang akan mereka dapatkan dari guru dan buku-buku. Namun asumsi ini tak sepenuhnya benar. Dari pengalaman sehari-hari mereka, siswa seringkali memiliki ide tentang tentang lingkungan fisik maupun sosial. Yang penting bagi guru, ide-ide ini berpengaruh pada proses belajar-mengajar!

Ilustrasi tentang pentingnya pengetahuan intuitif siswa bisa kita baca dari penelitian Stella Vosniadou, seorang ahli psikologi kognitif, mengenai pemahaman siswa tentang bentuk bumi. Mungkin anda bertanya-tanya, bukankah bentuk bumi adalah pengetahuan yang amat sederhana dan karena itu mudah diajarkan? Kalau ada yang belum tahu tentang bentuk bumi, cukup katakan saja bahwa bumi itu seperti bola! Justru inilah yang menarik dari penelitian Vosniadou: ia menunjukkan bahwa untuk hal sesederhana bentuk bumi, proses belajar siswa ternyata cukup kompleks.

Dalam penelitiannya, Vosniadou (1992) mewawancara siswa kelas satu, tiga dan lima sekolah dasar tentang bentuk bumi. Vosniadou tidak hanya mengajukan pertanyaan “Seperti apa bentuk bumi,” yang akan mudah dijawab dengan jawaban standar mereka hafalkan dari lingkungannya (yakni bahwa bumi itu bulat). Ia melanjutkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang menggali lebih dalam pemahaman siswa, misalnya, “Kalau ada orang berjalan lurus ke depan terus-menerus, dia akan sampai di mana?”, dan “Apakah bumi punya ujung atau tepi?” Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan lanjutan seperti ini, siswa perlu menggunakan pemahaman konseptual mereka tentang bentuk bumi. Vosniadou juga meminta siswa untuk menggambar bumi, kemudian menggambar posisi langit, bintang dan bulan, serta tempat tinggal manusia.

Seperti bisa diduga, hampir semua siswa menjawab bahwa bumi itu bulat atau seperti bola. Mereka juga menggambar bumi sebagai lingkaran. Namun ketika diminta menguraikan, ternyata muncul jawaban-jawaban yang menunjukkan bahwa pemahaman mereka tentang bentuk bumi tidak sepenuhnya sepadan dengan pemahaman ilmiah. Berikut contoh dialog dengan seorang siswa kelas 1:

Peneliti : Kalau kamu berjalan terus mengikuti garis lurus, nantinya akan sampai di mana?
Siswa : Sampai di kota lain.
Peneliti : Kalau berjalan terus?
Siswa : Ya ke kota-kota yang berbeda, terus negara lain. Kalau kamu jalan di sini dan terus berjalan (sambil menunjuk ke pinggir lingkaran yang ia gambar sebagai bumi), kamu akan keluar dari bumi.
Peneliti : Keluar dari bumi?
Siswa : Ya. Di pinggir bumi kamu harus hati-hati.
Peneliti : Karena bisa jatuh dari bumi?
Siswa : Ya, kalau kamu bermain-main di pinggirnya.
Peneliti : Jatuh ke mana?
Siswa : ... ke planet lain.

Bagi siswa dalam dialog di atas, bumi lebih mirip cakram datar yang memiliki pinggir. Pemahaman seperti ini juga tampak pada siswa lain yang menempatkan bintang, bulan dan langit hanya pada bagian “atas” lingkaran yang mereka gambar. Vosniadou juga menemukan model pemahaman selain bumi sebagai cakram. Misalnya, ada siswa yang memahami bumi seperti bola yang separuh kosong, yang di dalamnya ada bidang datar yang dipijak oleh manusia. Ada pula yang memahami bumi seperti bola yang ditekan sehingga bagian “atasnya” menjadi datar. Sekitar separuh dari siswa kelas 3 dan 5 yang tampaknya sudah memahami bumi sebagai bola.

Mengapa banyak siswa yang memiliki pemahaman keliru tentang hal sesederhana bentuk bumi? Hasil penelitian Vosniadou ini mengilustrasikan proses belajar: bahwa proses membentuk pengetahuan baru selalu disetir oleh pengetahuan yang sudah dimiliki. Dalam hal ini, dari pengalaman sehari-hari, anak (dan kita semua) merasakan bumi yang kita pijak sebagai dataran. Ketika diberitahu bahwa bumi itu bulat, maka anak perlu memahaminya dalam kerangka pengetahuan yang sudah dimiliki, yakni bahwa bumi itu datar. Proses ini menghasilkan pemahaman yang menggabungkan pengetahuan awal dan pengetahuan baru, seperti model bumi sebagai cakram, atau bumi yang berongga.

Dengan kata lain, proses belajar tidak seperti menulis di kertas yang kosong, atau sekedar membangun pengetahuan baru. Untuk membangun pengetahuan baru, kadang kita perlu membongkar pengetahuan lama. (Anindito Aditomo, 23 Februari 2013)

Sumber bacaan:
Vosniadou, S. (2007). Conceptual change and education. Human Development, 50, hal. 40-47.
Vosniadou, S. & Brewer, W.F. (1992). Mental models of the earth: a study of conceptual change in childhood. Cognitive Psychology, 24, hal. 535-585.

Thursday, January 24, 2013

Kreativitas Menurut Ken Robinson

Kita kerap berpikir bahwa kreativitas adalah milik segelintir manusia yang terlahir dengan bakat luar biasa. Bahwa kreativitas adalah milik mereka dengan profesi tertentu, seperti seniman, penemu, dan penulis fiksi. Tapi, menurut Ken Robinson, ini konsepsi yang keliru tentang kreativitas. Kreativitas adalah daya cipta. Kreativitas hadir ketika kita menggunakan imajinasi untuk membuat sesuatu yang melampaui apa yang dapat dilihat dan dirasakan secara langsung. Kreativitas terjadi ketika kita tidak sekedar meniru atau mengikuti prosedur. Dari kacamata ini, semua orang memiliki potensi atau bakat untuk menjadi kreatif.

Ya, memang para seniman, penulis, dan penemu adalah orang-orang yang kreatif. Tapi kreativitas dapat kita temui di berbagai bidang lain: Seorang guru yang merombak rencana pengajarannya karena ingin menggunakan aplikasi online yang baru ia temukan. Seorang peneliti pasar yang membuat angket untuk menangkap keinginan dan kebutuhan pembaca akan berita. Seorang manajer yang merancang ulang posisi meja kursi kantor untuk membuat karyawannya lebih sering berdiskusi. Seorang montir yang menggunakan alat seadanya untuk menghidupkan mesin motor yang mogok. Orangtua yang kehabisan bahan masakan yang biasa dibuat dan terpaksa menciptakan menu baru untuk makan pagi anaknya. Bagi Robinson, semua ini adalah contoh perwujudan kreativitas.

Sebagai potensi yang dimiliki semua orang, kreativitas punya dua sisi. Yang pertama adalah kemampuan untuk melihat dari sudut yang berbeda, untuk membayangkan yang belum ada, untuk memunculkan gagasan-gagasan segar. Sisi pertama ini yang lebih sering diasosiasikan dengan kreativitas. Sisi ini juga kadang terasosiasi dengan gambaran negatif atau destruktif tentang kreativitas. Kelas yang menekankan kreativitas, misalnya, akan penuh dengan siswa yang mencoret tembok dan merusak properti. Anak yang kreatif cenderung sulit fokus pada pelajaran sekolah dan tidak mau taat pada aturan.

Tapi ini gambaran yang keliru, karena sisi kedua dari kreativitas adalah kemauan untuk fokus pada penciptaan dan perbaikan sebuah karya. Ini proses yang memerlukan pengetahuan serta penalaran kritis untuk mengevaluasi kelebihan dan kelemahan berbagai keputusan yang hendak diambil dalam berkarya. Dalam kata-kata Robinson, “[creativity] is not only about letting go, it’s about holding on” (hal.5).

Dengan kata lain, kreativitas membutuhkan disiplin dan pengetahuan yang mendalam: Seorang pelukis perlu pengetahuan yang tentang bentuk, komposisi, warna, karakter kanvas, cat, dan dan elemen-elemen desain serta alat-alat seni lainnya. Seorang peneliti pasar perlu pengetahuan tentang produk yang hendak dipasarkan serta karakter calon konsumennya. Seorang koki perlu pengetahuan bahan makanan, alat-alat memasak, dan pengaruh proses memasak terhadap rasa dan kenampakan berbagai bahan.

Poin penting dari pandangan ini adalah bahwa kreativitas dapat dibentuk dan dikembangkan. Kita bisa belajar untuk menjadi (lebih) kreatif, untuk mengasah kemampuan berpikir dari sudut yang berbeda, serta memperdalam pengetahuan yang diperlukan untuk menciptakan sesuatu. Tapi ini juga berarti bahwa kreativitas dapat dikerdilkan atau bahkan dimatikan.

Sayangnya, menurut Robinson, kemungkinan kedua inilah yang lebih sering terjadi. Sekolah menuntut lebih sering siswa untuk mengikuti prosedur daripada berpikir mandiri. Soal matematika harus dipecahkan dengan cara yang diajarkan guru. Eksperimen sains harus dilakukan dengan mengikuti langkah yang tertulis di buku. Pelajaran bahasa juga banyak mengajarkan tentang grammar. Sejarah and ilmu sosial disajikan sebagai rangkaian nama, peristiwa dan tanggal yang harus dihafalkan. Untuk semua mata pelajaran, ada tes terstandar yang mengajarkan pada siswa bahwa benar dan salah selalu jelas batasnya, dan batas itu selalu ditentukan oleh guru.

Apakah sekolah bisa dibuat untuk mengembangkan kreativitas? Tentu saja, tapi itu akan menjadi topik tulisan lain :)

Sumber: Robinson, K. (2011). Out of Our Minds: Learning to be Creative (2nd Ed.). Chichester: Capstone Publishing.

Tuesday, January 1, 2013

Hafal Bukan Syarat untuk Memahami

Guru yang baik pasti ingin siswanya memahami materi yang diajarkan. Tapi apa yang dimaksud dengan pemahaman (understanding)? Secara sederhana, pemahaman bisa dikontraskan dengan hafalan atau ingatan. Hafal sebuah informasi berarti bisa menyatakan kembali informasi tersebut dalam konteks yang sempit, biasanya pada saat ujian di sekolah. Dalam taksonomi Bloom, menghafal adalah proses kognitif yang paling rendah. Masalahnya adalah, informasi yang sekedar dihafalkan biasanya ‘mandul’ alias tidak berguna di luar konteks yang sempit.

Mungkin Anda bertanya, apa betul hafalan tidak ada gunanya? Bukankah siswa tetap perlu menghafal informasi tertentu? Bukankah ada informasi-informasi dasar, misalnya definisi konsep-konsep penting, yang perlu dihafalkan oleh siswa? Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita simak sebuah penelitian klasik tentang memori yang dilakukan Hermann Ebbinghaus, seorang pelopor psikologi modern, di tahun 1885.

Dalam salah eksperimennya, pak Ebbinghaus berusaha menghafalkan sederetan silabel tak bermakna seperti VIK, HIR, MAW, CEF, LOK, NUG, PIZ, JRU, dan GRE. Pak Ebbinghaus mencatat berapa kali ia harus mengulang deretan tersebut, sebelum ia bisa menuliskannya kembali dengan benar (orang kita bilang, ‘hafal di luar kepala’). Ia juga mengukur ketepatan hafalannya setelah beberapa menit sampai satu bulan setelah ia pertama kali menghafal deretan tersebut.

Ternyata, untuk menghafal secara sempurna enam deret silabel tak bermakna, pak Ebbinghaus perlu mengulangi informasi tersebut sekitar empat ratus kali! Namun demikian, 20 menit kemudian, ternyata ia sudah melupakan lebih dari 40% dari informasi tersebut. Dan setelah 6 hari, yang tersisa dari hafalannya hanya sekitar 25% saja. Salah satu pelajaran yang dapat kita petik dari eksperimen ini adalah bahwa hafalan tanpa makna tidak akan bertahan lama.

Kurva "lupa" Ebbinghaus

Ini hanya sekelumit dari temuan Ebbinghaus. Anda yang tertarik dapat membaca naskah lengkapnya di http://psychclassics.yorku.ca/Ebbinghaus/index.htm (termasuk gambar di atas). Untuk keperluan tulisan ini, saya ingin memberi gambaran yang lebih relevan dengan pelajaran sekolah. Bayangkan dua siswa – si Anton dan si Badu – yang mendapat pertanyaan berikut dalam sebuah ujian:


Pada tahun berapakah peristiwa yang sekarang disebut sebagai “Serangan Umum 1 Maret” terjadi?
    (a) 1938     (b) 1939     (c) 1948     (d) 1949     (e) 1950

Katakanlah si Anton memilih jawaban yang benar (d), sedangkan si Badu memilih jawaban yang salah (c). Ketika diminta menjelaskan pilihan jawaban mereka setelah ujian selesai, si Anton hanya menjawab singkat, “Ya karena saya ingat di buku tertulis tahun 1949.” Jawaban si Badu lebih panjang: “Saya agak lupa tahunnya, tapi sekitar tahun 1948. Serangan Umum kan dilakukan karena Belanda nggak mau mengakui kita merdeka tahun 1945. Jadi jawaban (a) dan (b) pasti salah.”

Dalam contoh ini, meski si Anton memilih jawaban yang benar, si Badu punya pemahaman sejarah yang lebih baik tentang peristiwa Serangan Umum 1 Maret. Si Anton memang hafal informasi yang tepat, namun si Badu memahami keterkaitan Serangan Umum dengan proklamasi kemerdekaan, serta kepentingan Belanda sebagai salah satu aktor dalam peristiwa tersebut. Si Anton tahu alias hafal kapan Serangan Umum terjadi, sedangkan si Badu punya pemahaman awal tentang mengapa peristiwa itu terjadi.

Ilustrasi di atas menunjukkan bahwa hafalan tidak menjamin pemahaman. Lebih jauh lagi, pemahaman juga tidak selalu mensyaratkan hafalan. Karena itu, sekedar “mengetahui” alias hafal sekumpulan informasi tidak layak dijadikan tujuan pembelajaran di kelas.

Thursday, October 25, 2012

Menggunakan Internet Secara Cerdas dan Sehat

Bagi kita yang beruntung menjadi anggota kelas menengah, internet sudah menjadi bagian integral dari hidup sehari-hari. Internet sudah menjadi seperti kebutuhan pokok. Banyak diantara kita yang sulit membayangkan bahkan satu hari pun tanpa menggunakan search engine, membuka email, berbagi kabar lewat media sosial, atau sekedar menonton video singkat sebagai hiburan di sela-sela kesibukan. Anak-anak keluarga kelas menengah pun sejak kecil sudah terbiasa menggunakan berbagai perangkat digital untuk mengakses bermacam informasi yang ada di dunia maya.

Tapi kemampuan menggunakan perangkat digital dan internet tidak sepadan dengan kebiasaan menggunakannya secara sehat dan cerdas. Sebagai analogi, tidak semua pengendara mobil terbiasa berlalu lintas dengan sopan dan aman. Sebagaimana perilaku berlalu lintas yang baik, sikap dan perilaku berinternet secara sehat juga amat penting. Mungkin anda ragu: mengendarai mobil dengan ngawur memang bisa berakibat fatal, tapi kalau sekedar menelusuri informasi dan menjalin hubungan pertemanan di dunia maya, apakah konsekuensinya juga bisa demikian serius?

Keraguan akan pentingnya kebiasaan berinternet secara sehat dan cerdas mestinya terjawab oleh dua kasus yang baru saja terjadi. Kasus pertama percaya menyangkut seorang remaja putri di daerah Depok yang menjadi korban perkosaan oleh seseorang yang ia kenal melalui jejaring sosial Facebook. Dalam kasus ini, pelaku kejahatan lihai dalam memproyeksikan kepribadian virtual yang menarik, sampai korban cukup percaya untuk mau bertemu secara langsung. Kasus kedua terjadi di Kanada dan juga menyangkut seorang remaja putri. Di kasus ini, si remaja putri mengalami cyber-bullying oleh seseorang yang mengancam akan memposting foto separuh-telanjang remaja tersebut. Remaja tersebut kemudian mengalami depresi, beberapa kali pindah sekolah, dan akhirnya bunuh diri.

Kedua kasus tragis di atas memang contoh ekstrem. Tapi versi-versi “lebih ringan” dari penipuan online dan cyber-bullying kerap terjadi dan bisa menimpa banyak orang, mengingat bahwa sudah ada sekitar 55 juta pengguna internet di Indonesia. Poin yang ingin saya sampaikan adalah bahwa perkataan, perilaku, dan keputusan-keputusan kita di dunia maya memiliki konsekuensi yang sungguh nyata. Dalam konteks inilah kita perlu belajar untuk menggunakan internet secara sehat dan cerdas.

Seperti apa perilaku berinternet yang sehat dan cerdas itu? Perinciannya tentu tak cukup dijabarkan di kolom ini. Namun ada beberapa prinsip yang dapat kita pegang, seperti yang disarikan oleh tim iKeepSafe bersama Google berikut (untuk lebih lengkapnya, lihat di http://www.google.com/educators/digitalliteracy.html):

Pertama, selalu bersikap skeptis, alias waspada dan kritis. Di dunia maya, hampir siapa pun yang punya koneksi internet bisa “menciptakan” informasi. Akibatnya adalah masifnya volume informasi yang ada di internet, serta beragamnya kualitas informasi tersebut. Kalau diibaratkan apotek, internet menyimpan miliaran obat dari berbagai jenis. Kebanyakan obat tersebut gratis, namun sebagian besar juga tidak manjur, dan sebagian lagi justru bisa membuat kita sakit.

Dengan demikian, kita perlu pandai-pandai mengevaluasi dan memilah informasi. Ini bisa dilakukan dengan mengecek otoritas dari sumber informasi (penulis dan pemilik situs). Misalnya, informasi yang ada di situs pemerintah, universitas dan media masa resmi biasanya lebih bisa dipercaya. Lebih elok lagi bila kita terbiasa membandingkan informasi dari beberapa sumber yang berbeda, serta memikirkan apa tujuan dan kepentingan si sumber informasi. Dengan mengambil perspektif si pencipta informasi, kita akan lebih kritis dalam menilai keabsahan informasi tersebut.

Kedua, jaga privasi. Sebagian besar dari kita tidak akan membagi-bagi foto anak, pasangan, atau diri kita kepada orang asing di perempatan jalan. Kita juga tidak akan menyebarkan selebaran berisi nama, tanggal lahir, dan riwayat sekolah atau kerja kita kepada orang yang tak kita kenal. Tapi di sisi lain, sebagian besar dari kita melakukan hal-hal itu dengan riang di dunia maya melalui berbagai media sosial. Informasi pribadi yang kita tampilkan di internet dapat disalahgunakan. Misalnya, orang yang berniat menipu kita akan lebih mudah melakukannya bila ia memiliki informasi pribadi lengkap tentang diri kita. Atau, seseorang bisa menciptakan akun di media sosial dengan berpura-pura sebagai kita, kemudian melakukan hal-hal yang memalukan atau bahkan kriminal. Karena itu, tampilkan informasi pribadi seminimal mungkin.

Ketiga, tetap santun dan jujur. Karena perkataan dan perilaku online punya dampak nyata, standar kesantunan yang kita anut di kehidupan nyata juga berlaku di dunia online. Tapi ini kadang terlupakan karena dalam interaksi online kita tidak secara langsung berhadapan dengan orang lain.

Selain itu, yang juga kadang terlupa adalah bahwa informasi yang kita unggah di internet akan memiliki “kehidupan” sendiri yang sulit kita kendalikan. Status FB atau Google+ yang hari ini kita tulis hari ini masih akan terbaca oleh orang lain satu atau bahkan sepuluh tahun mendatang. Sebuah umpatan dan olok-olok, atau sebuah foto memalukan, yang kita posting bisa diambil oleh orang lain untuk kemudian ia sebarkan secara luas – kadang tanpa kita ketahui. Hal ini bisa menyakiti orang lain, tapi bisa juga merugikan kita sendiri: bayangkan bila ucapan atau gambar tak pantas itu diketahui oleh atasan atau calon mertua!

Menerapkan prinsip-prinsip di atas tentu tak semudah menuliskannya. Tapi paling tidak semoga tulisan ini membuat kita berefleksi tentang cara kita menggunakan internet selama ini.

Friday, September 28, 2012

Penghapusan IPA dan IPS Bukan Solusi untuk Kurikulum yang Penuh Sesak

Tak perlu menjadi seorang ahli pendidikan untuk melihat bahwa kurikulum sekolah dasar dan menengah di Indonesia terlalu padat. Cukup tanyakan saja pada orangtua yang memiliki anak usia sekolah, betapa sulit dan stresnya berusaha membantu anak memelajari materi untuk pekerjaan rumah, lembar kerja harian dan berbagai tes yang ada. Informasi yang musti dipelajari oleh siswa sedemikian banyak, sampai-sampai punggung mereka tertekuk oleh beratnya buku pelajaran yang harus dibawa dalam ransel.

Kurikulum yang terlampau luas namun dangkal membawa berbagai dampak negatif. Singkat kata, masalahnya adalah bahwa dengan volume informasi yang demikian besar, siswa tidak memiliki waktu yang cukup untuk benar-benar mencernanya (setali tiga uang, guru juga tidak punya waktu untuk mengajar dengan baik). Simpulan ini bisa dideduksi dari temuan mendasar penelitian ilmiah mengenai proses belajar manusia: bahwa untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam, siswa perlu berlatih menggunakan berbagai konsep dalam konteks menyelesaikan problem yang beragam. Proses ini tentu membutuhkan waktu yang tidak sedikit.

Masalah ini tampaknya sudah diketahui juga oleh Departemen Pendidikan. Baru-baru ini kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan menyatakan bahwa kurikulum sekolah dasar perlu dirampingkan. Sayang seribu sayang, solusi yang ditawarkan adalah dengan menghapus pelajaran ilmu pengetahuan alam (IPA) and sosial (IPS). Semangat dari perombankan radikal ini, menurut sang kepala Litbang, adalah agar sekolah dasar bisa fokus mengembangkan siswa yang disiplin, jujur, dan bersih.

Saya bukannya tak senang dengan disiplin, kejujuran, dan kebersihan – ketiganya merupakan sifat-sifat baik yang masih sangat perlu dikembangkan di masyarakat kita. Namun pembentukan sifat-sifat tersebut pada generasi muda adalah tugas masyarakat secara keseluruhan – bukan hanya sekolah dan guru, tapi juga pemimpin dan politisi, pelaku-pelaku budaya, media massa, dan tentu saja orangtua dan keluarga. Menjadikan pengembangan karakter generasi muda sebagai tugas utama sekolah adalah sebuah kekeliruan, terutama jika konsekuensinya adalah membuang pelajaran IPA dan IPS. Peran unik sekolah sebagai institusi sosial adalah untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam berpikir secara ilmiah dan akademik. Tidak ada institusi sosial lain yang bisa mengemban fungsi ini, dan penghapusan IPA dan IPS justru menciderai fungsi unik tersebut.

Memang benar bahwa pengajaran IPA dan IPS saat ini jauh dari ideal. Seperti saya tulis di atas, kurikulum yang penuh sesak tidak memungkinkan siswa untuk belajar secara mendalam. Pelajaran IPA dan IPS kerap menampilkan ilmu pengetahuan sebagai “fakta-fakta” beku yang sekedar dihafalkan untuk dimuntahkan kembali saat ujian. Ilmu-ilmu alam dan sosial disampaikan sebagai doktrin, dan siswa kehilangan kesempatan untuk memelajari ilmu sebagai cara berpikir. Pelajaran IPA dan IPS tidak mengajarkan siswa untuk mengobservasi secara sistematis, menggunakan konsep abstrak untuk berpikir dan menganalisis dunia.

Pengajaran IPA yang buruk ini tercermin di hasil asesmen internasional seperti Programme for International Student Assessment (PISA). PISA adalah tes terstandar yang mengukur kemampuan siswa usia 15 tahun di 70 negara dalam hal kemampuan membaca, matematika, dan ilmu alam. Hasil PISA tahun 2006 menunjukkan bahwa lebih dari 60% siswa Indonesia tergolong tidak melek ilmu alam – mereka tidak memiliki kemampuan yang paling dasar sekali pun dalam mengidentifikasi masalah ilmiah, menjelaskan fenomena ilmiah, dan menggunakan bukti-bukti ilmiah. Lebih menyedihkan lagi, di tahun 2009 angka ketidakmelekan ilmiah ini justru meningkat.

Tapi solusi dari masalah ini jelas bukan menghapus IPA dan IPS dari kurikulum SD. Hal ini menunjukkan penghargaan pemerintah yang rendah terhadap ilmu-ilmu alam dan sosial, serta justru akan semakin memperburuk kemampuan siswa dalam berpikir ilmiah. Respon yang lebih masuk akal adalah memulai diskusi serius tentang merampingkan cakupan topik IPA dan IPS, serta bagaimana meningkatkan kemampuan guru dalam merancang dan mengajarkan pelajaran-pelajaran ini.

Departemen Pendidikan tampaknya berasumsi bahwa pengajaran IPA dan IPS bertentangan dengan pengembangan karakter siswa. Ini salah kaprah yang tidak perlu terjadi bila ilmu alam dan sosial dipahami secara lebih holistik. Praktik keilmuan mencakup sifat-sifat mulia seperti kejujuran, kerendah-hatian, dan keberanian. Ilmuwan dituntut untuk jujur dalam mencatat dan melaporkan hasil penelitian – kredibilitas ilmu sebagai institusi sosial bergantung pada hal ini. Ilmuwan juga perlu rendah hati ketika ternyata prediksi-prediksi yang mereka yakini ternyata tidak didukung oleh data. Ilmuwan musti berani, terutama saat temuan mereka bertentangan dengan keyakinan dasar masyarakat – seperti ketika Copernicus menyatakan bahwa bumi bukanlah pusat dari alam raya.

Sebagai penutup, penghapusan IPA dan IPS adalah contoh kebijakan yang tidak bijak. Tentu, penilaian ini adalah jika kita masih berharap menjadi bangsa yang suatu saat maju dalam hal ilmu dan teknologi.

Wednesday, September 26, 2012

Teknologi di Sekolah: Efisiensi atau Inovasi?


Perkembangan pesat teknologi informasi dan komunikasi telah dan akan terus mengubah berbagai aspek kehidupan. Bagi banyak orang, interaksi sosial kini banyak berlangsung di dunia maya. Melalui media-media sosial seperti Twitter dan Facebook, kita bisa bertemu teman baru, bertengkar dengan teman lama, serta mengikuti kabar keluarga, gosip selebriti serta berita politik terbaru. Mobile devices seperti telepon seluler dan sabak digital (iPad, Galaxy Tab, dll.) yang makin canggih, serta koneksi internet yang semakin berkualitas dan murah, mendorong kita untuk berbagi kabar dan informasi dalam format multimedia yang menggabungkan teks, foto dan video.

Kebutuhan siswa akan pengetahuan pun kerap terlayani bukan oleh sumber-sumber ilmu tradisional seperti sekolah dan guru, melainkan oleh situs-situs semacam Wikipedia, Youtube dan forum-forum online, yang materinya diproduksi secara bottom-up oleh pengguna, dan karena itu isinya banyak, up-to-date, namun sekaligus bervariasi kualitasnya. Perkembangan teknologi juga telah melahirkan kuliah-kuliah jarak jauh yang tidak sekedar menyampaikan materi kuliah secara satu arah, tapi juga menawarkan peer discussion dan asesmen yang bermutu. Simak, misalnya, kuliah-kuliah gratis dari berbagai universitas tenar di Amerika yang ditawarkan melalui Coursera.org dan diikuti oleh ratusan ribu orang dari seluruh dunia. Teknologi yang sama juga dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan besar untuk mengefisienkan komunikasi dan pelatihan internal.

Menilik begitu kuat dan luasnya pengaruh teknologi pada kehidupan, barangkali mengejutkan bahwa teknologi tidak banyak menyentuh proses belajar-mengajar di sekolah. Guru, orangtua dan pejabat pendidikan kerap merasa bahwa teknologi tidak terlalu relevan atau bahkan mengganggu proses belajar-mengajar formal. Telepon seluler dan mobile device lain kerap dilarang dibawa ke sekolah, atau setidaknya tidak boleh digunakan di ruang kelas. Sekolah-sekolah yang telah memiliki akses internet sering memblokir situs media sosial seperti Facebook, Twitter dan Youtube. Teknologi juga haram digunakan sebagai alat bantu dalam ujian atau tes.

Kalau pun teknologi digunakan di sekolah, seringkali penggunaannya hanya untuk mengefisienkan model pembelajaran konvensional: kalau dulu guru menyampaikan kuliah sambil menulis di papan, sekarang hal yang sama dilakukan melalui proyektor digital dan software presentasi. Kalau dulu pekerjaan rumah siswa diberikan dalam bentuk kertas tercetak, kini hal yang sama bisa disampaikan dan dikumpulkan melalui surat elektronik (email). Bila dahulu siswa membuat kliping berita dari koran-koran bekas, kini mereka melakukannya dengan bantuan Google. Esensi aktivitasnya sama, hanya dilakukan dengan media yang berbeda, tanpa memperdalam proses belajar.

Penggunaan teknologi yang superfisial terjadi juga di negara-negara maju. Lebih dari satu dekade yang lalu, Larry Cuban (2001) meneliti sekolah dan universitas di Silicon Valley, Amerika, daerah yang tergolong paling maju dalam hal penyediaan teknologi. Cuban menemukan bahwa lebih dari 50% guru tidak menggunakan komputer yang tersedia untuk mengajar – hanya sekitar 10% yang menggunakannya secara intensif, sedangkan 20-30% hanya kadang-kadang saja. Bahkan di kleas yang menggunakan komputer pun, siswa lebih sering menggunakannya hanya untuk mengetik tugas, mencari informasi di internet atau CD, dan memainkan game di waktu senggang. Jarang sekali teknologi digunakan secara terintegrasi dengan proses belajar, misalnya dengan memanfaatkan kemampuan komputer untuk memroses dan memvisualisasi informasi, atau menciptakan ruang interaksi online yang semi-informal agar lebih banyak siswa bisa menguraikan pikiran dan pendapat secara aktif.

Penggunaan teknologi secara superfisial ini akan berujung pada segregasi antara sekolah dan teknologi. Di satu sisi, sekolah identik dengan belajar-mengajar (namun sering tidak menyenangkan). Di sisi lain, teknologi identik dengan bermain dan bersosialisasi (yang seringkali lebih menyenangkan). Segregasi ini membuat guru dan sekolah, dan juga orangtua, kehilangan kesempatan untuk membentuk sikap dan perilaku siswa/anak dalam menggunakan teknologi, misalnya dalam cara memilih game, bagaimana menghindari ajakan pertemanan yang berbahaya di Facebook, bagaimana memilih orang untuk diikuti di Twitter, cara mencari dan mengevaluasi informasi di internet, dll.

Yang lebih ideal tentu adalah apabila ada sinergi antara penggunaan teknologi dengan pembelajaran di sekolah. Sebagai ilustrasi dari potensi sinergi ini, kita bisa menengok fenomena komunitas maya (online virtual communities) penggemar dari karya fiksi untuk anak dan remaja seperti serial Harry Potter dan Hunger Games. Komunitas-komunitas maya ini memanfaatkan ruang online untuk mendiskusikan berbagai aspek dari karya fiksi kesukaan mereka. Misalnya, tentang mengapa apakah keputusan seorang karakter di novel sudah sesuai dengan karakternya, atau tentang kejanggalan dalam plot yang dibangun oleh penulis. Diskusi semacam ini cair dan informal, tapi menuntut kemampuan berpikir analitis dan kritis, dan dengan demikian mengasah berbagai keterampilan bahasa yang ingin dikembangkan oleh sekolah.

Lebih jauh lagi, anggota komunitas penggemar ini juga menulis karya fiksi mereka sendiri berdasarkan karakter dan plot dari serial kesukaan mereka. Dan jangan dikira bahwa hal ini hanya dilakukan segelintir pembaca. Di salah satu situs yang memuat “fan fiction” (www.fanfiction.net) saat ini sudah ada lebih dari 600 ribu fan fiction Harry Potter, lebih dari 200 ribu fan fiction Twilight, dan lebih dari 21 ribu fan fiction Hunger Games. Penulisan fan fiction seperti ini tentu memerlukan imajinasi dan kreativitas, daya analisis untuk membaca karakter dan mengembangkan plot cerita, serta kepercayaan diri untuk mempublikasikannya untuk dibaca dan dikomentari siapa pun yang punya akses internet. Penelitian Jen Scott Curwood dari University of Sydney mengenai komunitas penggemar maya serial Hunger Games menunjukkan bahwa banyak remaja yang tidak senang dengan pelajaran bahasa di sekolah menjadi gemar membaca dan menulis dalam di komunitas maya. Ini menunjukkan nilai motivasi dari praktik berbahasa yang dilakukan dalam konteks yang otentik, seperti komunitas penggemar online ini. Hal ini amat kontras dengan pelajaran bahasa di sekolah yang kerap diikuti dengan ogah-ogahan.

Fenomena penggemar fiksi online ini membuka banyak kemungkinan inovasi pembelajaran. Berikut beberapa contoh yang diberikan oleh Curwood terkait dengan serial Hunger Games: menulis lagu mengenai buku tersebut dan memeragakannya; membuat jurnal yang menggambarkan perjalanan seorang karakter di serial Hunger Games; membuat movie trailer-nya; membuat peta yang mewakili berbagai aspek dari dunia Hunger Games; serta membuat kartun atau drama mengenai dinamika sosial dan politik yang terjadi di serial tersebut (lihat di http://www.jensc.org/2012/03/reading-and-responding-to-the-hunger-games/). Guru yang kreatif akan bisa menggunakan aktivitas-aktivitas ini bukan saja untuk kelas bahasa, tapi juga untuk pelajaran lain yang sesuai dengan tema novel yang menjadi acuan, seperti sejarah, sosiologi, bahkan matematika.

Saturday, July 2, 2011

Ujian Nasional and School-Sanctioned Cheating: Beyond the Moral Outcry



Kartun Mice tentang Generasi Ujian Nasional

Remember Ny. Siami? In this age of information avalanche, the school-sanctioned cheatings that made national news several weeks ago have receded into the distant past.

Ny. Siami is the brave whistle-blower in one of these cases, where her son, a high achieving student in a public elementary school in Surabaya, was told by teachers to “share” answers with his classmates. This case has garnered widespread attention, mainly because it opened a new, disturbing dimension: that many parents seemed to not only tacitly tolerate, but openly support cheating as a way to pass the Ujian Nasional.

Most of the reporting and commentary has portrayed this case as a moral issue, an issue of honesty versus dishonesty. But this overlooks another, more important issue: educational (in)equity. This is an issue that has more to do with social structure and the educational system, than with particular individual’s morality, or lack thereof.

It is easy to understand why the case in Surabaya is viewed almost exclusively from a moral lens. The almost violent hostility of many parents towards Ny. Siami was shocking and prompted a moral outcry. There is also a compelling narrative of good, embodied by Ny. Siami and her son, versus evil, embodied by the perpetrating teacher(s) and parents. This is a narrative that fits well with the social agenda of fighting corruption in the wider community.

However, it is all too easy for middle/upper-class people (from whom, I suspect, most of the outcry has come) to assume the higher moral ground. The middle-class, myself included, tends to see educational achievement mainly as a matter of individual will, effort, and ability. Lazy students deserve low marks, while the diligent ones should be rewarded with higher marks. Teachers should strive to help their students pass exams through motivation and instruction.

But there is strong evidence that show academic achievement is also influenced by where one sits in the socio-economic hierarchy. Two students may have similar academic ability and motivation, but if they come from families with different socio-economic levels, then the poor student will be less likely to excel at school.

There are several explanations to this. The more obvious one is simply that students from poor families face more economic pressure and hence have less time and resources to study at home. The less obvious explanation is that students from poorer families hear, read about, and use far fewer academic vocabularies. They also don’t have much opportunity to engage in important cognitive skills, such as offering criticisms, considering multiple perspectives, and evaluating evidence. Consequently, teachers and schools that cater for poorer communities also face a much harder task of teaching.

And herein lies the issue of equity: students from low socio-economic families are far more likely to obtain low scores in, and risk failing, the Ujian Nasional. This becomes more problematic because the educational system and society at larger currently places too much premium on standardized scores.

Parents and other stakeholders are rarely, if ever, provided with narrative and specific descriptions of students’ progress in specific content areas. Achievements in sport, arts, or various hobbies are considered to be “extracurricular” or outside of the academic domain. Exam scores are virtually the only indicator of academic achievement that matters. Hence, even if graduation is not determined solely by the Ujian Nasional, it nevertheless imposes considerable stress, especially for poorer students and their parents and teachers.

This should help us understand why some teachers in lower income schools are tempted to organise mass-cheatings, and why some parents in the Surabaya case became so hostile towards Ny. Siami. These parents have few ideas on how to help their children excel academically. For them, cheating may have been perceived as the safest, and perhaps only way to guarantee that their children passed the high-stakes exam. And they are probably well aware that failing at school can deny their children the chance of climbing the socio-economic ladder.

Faced with the option of risking your child's future and endorsing cheating, would you take the higher moral ground? I don't know if I would.

Of course, at one level, cases of school-sanctioned cheating need to be dealt with as a moral issue. Understanding why people cheat does not mean permitting it. The perpetrators need to be punished, while Ny. Siami and other whistle-blowers who have sought to uphold honesty need to be protected and rewarded.

And the administration of the Ujian Nasional should be made more “cheat-proof”. But seeing school-sanctioned cheating exclusively from a moral lens focuses attention on individuals (“para oknum”, as we often call them). As if the problem lies in unique cases moral corruption, and hence can be addressed simply by punishing or educating those individuals. This avoids the more difficult task of addressing educational inequity.

With regards to the current cases of school-sanctioned cheating, the question is: how can we reform the Ujian Nasional system so that it can become an instrument of learning, rather than a motivator for cheating?
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...