Perkembangan pesat teknologi informasi dan komunikasi telah dan akan terus mengubah berbagai aspek kehidupan. Bagi banyak orang, interaksi sosial kini banyak berlangsung di dunia maya. Melalui media-media sosial seperti Twitter dan Facebook, kita bisa bertemu teman baru, bertengkar dengan teman lama, serta mengikuti kabar keluarga, gosip selebriti serta berita politik terbaru. Mobile devices seperti telepon seluler dan sabak digital (iPad, Galaxy Tab, dll.) yang makin canggih, serta koneksi internet yang semakin berkualitas dan murah, mendorong kita untuk berbagi kabar dan informasi dalam format multimedia yang menggabungkan teks, foto dan video.
Kebutuhan siswa akan pengetahuan pun kerap terlayani bukan oleh sumber-sumber ilmu tradisional seperti sekolah dan guru, melainkan oleh situs-situs semacam Wikipedia, Youtube dan forum-forum online, yang materinya diproduksi secara bottom-up oleh pengguna, dan karena itu isinya banyak, up-to-date, namun sekaligus bervariasi kualitasnya. Perkembangan teknologi juga telah melahirkan kuliah-kuliah jarak jauh yang tidak sekedar menyampaikan materi kuliah secara satu arah, tapi juga menawarkan peer discussion dan asesmen yang bermutu. Simak, misalnya, kuliah-kuliah gratis dari berbagai universitas tenar di Amerika yang ditawarkan melalui Coursera.org dan diikuti oleh ratusan ribu orang dari seluruh dunia. Teknologi yang sama juga dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan besar untuk mengefisienkan komunikasi dan pelatihan internal.
Menilik begitu kuat dan luasnya pengaruh teknologi pada kehidupan, barangkali mengejutkan bahwa teknologi tidak banyak menyentuh proses belajar-mengajar di sekolah. Guru, orangtua dan pejabat pendidikan kerap merasa bahwa teknologi tidak terlalu relevan atau bahkan mengganggu proses belajar-mengajar formal. Telepon seluler dan mobile device lain kerap dilarang dibawa ke sekolah, atau setidaknya tidak boleh digunakan di ruang kelas. Sekolah-sekolah yang telah memiliki akses internet sering memblokir situs media sosial seperti Facebook, Twitter dan Youtube. Teknologi juga haram digunakan sebagai alat bantu dalam ujian atau tes.
Kalau pun teknologi digunakan di sekolah, seringkali penggunaannya hanya untuk mengefisienkan model pembelajaran konvensional: kalau dulu guru menyampaikan kuliah sambil menulis di papan, sekarang hal yang sama dilakukan melalui proyektor digital dan software presentasi. Kalau dulu pekerjaan rumah siswa diberikan dalam bentuk kertas tercetak, kini hal yang sama bisa disampaikan dan dikumpulkan melalui surat elektronik (email). Bila dahulu siswa membuat kliping berita dari koran-koran bekas, kini mereka melakukannya dengan bantuan Google. Esensi aktivitasnya sama, hanya dilakukan dengan media yang berbeda, tanpa memperdalam proses belajar.
Penggunaan teknologi yang superfisial terjadi juga di negara-negara maju. Lebih dari satu dekade yang lalu, Larry Cuban (2001) meneliti sekolah dan universitas di Silicon Valley, Amerika, daerah yang tergolong paling maju dalam hal penyediaan teknologi. Cuban menemukan bahwa lebih dari 50% guru tidak menggunakan komputer yang tersedia untuk mengajar – hanya sekitar 10% yang menggunakannya secara intensif, sedangkan 20-30% hanya kadang-kadang saja. Bahkan di kleas yang menggunakan komputer pun, siswa lebih sering menggunakannya hanya untuk mengetik tugas, mencari informasi di internet atau CD, dan memainkan game di waktu senggang. Jarang sekali teknologi digunakan secara terintegrasi dengan proses belajar, misalnya dengan memanfaatkan kemampuan komputer untuk memroses dan memvisualisasi informasi, atau menciptakan ruang interaksi online yang semi-informal agar lebih banyak siswa bisa menguraikan pikiran dan pendapat secara aktif.
Penggunaan teknologi secara superfisial ini akan berujung pada segregasi antara sekolah dan teknologi. Di satu sisi, sekolah identik dengan belajar-mengajar (namun sering tidak menyenangkan). Di sisi lain, teknologi identik dengan bermain dan bersosialisasi (yang seringkali lebih menyenangkan). Segregasi ini membuat guru dan sekolah, dan juga orangtua, kehilangan kesempatan untuk membentuk sikap dan perilaku siswa/anak dalam menggunakan teknologi, misalnya dalam cara memilih game, bagaimana menghindari ajakan pertemanan yang berbahaya di Facebook, bagaimana memilih orang untuk diikuti di Twitter, cara mencari dan mengevaluasi informasi di internet, dll.
Yang lebih ideal tentu adalah apabila ada sinergi antara penggunaan teknologi dengan pembelajaran di sekolah. Sebagai ilustrasi dari potensi sinergi ini, kita bisa menengok fenomena komunitas maya (online virtual communities) penggemar dari karya fiksi untuk anak dan remaja seperti serial Harry Potter dan Hunger Games. Komunitas-komunitas maya ini memanfaatkan ruang online untuk mendiskusikan berbagai aspek dari karya fiksi kesukaan mereka. Misalnya, tentang mengapa apakah keputusan seorang karakter di novel sudah sesuai dengan karakternya, atau tentang kejanggalan dalam plot yang dibangun oleh penulis. Diskusi semacam ini cair dan informal, tapi menuntut kemampuan berpikir analitis dan kritis, dan dengan demikian mengasah berbagai keterampilan bahasa yang ingin dikembangkan oleh sekolah.
Lebih jauh lagi, anggota komunitas penggemar ini juga menulis karya fiksi mereka sendiri berdasarkan karakter dan plot dari serial kesukaan mereka. Dan jangan dikira bahwa hal ini hanya dilakukan segelintir pembaca. Di salah satu situs yang memuat “fan fiction” (
www.fanfiction.net) saat ini sudah ada lebih dari 600 ribu fan fiction Harry Potter, lebih dari 200 ribu fan fiction Twilight, dan lebih dari 21 ribu fan fiction Hunger Games. Penulisan fan fiction seperti ini tentu memerlukan imajinasi dan kreativitas, daya analisis untuk membaca karakter dan mengembangkan plot cerita, serta kepercayaan diri untuk mempublikasikannya untuk dibaca dan dikomentari siapa pun yang punya akses internet. Penelitian Jen Scott Curwood dari University of Sydney mengenai komunitas penggemar maya serial Hunger Games menunjukkan bahwa banyak remaja yang tidak senang dengan pelajaran bahasa di sekolah menjadi gemar membaca dan menulis dalam di komunitas maya. Ini menunjukkan nilai motivasi dari praktik berbahasa yang dilakukan dalam konteks yang otentik, seperti komunitas penggemar online ini. Hal ini amat kontras dengan pelajaran bahasa di sekolah yang kerap diikuti dengan ogah-ogahan.
Fenomena penggemar fiksi online ini membuka banyak kemungkinan inovasi pembelajaran. Berikut beberapa contoh yang diberikan oleh Curwood terkait dengan serial Hunger Games: menulis lagu mengenai buku tersebut dan memeragakannya; membuat jurnal yang menggambarkan perjalanan seorang karakter di serial Hunger Games; membuat movie trailer-nya; membuat peta yang mewakili berbagai aspek dari dunia Hunger Games; serta membuat kartun atau drama mengenai dinamika sosial dan politik yang terjadi di serial tersebut (lihat di http://www.jensc.org/2012/03/reading-and-responding-to-the-hunger-games/). Guru yang kreatif akan bisa menggunakan aktivitas-aktivitas ini bukan saja untuk kelas bahasa, tapi juga untuk pelajaran lain yang sesuai dengan tema novel yang menjadi acuan, seperti sejarah, sosiologi, bahkan matematika.