![]()  | 
| Melbourne skyline dari gedung psikologi, Melbourne University. | 
Monday, September 28, 2015
SATU KELAS, BERPULUH LINTASAN BELAJAR
Friday, September 25, 2015
Kemampuan Generik dan Irisannya dengan Mata Pelajaran
Wednesday, September 23, 2015
Kurikulum dan Asesmen Pendidikan: Pengalaman Australia #2
Saturday, September 19, 2015
Reformasi Kurikulum dan Asesmen Pendidikan: Pengalaman Australia (#1)
Oleh: Anindito Aditomo
Australia
 memiliki 6 negara bagian (NSW, WA, QLD, VIC, SA, dan TAS) dan 2 
teritori otonom (NT dan ACT). Negara-negara bagian tersebut lahir 
sebelum Australia terbentuk sebagai federasi. Karena itu tiap negara 
bagian punya kebanggaan atas identitas uniknya sendiri. Tidak terlalu 
mengherankan jika baru sekarang ini Australia mulai mengembangkan 
kurikulum nasional.
Secara historis, pendidikan di Australia 
memang berada dalam lingkup wewenang dan tanggung jawab negara bagian. 
Karena itu tidak heran jika tiap negara bagian memiliki sistem 
pendidikan yang berbeda-beda. Adanya kurikulum nasional yang baru 
digagas belakangan tentu akan mengurangi perbedaan antar negara bagian. 
Namun kurikulum nasional tidak mencakup kelas 11 dan 12, dan karena itu 
tidak akan mengubah sistem pemberian ijazah SMA. Kurikulum nasional juga
 tidak akan mengubah perbedaan dalam model kepegawaian masing-masing 
departemen pendidikan. Bahkan untuk kurikulum sampai kelas 10 pun, tiap 
negara bagian memiliki tafsirnya sendiri-sendiri (more in this in 
another article).
Meski banyak perbedaan, saya juga menangkap 
adanya beberapa persamaan mendasar antar negara bagian. Atau setidaknya,
 antara dua negara bagian yang saya kunjungi (Victoria dan NSW). Salah 
satu persamaan tersebut adalah kebijakan terkait transisi kurikulum. 
Dalam hal ini, baik NSW maupun Victoria memberi waktu setidaknya 1 tahun
 bagi semua guru untuk melihat dan memahami kurikulum baru sebelum 
benar-benar diberlakukan.
Sebagai contoh, katakanlah pemerintah 
NSW selesai mengadaptasi kurikulum nasional untuk pelajaran Sejarah pada
 awal 2015. Pada titik tersebut, guru sudah bisa mengakses bukan saja 
deskripsi capaian pembelajaran dan apa yang perlu dipelajari (konten) 
untuk pelajaran sejarah, tapi juga resources lain seperti contoh materi 
bacaan, video, contoh tugas, dan contoh rubrik penilaian. Kurikulum 
tersebut baru akan diumumkan dan diberlakukan paling cepat pada awal 
2016.
Masa percobaan tersebut memberi kesempatan bagi guru dan 
sekolah untuk “mencicipi” kurikulum baru, sekaligus memberi masukan bagi
 perbaikannya. Dengan demikian, guru punya waktu untuk mencoba membuat 
lesson plan, mencari atau memadu-padankan bacaan atau resources lain, 
membuat tugas asesmen dan rubrik penilaian yang cocok untuk kelasnya. 
Mereka juga boleh mencoba menerapkannya di kelas, meski kurikulum 
tersebut belum berlaku resmi.
Mengapa perlu waktu satu tahun 
penuh untuk mencicipi kurikulum baru? Pendekatan ini, menurut saya, 
mencerminkan beberapa keyakinan mendasar tentang pendidikan dan profesi 
guru.
Pertama, pendekatan ini mencerminkan keyakinan bahwa 
mengajar adalah pekerjaan yang sangat kompleks. Mengajar bukan sekedar 
penerapan langkah-langkah yang dituliskan oleh pemerintah dalam sebuah 
dokumen. Dengan kata lain, mengajar tidak bisa dilakukan secara 
prosedural semata. Penerjemahan kurikulum tertulis menjadi proses 
pembelajaran membutuhkan basis pengetahuan yang kompleks. Pengajaran 
yang baik mensyaratkan integrasi antara pengetahuan tentang 
karakteristik siswa, karakteristik kelas, batasan-batasan (constraint) 
fisik dan administratif, metode pengajaran, penggunaan teknologi dan 
media digital, selain tentu saja konten pelajaran dan tuntutan 
kurikulum.
Berbagai pengetahuan ini tidak cukup sekedar 
“diketahui”, tapi musti dikuasai secara mendalam. Penguasaan yang 
mendalam inilah yang memungkinkan pelajaran berlangsung lancar, tapi 
sekaligus adaptif terhadap respon siswa. Konsekuensinya, persiapan 
penerapan kurikulum tidak mungkin didasarkan pada pelatihan top-down 
yang berlangsung dalam 3 atau 4 hari, apalagi “pelatihan” berbasis 
presentasi Powerpoint. Yang diperlukan guru dan sekolah adalah dukungan 
resources (bahan ajar, contoh asesmen, rubrik, dll) yang beragam dan 
dalam jumlah besar, serta kesempatan untuk mencoba menerapkannya tanpa 
ancaman penalti.
Kedua, pendekatan tersebut juga mencerminkan 
kepercayaan terhadap guru dan sekolah. Bahwa guru dan sekolah akan 
bertindak in the students’ best interest, untuk kepentingan pembelajaran
 siswa. Dan karena tiap siswa, kelas, dan sekolah memiliki karakteristik
 dan kebutuhan yang berbeda-beda, pemerintah NSW dan Victoria memberi 
otonomi yang luas pada guru/sekolah untuk menafsirkan dan menerapkan 
kurikulum baru. 
Apakah berarti bahwa kualitas guru dan sekolah 
di Australia sudah seragam (dan seragam pada tingkat yang baik)? Tidak 
sepenuhnya juga, dan karena itu pemberian otonomi juga mengandung 
risiko. Namun demikian, mereka tampaknya merasa bahwa otonomi, dengan 
segala risikonya, adalah alternatif yang lebih baik daripada kendali 
terpusat.
NOTE: tulisan di atas didasarkan pada catatan kunjungan
 saya ke beberapa institusi pendidikan di NSW dan Victoria, sebagai 
bagian dari delegasi Balitbang Kemendikbud RI, 12-18 September 2015. Bila ada ketidakakuratan faktual dalam tulisan ini, mohon koreksinya.
Monday, September 14, 2015
ACER dan Penghargaan pada Riset
Oleh: Anindito Aditomo
Thursday, September 10, 2015
MOOC Membuka Pendidikan untuk Semua?
Apapun, 2 jam adalah waktu yang berharga bila hanya digunakan untuk melamunkan nasib. Untunglah sinyal mobile sepanjang perjalanan cukup kuat dan kuota data internet di ponsel saya juga masih tersisa. Saya pun memanfaatkan waktu untuk melanjutkan kuliah Think Again: How to Reason and Argue, sebuah MOOC berdurasi 12 minggu yang dipandu oleh dua profesor filsafat dari Duke University. Ini adalah mingu ke-3 dalam kursus tersebut.
Friday, August 21, 2015
Guru yang Patah Arang
Pertanyaannya tentu, mengapa ada guru yang frustrasi, patah arang, dan memilih mencari profesi lain? Dan apa solusinya? Sebagian akan mencari jawabannya pada guru sebagai individu. Guru harus diperkuat mentalnya. Dibekali dengan teknik manajemen kelas yang lebih ampuh. Dilatih supaya menguasai metode belajar yang lebih menarik. Dan seterusnya.
Thursday, August 20, 2015
Be Careful of What You Read!
Menurut sebuah penelitian longitudinal di Jerman, tiap jenis bacaan punya dampak yang berbeda (Pfost, Dorfler, & Artelt, 2013). Bacaan yang berdampak positif dan cukup besar adalah fiksi seperti novel dan cerpen. Komik, majalah, dan buku non-fiksi juga berdampak positif namun lebih lemah.
Wednesday, August 19, 2015
Memutus Lingkaran Setan Nir-literasi
Saya sendiri menaruh harapan pada program ini. Dalam literatur tentang literasi, ada yang disebut sebagai Matthew effect. Intinya, perbedaan kecil dalam kebiasaan dan kemampuan membaca seseorang ketika masih kecil bisa berdampak besar di kemudian hari.
Sunday, August 16, 2015
Perlukah Guru Meneliti?
![]()  | 
| Benarkah guru harus meneliti dan mempublikasikan hasilnya di jurnal ilmiah? Sumber gambar: http://ierf.org/images/uploads/research_grants_ind1.jpg  | 
Seorang ketua organisasi guru baru-baru ini mencetuskan bahwa guru seharusnya tidak dibebani kewajiban untuk meneliti. Pendapat ini adalah protes terhadap peraturan menteri pendidikan yang menetapkan publikasi karya ilmiah sebagai syarat untuk kenaikan pangkat guru. Persyaratan ini seharusnya gugur, menurut argumen pak ketua, karena undang-undang yang melandasi peraturan menteri tersebut tidak menyebutkan penelitian sebagai bagian dari tugas guru.








