Oleh: Anindito Aditomo | 20 September 2020
Menyederhanakan kurikulum bukan perkara sederhana. Kontroversi yang dipicu oleh desas-desus penghilangan mata pelajaran sejarah menjadi buktinya. Meski sudah dibantah Kemendikbud, kontroversi ini mencerminkan tantangan utama upaya penyederhanaan kurikulum: setiap mata pelajaran memiliki kelompok advokat yang akan menolak pemangkasan konten mata pelajaran tersebut.
Tantangan ini lebih bersifat politis ketimbang substantif. Ini wajar karena kebijakan kurikulum selalu melibatkan tarik menarik antar kelompok kepentingan. Apa yang akhirnya tercakup dalam kurikulum nasional adalah hasil negosiasi antar kelompok kepentingan tersebut. Ironisnya, yang kerap tersingkir dalam proses ini adalah kepentingan subjek utama pendidikan, yakni para murid.
Imperatif ekonomi dan sosial-budaya
Sistem persekolahan modern diciptakan untuk menyiapkan calon-calon pekerja. Dalam konteks negara-negara bekas jajahan, penguasa kolonial membangun sekolah untuk melatihkan keterampilan baca-tulis-hitung yang diperlukan dalam menjalankan mesin birokrasi. Di era global sekarang ini, imperatif ekonomi masih kental mewarnai kebijakan pendidikan. Wacana tentang keterampilan abad ke-21, misalnya, merupakan produk organisasi ekonomi seperti World Economic Forum dan OECD.
Selain imperatif ekonomi, kebijakan pendidikan juga disetir oleh imperatif sosial-budaya. Persekolahan modern adalah sarana paling efektif untuk mewariskan tradisi dan nilai-nilai yang menjadi perekat sebuah masyarakat. Dalam konteks negara-negara bekas jajahan, persekolahan modern menjadi instrumen utama untuk membangun identitas sebagai bangsa yang baru lahir. Untuk Indonesia secara khusus, persekolahan modern dimanfaatkan selama puluhan tahun sebagai sarana indoktrinasi ideologi untuk melanggengkan kekuasaan rezim otoriter.
Keberadaan berbagai mata pelajaran dalam kurikulum bisa dijelaskan oleh kedua imperatif ini. Mata pelajaran sains dan matematika, misalnya, diyakini mengajarkan keterampilan yang esensial untuk pekerjaan di semua bidang. Karena itu, keduanya secara hampir secara universal dianggap sebagai menjadi bagian sah dari kurikulum. Mata pelajaran lain mendapat justifikasi dari imperatif sosial-budaya. Di Indonesia, hal ini bahkan tertuang dalam UU Sistem Pendidikan Nasional yang secara eksplisit menyebutkan tiga “muatan” wajib kurikulum: agama, Pancasila, dan bahasa Indonesia. Ketiga muatan ini mewakili nilai-nilai pokok kelompok-kelompok dominan dalam masyarakat Indonesia yang dirasa perlu diwariskan pada generasi selanjutnya.
Kontroversi terkait mata pelajaran sejarah yang baru saja meledak juga dapat dipahami dari kacamata imperatif sosial-budaya (VanSledright, 2008). Protes yang paling kencang berasal dari kalangan yang mengkhawatirkan pudarnya karakter dan identitas kebangsaan. Pemaparan sejarah bangsa di bangku sekolah - terlepas dari efektivitasnya - dipercaya sebagai cara yang sah dan wajar untuk membentuk nasionalisme pada generasi muda. Jangankan penghapusan, dari perspektif ini perubahan status mata pelajaran dari wajib menjadi pilihan pun sudah dipandang sebagai ancaman serius terhadap identitas kebangsaan.
Merancang kurikulum yang berpihak pada murid
Meski tak terhindarkan, imperatif ekonomi dan sosial-budaya dalam pendidikan perlu diimbangi dengan keberpihakan pada murid. Ini berlaku pula dalam merancang kurikulum nasional. Mengapa demikian dan apa artinya?
Murid perlu waktu untuk membangun pemahaman
Pertama, berpihak pada murid berarti memahami bahwa mereka bukan cawan kosong yang bisa diisi dengan fakta dan nilai-nilai. Ilmu kognitif modern menunjukkan bahwa pemahaman hanya bisa terjadi jika murid secara aktif memproses materi pelajaran untuk dirakit menjadi pengetahuan baru. Proses perakitan ini tidak mudah karena informasi selalu diproses dari kacamata pengetahuan lama yang kerap mengandung miskonsepsi. Karena itu, kalaupun murid terlibat aktif dalam memproses materi pelajaran, pemahaman baru yang terbentuk seringkali mengandung distorsi (National Academies of Sciences, Engineering, & Medicine, 2018).
Sebagai contoh, pemahaman bahwa “bumi itu bulat” ternyata tidak bisa begitu saja disampaikan pada murid. Secara natural, anak-anak memiliki prakonsepsi bahwa bumi itu datar (sebagaimana juga diyakini oleh orang dewasa selama berabad-abad). Mengubah prakonsepsi ini menjadi pemahaman ilmiah tentang bentuk bumi memerlukan proses perakitan pengetahuan yang tidak sederhana. Murid perlu diajak bernalar tentang beragam fenomena yang sulit dijelaskan bila bumi memang datar. Tanpa proses tersebut, murid hanya akan memperoleh pemahaman semu yang rapuh. Karena itulah banyak orang dewasa yang saat ini kembali percaya bahwa bumi itu datar (Vosniadou, 2020).
Jika untuk memahami konsep sesederhana bentuk bumi perlu proses penalaran yang panjang, bayangkan waktu yang diperlukan untuk memahami berbagai konsep kompleks yang ada dalam kurikulum. Mari ambil contoh dari sejarah. Untuk memahami mengapa Soekarno enggan memproklamasikan kemerdekaan pada Agustus 1945, mengapa tujuh kata Piagam Jakarta pada akhirnya tidak masuk dalam rumusan sila pertama Pancasila, atau mengapa revolusi Industri terlahir dari Inggris dan bukan tempat lain, misalnya, murid perlu diberi banyak waktu untuk mengeksplorasi, berdebat, dan berpikir. Hal-hal ini tidak mungkin dilakukan jika kurikulum sejarah masih meminta murid untuk mempelajari secara komprehensif fakta sejarah dari kurun waktu ratusan tahun (National Research Council, 2005).
Pendek kata, jika ingin berpihak pada murid, perancang kurikulum perlu memangkas sebanyak mungkin konten kurikulum. Keluasan (konten) dan kedalaman (pemahaman) adalah dua hal yang tidak bisa berjalan beriringan. Jika disetir semata-mata oleh imperatif ekonomi dan sosial-budaya, kurikulum akan menjadi penuh sesak. Guru akan terpaksa mengajar dengan tergesa-gesa demi “menuntaskan kurikulum”, dan murid akan dipaksa menelan banyak informasi tanpa waktu untuk memahaminya.
Murid memiliki keunikan individual
Kedua, berpihak pada murid berarti memahami bahwa mereka memiliki keunikan bakat, minat, dan cita-cita. Keunikan bakat berarti murid memiliki kecepatan belajar yang berbeda-beda untuk tiap mata pelajaran. Murid yang cepat memahami esensi dari rumus geometri, misalnya, belum tentu tangkas menyelami rasa bahasa yang menjadi ciri penulis atau genre tertentu. Implikasinya, perancang kurikulum perlu memberi ruang bagi guru untuk mengajar secara adaptif, untuk mengubah cara dan kecepatan mengajarnya sesuai dengan kebutuhan murid atau kelompok murid tertentu.
Keunikan minat dan cita-cita berarti murid memiliki motivasi belajar yang berbeda untuk tiap mata pelajaran dan bahkan topik spesifik. Misalnya, murid yang bercita-cita menjadi jurnalis memiliki kesadaran yang lebih kuat tentang pentingnya pelajaran bahasa dibanding mereka yang ingin berkarir sebagai insinyur. Murid yang bercita-cita menjadi influencer, Youtuber, atau pemain game profesional akan memiliki kombinasi preferensi yang lain lagi terhadap mata pelajaran yang ada di sekolah (Schiefele, 1991).
Implikasi paling jelas bagi perancang kurikulum adalah perlunya memberi kesempatan pada murid untuk memilih dan meramu apa yang dipelajari di sekolah. Namun murid tentu tidak bisa memilih apa yang tidak mereka kenali. Karena itu kurikulum pendidikan dasar (setidaknya sampai dengan kelas 9) perlu menyediakan kesempatan mengapresiasi keindahan dan signifikansi ilmu dari berbagai disiplin (Brophy, 2008). Ini paling baik dicapai dengan mempelajari satu atau dua topik dari tiap pelajaran secara mendalam, dan bukan dengan memperkenalkan sebanyak mungkin konten.
Di tingkat SMA, kurikulum perlu mulai memungkinkan murid untuk menjajagi pendalaman bidang-bidang tertentu. Dalam konteks inilah kebijakan untuk TIDAK mewajibkan mata pelajaran menjadi relevan. Kurikulum nasional yang berlaku saat ini sudah memberi sedikit ruang bagi murid bentuk penjurusan. Namun ini masih jauh dari ideal karena pemilihan jurusan tidak didasarkan pada minat murid, melainkan peringkat dalam tes terstandar. Sejalan dengan imperatif ekonomi, kursi jurusan IPA dialokasikan pada murid dengan peringkat yang tinggi.
Selain itu, murid juga tidak diberi kesempatan meramu paket pelajaran lintas disiplin. Padahal banyak murid yang memiliki minat pada masalah-masalah kompleks yang penyelesaiannya membutuhkan pemahaman lintas disiplin. Bukankah bagus jika murid dengan renjana (passion) pada isu perubahan iklim, misalnya, dapat memilih paket pelajaran yang membuatnya memahami mekanisme fisis-kimiawi dari peningkatan suhu bumi, peran sistem ekonomi dalam mendorong konsumsi bahan bakar fosil, sekaligus aspek sejarah, politik, dan etis untuk memahami tanggungjawab negara-negara maju dalam menangani krisis iklim?
Murid memiliki masa depan yang panjang
Ketiga, berpihak pada murid berarti memahami bahwa mereka memiliki masa depan yang panjang. Kebanyakan murid akan berkarir selama 40 sampai 50 tahun setelah mereka lulus SMA ataupun universitas. Masa depan murid tidak terbatas pada karir atau pekerjaan yang menanti mereka ketika lulus kuliah.
Implikasinya, perancang kurikulum perlu memprioritaskan tujuan belajar yang bermanfaat bagi kehidupan murid dalam jangka panjang. Hal ini berarti membantu murid untuk menjadi pelajar sepanjang hayat. Pelajar yang mampu secara mandiri maupun bersama orang lain mengembangkan keahlian baru dan berinovasi menciptakan lapangan kerja. Hal ini juga berarti membantu murid mengembangkan kemampuan bernalar kritis dan kreatif yang bermanfaat di berbagai bidang. Meminta murid menguasai terlalu banyak fakta dan keterampilan spesifik justru menciderai kesempatan mereka untuk beradaptasi dalam dunia yang volatil, tak pasti, kompleks, dan ambigu (Larson & Miller, 2011).
Tanpa keberpihakan pada masa depan murid, imperatif ekonomi dan sosial-budaya akan mendorong perancang kurikulum mengambil perspektif jangka pendek. Kurikulum pelajaran-pelajaran seperti agama, bahasa, dan sejarah akan didominasi dengan konten yang mencerminkan keyakinan kelompok-kelompok dominan dalam masyarakat saat ini (yang bisa saja berubah di masa depan). Perguruan tinggi akan berfokus pada pengetahuan dan keterampilan spesifik yang menjadi kebutuhan pasar saat ini, dengan efek domino pada kurikulum pendidikan dasar dan menengah. Tujuan belajar di setiap jenjang tereduksi menjadi persiapan untuk memasuki jenjang berikutnya. Sebagai contoh, apa yang ada dalam kurikulum matematika SMA menjadi fungsi dari apa yang diperlukan murid sebagai calon mahasiswa teknik dan ekonomi. Pelajaran matematika SMP dirancang agar murid siap mempelajari matematika SMA. Dan seterusnya.
Dengan mempertimbangkan masa depan murid yang panjang, perancang kurikulum akan menyadari bahwa tujuan belajar tidak boleh dibatasi pada persiapan untuk memasuki pasar kerja dan jenjang pendidikan berikutnya. Kurikulum juga tidak boleh semata disetir keinginan mewariskan tradisi dan nilai-nilai yang saat ini diyakini kebenarannya oleh masyarakat. Pelajaran sejarah, misalnya, tidak boleh lagi dilihat semata-mata sebagai sarana menumbuhkan identitas kebangsaan. Agar berguna bagi masa depan murid, pelajaran sejarah juga harus membentuk nalar historis yang membuat mereka mengerti bahwa setiap peristiwa selalu memiliki banyak penyebab dan bahwa fenomena sosial jarang bisa direduksi menjadi gambaran hitam-putih atau salah-benar secara mutlak (van Boxtel & van Drie, 2013).
Penutup
Perubahan kurikulum hampir selalu melibatkan polemik. Hal ini sekali lagi terbukti dari kontroversi tentang mata pelajaran sejarah yang digosipkan akan hilang atau menjadi tidak lagi wajib di kurikulum SMA. Polemik ini, sayangnya, didominasi oleh suara orang-orang dewasa yang mewakili kepentingan kelompok-kelompok yang sedang berpengaruh. Padahal murid adalah subjek utama pendidikan dan keberpihakan pada murid memiliki implikasi besar pada rancangan kurikulum.
Sebagaimana diuraikan sebelumnya, berpihak pada murid dalam merancang kurikulum berarti menyadari pentingnya memangkas konten, memberi pilihan yang lebih luas, serta memprioritaskan kecakapan yang berguna bagi masa depan murid. Dengan kata lain, kurikulum bukan hanya perlu disederhanakan, tapi harus dirombak secara fundamental. Perombakan semacam ini akan menyentuh semua mata pelajaran, tidak hanya sejarah. Yang perlu dipangkas konten dan dirombak tujuannya bukan hanya sejarah, tapi semua mata pelajaran. Yang perlu dipertimbangkan menjadi mata pelajaran pilihan di jenjang SMA bukan hanya sejarah, tapi juga mata pelajaran lain.
Jika benar-benar dilakukan, pemerintah akan menghadapi tekanan politik dari segala penjuru. Tanpa komitmen yang kuat pada kepentingan murid, upaya penyederhanaan kurikulum yang sedang dilakukan terancam layu sebelum berkembang. Yang akan dihasilkan lagi-lagi adalah kurikulum yang penuh sesak dengan konten yang melayani imperatif ekonomi dan sosial-budaya dari semua kelompok yang sedang dominan dalam masyarakat.
Referensi
Brophy, J. (2008) Developing Students' Appreciation for What Is Taught in School, Educational Psychologist, 43:3, 132-141, DOI: 10.1080/00461520701756511
Larson, L.C. & Miller, T.N. (2011). 21st Century Skills: Prepare Students for the Future, Kappa Delta Pi Record, 47:3, 121-123, DOI: 10.1080/00228958.2011.10516575
National Research Council (2005). How Students Learn: History, Mathematics, and Science in the Classroom. Washington, DC: The National Academies Press. https://doi.org/10.17226/10126.
National Academies of Sciences, Engineering, and Medicine. (2018). How People Learn II: Learners, Contexts, and Cultures. Washington, DC: The National Academies Press. https://doi.org/10.17226/24783.
Schiefele, U. (1991) Interest, Learning, and Motivation, Educational Psychologist, 26:3-4, 299-323, DOI: 10.1080/00461520.1991.9653136
Van Boxtel, C. & Van Drie, J. (2013). Historical reasoning in the classroom: What does it look like and how can we enhance it? Teaching History, 150: 44-54.
VanSledright, B. (2008). Narratives of Nation-State, Historical Knowledge, and School History Education. Review of Research in Education, 32(1), 109–146. https://doi.org/10.3102/0091732X07311065
Vosniadou, S. (2020, July 30). Students’ Misconceptions and Science Education. Oxford Research Encyclopedia of Education. Retrieved 20 Sep. 2020, from https://oxfordre.com/education/view/10.1093/acrefore/9780190264093.001.0001/acrefore-9780190264093-e-965.
Tentang penulis
Anindito Aditomo baru saja menyelesaikan riset pasca-doktoral di Leibniz Institute for Research and Information in Education, Jerman. Saat ini Anindito adalah peneliti di Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan (PSPK) dan pengajar paruh waktu di Fakultas Psikologi Universitas Surabaya. Anindito memperoleh gelar sarjana psikologi dari Universitas Gadjah Mada, dan gelar master serta doktoral di bidang pendidikan dari University of Sydney, Australia.